OTT di Sidoarjo Dibayang-bayangi Isu Dugaan Bupati Dilindungi Pimpinan KPK
Pimpinan KPK membantah tak satu suara dalam gelar perkara sebelum OTT di Sidoarjo.
REPUBLIKA.CO.ID, oleh Rizky Suryarandika
Tim dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada Jumat (26/1/2024) lalu menggelar operasi tangkap tangan (OTT) di Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur. Dalam OTT ini, KPK telah mengamankan sejumlah aparatur sipil negara (ASN).
Juru Bicara KPK, Ali Fikri kepada wartawan, Jumat lalu mengatakan, ada sekitar 10 orang yang diringkus dalam OTT tersebut. Beberapa hari setelah OTT, muncul isu bahwa Bupati Sidoarjo Ahmad Muhdlor Ali 'dilindungi' lantaran pimpinan KPK yang tak satu suara dalam gelar perkara sebelum OTT.
Dikonfirmasi pada Senin (29/1/2024), Wakil Ketua KPK Alexander Marwata menyatakan tak ada pimpinan KPK yang melindungi Bupati Sidoarjo dalam ekspose. "Perasaan pas ekspose nggak ada pimpinan yang ingin melindungi bupati," kata Alex kepada wartawan, Senin (29/1/2024).
Alex menegaskan pimpinan KPK justru menginstruksikan supaya Bupati Sidoarjo dipanggil secepatnya terkait kasus ini.
"Malah perintah pimpinan segera panggil dan periksa bupati," lanjut Alex.
Selain isu bupati dilindungi, muncul juga informasi bahwa KPK bakal menyerahkan kasus tersebut ke kepolisian. Sebab, KPK cuma menetapkan satu orang sebagai tersangka dari 10 orang yang ditangkap.
Hanya saja, Alex kembali menepis isu tersebut. Alex mengaku baru mengetahui isu itu saat ditanyai oleh awak media.
"Saya malah baru tahu. Informasi dari mana itu?" ucap Alex.
Sebelumnya, Ketua Sementara KPK Nawawi Pomolango mengungkapkan anak buahnya mengamankan uang tunai saat OTT di Sidoarjo, Jawa Timur pada Jumat lalu. Uang itu disebut termasuk barang bukti awal yang diperoleh tim KPK.
"Uang, tapi saya belum tahu jelas berapa jumlahnya," kata Nawawi kepada wartawan, Ahad (28/1/2024).
OTT ini menyangkut dengan kasus dugaan pemotongan insentif pajak dan retribusi daerah. OTT ini disebut sebagai respons laporan dari masyarakat kepada lembaga antirasuah.
Dalam konferensi pers, Senin (29/1/2024), Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron mengaku memang tidak hadir secara fisik dalam ekpose perkara. Tetapi, ia menjamin pengusutan perkara ini sudah disepakati semua pimpinan KPK.
"Sejak ekpose Jumat (26/1/2024), semua forum menyepakati. Posisi saya tidak di kantor, saya lewat Zoom. Termasuk tadi menyepakati," kata Ghufron.
Isu pimpinan KPK ada yang melindungi Bupati Sidoarjo mencuat dalam ekspose perkara pada Jumat pekan lalu karena terjadi debat alot. Tapi Ghufron berkelit bahwa tiap ekspose perkara pasti diwarnai perdebatan. Perdebatan itu menyangkut formula penuntasan perkara.
"Tiap ekspose tidak sederhana, pasti banyak hal-hal yang teknis hukum dan strategi penegakannya yang kami debatkan. Ekpose rata-rata alot, tidak ada yang tidak alot termasuk yang ini," ujar Ghufron.
Ghufron juga mengakui salah satu yang diperdebatkan adalah pelimpahan perkara ini ke polisi karena nilai korupsinya kecil. Namun Ghufron merasa nilai korupsi yang tersembunyi sebenarnya lebih besar kalau didalami.
"Kalau OTT pasti kecil (nilai korupsi), tapi ketika masuk kemudian dapat yang lain, misal 2023 terkumpul Rp2,7 miliar itu akumulasi, mungkin bulan sebelumnya sudah terbelanjakan. Yang kami amankan di triwulan terakhir Desember itu, duitnya tinggal segitu karena yang lain sudah dibelanjakan," ujar Ghufron.
Ghufron juga membantah perkara ini bakal diserahkan kepada Korps Bhayangkara. Ghufron menjamin KPK tetap mengusutnya hingga tuntas.
"Kalau usulan macam-macam (dalam ekspose perkara), tapi keputusannya pimpinan tadi sepakati untuk ditindaklanjuti oleh KPK sendiri," ucap Ghufron.
Pakar hukum pidana dari Universitas Trisakti, Azmi Syahputra mendukung langkah KPK terkait OTT 10 orang di Kabupaten Sidoarjo. Azmi menekankan dalam memberantas tindak pidana korupsi tidak ada istilah besar-kecil.
Azmi menegaskan korupsi sekecil apapun yang dilakukan secara terus menerus akan berdampak pada kerusakan keuangan negara. "Pemberantasan korupsi hanya akan berhasil jika semua kejahatan yang dianggap korupsi atau penyimpangan diberantas secara cepat," kata Azmi kepada Republika, Senin (29/1/2024).
Azmi tak ingin kasus korupsi sekecil apapun tak pantas didiamkan. Sebab negara bisa tersandera dengan koruptor kalau hal itu dibiarkan.
"Ini untuk menunjukkan bahwa lembaga penegak hukum atau negara tidak memberikan toleransi sekecil apapun atas perbuatan korupsi tersebut," lanjut Azmi.
Selain itu, Azmi mendorong KPK memperluas penyidikan guna menemukan informasi lain. Ini termasuk pelaku lain yang terlibat menikmati hasil uang kejahatan.
"Tindakan pelaku telah menimbulkan kerugian, jadi tidak boleh ada fakta yang dihilangkan ataupun tebang pilih, pelaku dalam kasus ini semua yang terlibat haruslah dimintai pertanggungjawaban pidana," ujar Azmi.
Azmi juga mengingatkan karakteristik dari kasus ini yang modus operandinya kolektif. Dalam praktiknya biasanya ada pengendali atas orang-orang yang bertindak dari sebuah wadah insitusi.
"Kejahatan seperti ini biasanya terjadi dalam rentang waktu yang tidak sebentar secara melibatkan banyak orang dalam insitusi pemerintahan," ujar Azmi.