Tante Bunuh Keponakan demi Perhiasan, Sosiolog Ingatkan Orang Tua Hal Ini

Orang tua wajib bertanggung jawab atas perhiasan yang dikenakan anak.

cicicrib
Anak mengenakan perhiasan (ilustrasi). Orang tua diingatkan untuk tidak memakaikan anak perhiasan secara berlebihan.
Rep: Rahma Sulistya Red: Friska Yolandha

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kasus pembunuhan yang dilakukan oleh tante terhadap keponakannya yang masih berusia sembilan tahun di Bolaang Mongondow Timur (Boltim), Sulawesi Utara, hanya demi mengambil perhiasan sang anak, ini menjadi pengingat bagi para orang tua. Sosiolog UI Ida Ruwaida mengatakan, para orang tua harus sadar dan bertanggung jawab atas perhiasan yang dikenakan anak. 

Baca Juga


“Berkaitan dengan resiko, orang tua seharusnya sadar dan bertanggungjawab untuk melindungi anaknya,” ungkap dia saat dihubungi Republika.co.id, Senin (29/1/2024).

Apalagi, anak-anak pasti hanya mengikuti apa yang diberikan oleh orang tua, dan anak-anak juga tidak bisa melindungi dirinya sendiri. Ida mengatakan, penggunaan perhiasaan pada anak-anak kerap menjadi bukti rasa kasih sayang orang tua pada anak-anaknya.

Tetapi, bisa juga menjadi simbol status yang ingin diperlihatkan orang tua lewat anaknya. “Pada konteks budaya tertentu, menggunakan perhiasan menjadi bagian dari praktek budaya, misalnya memakai gelang kaki. Ada juga yang memakaikan anaknya dengan perhiasan pada acara tertentu,” papar Ida lagi.

Anak-anak belum paham arti perhiasan, pemaknaannya, serta risikonya. Para orang tua bisa memberikan perhiasan pada anak-anak itu tidak harus emas.

Misalnya ingin memberikan anting pada anak, itu tidak harus emas, karena bagi pihak-pihak tertentu ada yang memandang anting emas adalah benda berharga. “Sehingga bagi pihak-pihak tertentu yang sedang terdesak secara ekonomi, anak-anak dengan perhiasan bisa menjadi sasaran kejahatan,” ungkap Ida.

Ia memberikan contoh yang dialaminya sendiri sewaktu dirinya masih kecil, saat diajak oleh ibunya berbelanja ke pasar. Saat ibunya sibuk memilih belanjaan, ada perempuan yang berdiri di sebelahnya sibuk melepaskan anting kanannya.

“Itu terjadi 50 tahun lalu. Jadi kejahatan itu bisa terjadi karena ada situasi yang mendukung (misalnya sepi), karakter korban (anak yang dianggap lemah dan tak berdaya), karakteristik pelaku (desakan ekonomi, gangguan mental, dan lainnya),” ucap Ida.

Kembali pada kasus di Boltim, Ida mengatakan belum diketahui pasti karakteristik dan latar belakang pelaku. Meskipun masih keluarga sendiri dari korban, tapi bisa saja memang ada masalah pribadi atau antarkeluarga.

 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler