KPK Kekeuh Eddy Hiariej Tetap Tersangka, Proses Perkara Dilanjutkan

KPK menilai putusan PN Jaksel tak mengubah substansi perkara, hanya koreksi formil.

Republika/Prayogi
Wamenkumham yang saat ini juga berstatus sebagai tersangka Edward Omar Sharif Hiariej usai diperiksa sebagai saksi di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta. PN Jaksel mengabulkan praperadilan Eddy.
Red: Andri Saubani

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Bambang Noroyono, Rizky Suryarandika, Antara

Baca Juga


Pada Selasa (30/1/2024), Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel) mengabulkan permohonan praperadilan tersangka korupsi Edward Omar Sharif Hiariej atau Eddy. Namun, hari ini, KPK mengumumkan bahwa, lembaga antirasuah itu tetap memproses perkara Eddy hingga ke pengadilan.

Kepala Bagian Pemberitaan KPK Ali Fikri mengatakan bahwa keputusan tersebut berdasarkan hasil analisis dan pembahasan dalam forum bersama pimpinan komisi antirasuah, struktural penindakan, dan tim Biro Hukum KPK.

“Telah diputuskan bahwa KPK tetap melanjutkan penanganan perkara tersebut dengan lebih dahulu melakukan proses dan prosedur administrasi penanganan perkara dimaksud sesuai ketentuan hukum yang berlaku,” ucap Ali dalam keterangan tertulis diterima di Jakarta, Kamis (1/2/2024).

Ali menjelaskan bahwa perkara peradilan hanya menguji aspek formil. Sementara, substansi materi dugaan perbuatan Eddy dan tersangka lainnya dalam kasus dugaan suap pengurusan administrasi tanpa melalui prosedur di Kemenkumham itu, masih perlu diuji di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor).

“Substansi materiil dugaan perbuatan para tersangka dalam perkara tersebut tentu hingga kini belum diuji di peradilan Tipikor dan juga sama sekali tidak menjadi materi pertimbangan hakim pra peradilan yang diajukan pemohon EOSH,” tutur Ali.

Terlepas dari itu, KPK menghormati putusan hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan sebagai bagian kontrol pada proses penyelesaian perkara pidana korupsi. “Perkembangan akan disampaikan sebagai bentuk keterbukaan KPK pada masyarakat,” ujar Ali.

Wakil Ketua KPK Alexander Marwata mengaku heran dengan PN Jaksel yang mengabulkan permohonan praperadilan mantan Wamenkumham Edward Omar Sharif Hiariej. Alex menegaskan, selama ini prosedur KPK dalam menetapkan tersangka tidak pernah salah. 

"Jadi, KPK ini kan sudah 20 tahun. SOP (standard operating procedure) yang selama ini digunakan seperti itu dan tidak ada persoalan, buktinya sampai divonis, sampai MA kan seperti itu," kata Alex kepada wartawan, Kamis (1/2/2024).

Walau demikian, Alex tetap menghargai putusan hakim tunggal PN Jaksel Estiono. Hanya saja, Alex mempersoalkan pertimbangan putusan yang digunakan untuk sampai ke tujuan. Sehingga tim KPK bakal menelaah putusan itu. 

"Kita menghormati independensi hakim dalam membuat suatu keputusan, tapi terus kami akan kaji," ujar Alex. 

Alex juga menegaskan putusan PN Jaksel tak mengubah substansi perkara. "Kan tidak menghilangkan substansi perkara, kan begitu. Ini hanya terkait dengan masalah prosedural," ujar Alex. 

Alex bahkan siap memperbaiki penetapan tersangka terhadap Prof Eddy. Sehingga, nantinya Prof Eddy dapat ditersangkakan lagi dengan bukti yang cukup dan kuat. 

"Kalau memang persoalannya terkait alat bukti yang ditemukan pada saat penyidikan dan mengabaikan Pasal 44 ya kita penuhi saja kan," ucap Alex.

Deretan kontroversi Ketua KPK Firli Bahuri. - (Republika)

 

Indonesia Corruption Watch (ICW) kemarin mengkritik putusan praperadilan yang membatalkan penetapan tersangka eks Wamenkumham Edward Omar Sharif Hiariej. ICW menegaskan putusan itu berdampak buruk bagi semangat antikorupsi di Tanah Air. 

Peneliti ICW, Diky Anandya menyadari putusan praperadilan tidak dapat dimintakan banding. Tetapi Diky meyakini KPK dapat menempuh cara lain guna menjerat Prof Eddy. 

"Maka ICW mendorong agar KPK segera menerbitkan surat perintah penyidikan baru untuk dapat menetapkan kembali Eddy Hiariej sebagai tersangka. Sebab putusan praperadilan tidak dapat dimintakan banding," kata Diky dalam keterangannya pada Kamis (1/2/2024). 

