Cuaca Panas Ekstrem, Pohon Bahkan Alami Kesulitan Bernapas
Pohon sulit menyerap karbon dioksida saat cuaca panas ekstrem.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sebuah studi dari Penn State University menemukan bahwa pohon-pohon kesulitan menyerap karbon dioksida (CO2) yang memerangkap panas di iklim yang lebih hangat dan lebih kering. Ini berarti bahwa pohon mungkin tidak lagi menjadi solusi untuk mengimbangi jejak karbon manusia karena planet ini terus memanas.
"Kami menemukan bahwa pepohonan di iklim yang lebih hangat dan kering pada dasarnya sulit bernapas. Pohon mengirimkan CO2 kembali ke atmosfer jauh lebih banyak daripada pohon-pohon yang berada dalam kondisi yang lebih sejuk dan basah," kata Max Lloyd, asisten profesor riset geosains di Penn State dan penulis utama studi seperti dilansir Phys, Jumat (2/2/2024).
Melalui proses fotosintesis, pohon menghilangkan CO2 dari atmosfer untuk menghasilkan pertumbuhan baru. Namun, dalam kondisi yang penuh tekanan, pohon melepaskan CO2 kembali ke atmosfer, sebuah proses yang disebut fotorespirasi. Dengan analisis kumpulan data global jaringan pohon, tim peneliti menunjukkan bahwa tingkat fotorespirasi mencapai dua kali lebih tinggi di iklim yang lebih panas, terutama ketika air terbatas.
Peneliti menemukan, ambang batas untuk respon ini di iklim subtropis mulai terlampaui, ketika suhu rata-rata siang hari melebihi sekitar 20 derajat Celcius dan semakin memburuk ketika suhu semakin meningkat.
Hasil penelitian ini memperumit kepercayaan yang sudah ada tentang peran tanaman dalam membantu menurunkan karbon dioksida dari atmosfer, dan memberikan wawasan baru tentang bagaimana tanaman dapat beradaptasi dengan perubahan iklim. Yang penting, para peneliti mencatat bahwa ketika iklim memanas, temuan mereka menunjukkan bahwa tanaman bisa jadi kurang mampu menarik CO2 dari atmosfer dan mengasimilasi karbon yang diperlukan untuk membantu mendinginkan planet ini.
"Kita telah membuat siklus penting ini tidak seimbang. Tanaman dan iklim saling terkait erat. Penyerap CO2 terbesar dari atmosfer kita adalah organisme yang berfotosintesis. Ini adalah kenop besar pada komposisi atmosfer, jadi itu berarti perubahan kecil memiliki dampak yang besar,” kata Lloyd.
Tanaman saat ini menyerap sekitar 25 persen CO2 yang dipancarkan oleh aktivitas manusia setiap tahunnya. Namun, persentase ini kemungkinan akan berkurang di masa depan seiring dengan menghangatnya iklim, jelas Lloyd, terutama jika air menjadi lebih langka.
Dalam studi tersebut, para peneliti menemukan bahwa variasi dalam kelimpahan isotop tertentu dari bagian kayu yang disebut gugus metoksi berfungsi sebagai pelacak fotorespirasi pada pohon.
“Anda bisa menganggap isotop sebagai jenis atom. Seperti halnya es krim versi vanila dan coklat, atom dapat memiliki isotop yang berbeda dengan "rasa" yang unik karena variasi massa mereka,” jelas Lloyd.
Tim ini mempelajari tingkat "rasa" isotop metoksi dalam sampel kayu dari sekitar tiga puluh spesimen pohon dari berbagai iklim dan kondisi di seluruh dunia untuk mengamati tren fotorespirasi. Spesimen tersebut berasal dari arsip di University of California, Berkeley, yang berisi ratusan sampel kayu yang dikumpulkan pada tahun 1930-an dan 40-an.
"Basis data ini awalnya digunakan untuk melatih para rimbawan untuk mengidentifikasi pohon-pohon dari berbagai tempat di seluruh dunia, jadi kami menggunakannya kembali untuk merekonstruksi hutan-hutan ini untuk melihat seberapa baik mereka menyerap CO2," kata Lloyd.
Hingga saat ini, laju fotorespirasi hanya dapat diukur secara real time dengan menggunakan tanaman hidup atau spesimen mati yang diawetkan dengan baik yang mempertahankan karbohidrat struktural. Ini berarti hampir tidak mungkin untuk mempelajari laju penyerapan karbon oleh tanaman dalam skala besar atau di masa lalu.
Sekarang, tim tersebut telah memvalidasi cara untuk mengamati laju fotorespirasi menggunakan kayu. Menurut Lloyd, metode ini dapat menawarkan kepada para peneliti sebuah alat untuk memprediksi seberapa baik pohon dapat "bernapas" di masa depan dan bagaimana mereka bernapas di iklim masa lalu.
Ke depannya, tim juga akan bekerja untuk menggali tingkat fotorespirasi di masa lampau, hingga puluhan juta tahun yang lalu, dengan menggunakan fosil kayu. Metode ini akan memungkinkan para peneliti untuk secara eksplisit menguji hipotesis yang ada mengenai pengaruh perubahan fotorespirasi tanaman terhadap iklim selama waktu geologis.