Carbon Capture Storage Sebagai Jalan Menuju Masa Depan Indonesia Berkelanjutan
CCS merupakan teknologi yang dirancang untuk menangkap dan menyimpan emisi CO2.
REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Anggawira (Komite SKK Migas dan Ketua Umum REPNAS)
Istilah Carbon Capture Storage (CCS) atau Penangkapan dan Penyimpanan Karbon boleh jadi belum menjadi diksi populer di tengah masyarakat Indonesia. Namun dalam acara Debat Calon Wakil Presiden pada 22 Desember 2023, istilah ini mengemuka. Gibran Rakabuming Raka, calon wakil presiden dari pasangan 02, mengarahkan perhatiannya pada inisiatif lingkungan yang inovatif ini saat berinteraksi dengan Mahfud MD, pasangan dari 03.
Munculnya istilah CCS pada kontestasi Pilpres 2024, setidaknya telah menunjukkan adanya peningkatan kesadaran terhadap isu-isu ekologi dalam lanskap politik. Kesadaran isu ekologi ini sekaligus juga menjadi stimulus bagi organisasi-organisasi seperti Relawan Pengusaha Muda Nasional (REPNAS) untuk secara aktif memberi kontribusi bagi tercapainya tujuan ambisius pemerintah mencapai net zero emissions pada 2060.
Sebelum membahas urgensinya, perlu kiranya untuk memahami inovasi teknologi dari CCS ini. CCS dan sepupu dekatnya, Carbon Capture, Utilization, and Storage (CCUS), merupakan rangkaian teknologi yang dirancang untuk menangkap dan menyimpan emisi karbon dioksida -- penyebab utama di balik perubahan iklim.
Proses ini melibatkan perangkap CO2 dari berbagai sumber, termasuk pembangkit listrik, fasilitas industri, dan lokasi bahan bakar fosil. Setelah ditangkap, karbon dioksida diangkut ke tujuan tertentu, termasuk tempat penyimpanan bawah tanah di ladang minyak atau gas yang sudah habis atau formasi geologi yang mengandung air asin yang tidak dapat diminum. Hebatnya, CO2 yang tersimpan ini dapat digunakan kembali untuk berbagai fungsi, mulai dari produksi bahan bakar dan pupuk hingga meningkatkan pertumbuhan tanaman dan bahkan berkontribusi pada minuman berkarbonasi.
Singkatnya, CCS ini merupakan cara dalam mencegah CO₂ dalam jumlah banyak yang terlepas ke dalam atmosfer yang dihasilkan dari berbagai industri terutama industri migas. Pada industri migas, CO2 yang ditangkap tersebut ternyata dapat dimanfaatkan untuk memberi penambahan dalam produksi minyak ataupun gas bumi.
Perspektif CCS di Indonesia
Dengan banyaknya sumber CO2 dari industri, Indonesia secara aktif mengeksplorasi potensi CCS. Menurut studi kelayakan Pilot Project CCUS di Gundih, Jawa Tengah, total potensi pengurangan CO2 diproyeksikan sebesar 2,92 juta ton selama sepuluh tahun.
Sejauh ini Indonesia diyakini memiliki banyak sumber daya penyimpanan geologi. Potensinya pun cukup besar. Wilayah-wilayah berpotensi itu tersebar di Jawa, Sumatra, dan Kalimantan. Semua ini tentunya bisa mendorong penelitian lebih lanjut terhadap daerah-daerah tersebut untuk memastikan potensi menjadi sesuatu yang lebih nyata.
Hingga saat ini ada sebanyak 16 proyek CCS/CCUS di Indonesia yang masih dalam tahap studi atau persiapan.Sebagian besarnya ditargetkan untuk dimulai sebelum tahun 2030. Kondisi ini tentunya memerlukan dukungan pemerintah. Hadirnya Peraturan Menteri ESDM Nomor 2 Tahun 2023, setidaknya telah menunjukkan komitmen dukungan pemerintah terhadap pengembangan teknologi inovatif CCS ini dapat berjalan di Indonesia.
Memang harus diakui juga untuk mengembangkannya diperlukan komitmen finansial yang tak kecil. Hal ini bisa dilihat dari adanya rencana investasi sebesar USD 15 miliar yang bakal dikucurkan oleh ExxonMobil. Saat Presiden RI Joko Widodo berkunjung ke San Fransisco, Amerika Serikat, pada pertengahan November tahun lalu, disampaikan adanya rencana Exxon untuk berinvestasi membangun kilang petrokimia hijau dan teknologi CCS.
Kabar tersebut tentunya menjadi angin segar bagi percepatan pengembangan teknologi CCS di Indonesia. Hal lain yang diperlukan adalah bagaimana pemerintah bisa menyiapkan aspek regulasi yang kelak bisa berakselerasi dengan potensi investasi yang siap masuk.
Hadirnya Peraturan Menteri (Permen) ESDM nomor 2/2023, paling tidak telah menggambarkan strategi monetisasi untuk emisi karbon yang di dalamnya membedakan antara emisi yang berasal dari operasi hulu minyak dan gas bumi dan yang tidak. Secara umum regulasi tersebut mengatur tentang Penyelenggaraan Penangkapan dan Penyimpanan Karbon, serta Penangkapan, Pemanfaatan, dan Penyimpanan Karbon pada Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi dengan menetapkan batasan istilah yang digunakan dalam pengaturannya.
Hadirnya regulasi dari Permen ESDM tentunya menjadi langkah maju. Namun perlu juga dipikirkan kerangka kerja sebagai produk turunan dari Permen ESDM yang bisa secara komprehensif menjelaskan mekanisme menyimpan CO2 dari ladang minyak dan gas.
Inisiasi yang dilakukan Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Bumi (Ditjen Migas) bekerjasama dengan Asia Natural Gas and Energy Association (ANGEA) melalui sebuah forum yang digelar pada pertengahan tahun lalu, rasanya menjadi dorongan positif mengkongkretkan pengembangan CCS di Indonesia. Forum tersebut membahas aspek teknologi, ekonomi, dan regulasi secara komprehensif terkait CCUS Hub. Hadir dalam forum tersebut para pembicara dari negara lain yang output-nya berbagi pembelajaran (lessons learned) serta mitigasi resiko, sekaligus memberikan gambaran komprehensif tentang peluang, tantangan, dan rekomendasi untuk implementasi CCS/CCUS di Indonesia.
Penopang Masa Depan
Setelah memiliki perspektif positif maka di sinilah menjadi penting untuk meyakinkan diri bahwa CSS sebagai teknologi inovasi bisa menjadi penopang utama dalam membentuk masa depan Indonesia yang berkelanjutan. Manfaatnya tidak hanya terbatas pada pelestarian lingkungan, tetapi juga penciptaan lapangan kerja, pertumbuhan ekonomi, dan transisi yang adil bagi masyarakat.
Menuju perjalanan Indonesia ke arah ekonomi net zero, CCS bisa menciptakan dan mempertahankan lapangan pekerjaan, mendukung industri net zero yang baru, memungkinkan penggunaan kembali infrastruktur, dan memfasilitasi transisi yang adil.
Dengan kesadaran itu maka dedikasi pemerintah Indonesia untuk mengimplementasikan dan memperluas CCS menjadi sangat penting untuk kemajuan teknologi secara luas. Dukungan finansial, insentif kebijakan, dan akses ke lokasi penyimpanan yang sesuai sangat penting diwujudkan. Diluncurkannya bursa karbon di Bursa Efek Indonesia (BEI) pada September 2023 yang izinnya telah diberikan kepada Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menjadi sangat esensial dalam menciptakan insentif ekonomi, terutama dengan mempertimbangkan kemungkinan pergerakan CO2 lintas batas.
Selanjutnya perlu juga dipikirkan upaya melembagakan kerangka kerja agar CCS harus segera dimulai. Pada akhirnya dengan adanya regulasi lingkungan yang jelas serta potensi kapasitas penyimpanan yang besar, maka Indonesia bisa menjadi pusat investasi terdepan bagi pengembangan CCS.
Jadi ketika implementasi CSS diwujudkan maka perjalanan menuju hari esok yang lebih hijau rasanya bukan lagi menjadi sesuatu yang utopis. Ya, CSS pada akhirnya bukan lagi menjadi sekadar instrumen teknologi, tetapi menjadi tanggung jawab bersama untuk membentuk masa depan berkelanjutan bagi generasi Indonesia yang lebih berdaulat.