Diky menilai cara itu dimungkinkan berdasarkan ketentuan Pasal 2 ayat (3) PERMA Nomor 4 Tahun 2016. Ketentuan tersebut mengatakan bahwa sah atau tidaknya penetapan tersangka tidak menggugurkan tindak pidana.

"Dan kewenangan penyidik untuk menetapkan kembali seseorang sebagai tersangka dengan sedikitnya dua alat bukti baru," ujar Diky. 

Selain PERMA, Diky menyebut putusan Mahkamah Konstitusi nomor 42/PUU-XV/2017 memungkinkan penegak hukum unuk menggunakan alat bukti yang pernah dipakai pada perkara sebelumnya.

"Dengan catatan alat bukti tersebut harus disempurnakan," lanjut Diky. 

Diky mengungkapkan penerapan aturan ini setidaknya pernah dilakukan oleh KPK dalam perkara yang menjerat eks Ketua DPR RI Setya Novanto. 

"Di mana pada saat itu setelah Hakim Cepi Iskandar mengabulkan permohonan praperadilan mantan ketua DPR tersebut dan menggugurkan status tersangka, KPK menerbitkan sprindik baru untuk dapat menetapkan kembali Setya Novanto sebagai tersangka," ujar Diky.

"Menyatakan penetapan tersangka oleh termohon terhadap pemohon tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat," kata Estiono membacakan amar putusan di PN Jaksel. 


 

KPK menetapkan Eddy sebagai tersangka kasus dugaan korupsi, sejak Oktober 2023 lalu lantaran disebut melakukan korupsi berupa penerimaan gratifikasi, hadiah, atau janji. KPK mengumumkan Eddy sebagai tersangka, saat profesor hukum pidana itu masih menjabat sebagai Wamenkumham.

KPK menuding Eddy menerima uang senilai Rp 8 miliar lebih dari pengusutan Helmut Hermawan (HH) selaku Direktur PT Citra Lampia Mandiri (CLM). Dalam kasus ini, KPK sebelumnya sudah menetapkan tersangka, dan melakukan penahanan terhadap Helmut.

Di kasus ini juga KPK menetapkan dua tersangka lainnya, yakni Yosi Andika Mulyadi yang merupakan seorang pengacara, dan Yogi Arie Rukaman selaku asisten pribadi Eddy saat menjabat Wamenkum HAM. Pertengahan Desember 2023 lalu, Eddy, bersama-sama tersangka Yosi, dan Yogi mengajukan praperadilan menentang penetapan tersangka itu. Tetapi, saat memasuki persidangan, Eddy, bersama-sama tim pengacaranya mencabut permohonan praperadilan tersebut.

Pada Januari 2024, Eddy kembali mengajukan praperadilan untuknya sendiri. Tim pengacara Eddy, dalam permohonan praperadilan meminta PN Jaksel menyatakan statusnya sebagai tersangka adalah tidak sah. Dan meminta PN Jaksel menyatakan agar seluruh proses penyidikan terkait kasus penerimaan uang tersebut dihentikan.

PN Jaksel pada Selasa (30/1/2024), mengabulkan permohonan praperadilan Eddy Hiariej. Pengadil tunggal praperadilan Hakim Estiono menyatakan, penetapan tersangka oleh KPK tidak sah.

“Mengadili; dalam pokok perkara, meyatakan penetapan tersangka oleh termohon (KPK) terhadap pemohon (Eddy Hiariej) tidak sah, dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,” kata Hakim Estiono saat membacakan putusan praperadilan di PN Jaksel, Selasa.

Menurut hakim dalam putusannya, eksepsi KPK atas penjelasan permohonan praperadilan yang diajukan tim pengacara Eddy, tak dapat diterima. 

“Mengadili; dalam eksepsi, menyatakan eksepsi termohon (KPK) tidak dapat diterima seluruhnya,” sambung Hakim Estiono.

Sehingga, dikatakan hakim masih dalam putusannya, alasan hukum KPK dalam menetapkan Eddy Hiariej sebagai tersangka Pasal 12 a, atau Pasal 12 b, atau Pasal 11 UU 31/1999-20/2001 tentang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), juncto Pasal 65 KUH Pidana tak lagi dapat mengikat. “Dalam pokok perkara menyatakan penetapan tersangka oleh termohon (KPK) terhadap pemohon (Eddyy Hiariej) sebagaimana dimaksud adalah tidak sah, dan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat,” kata hakim.  

Karikatur Opini Republika : Pungli KPK (Lagi) - (Republika/Daan Yahya)

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler