Daulat Rakyat atau Daulat Partai Politik?
Apakah salah apabila partai politik mendominasi kuasa atas negara?
Oleh : Mardian Wibowo (Pengajar Fakultas Hukum Universitas Brawijaya)
REPUBLIKA.CO.ID, Dari empat konstitusi yang pernah atau sedang berlaku di Indonesia, tiga di antaranya tegas menyatakan kedaulatan negara berada di tangan rakyat, yaitu UUD 1945 (versi 1945 atau versi lama), UUD Sementara 1950, dan UUD 1945 pascaamendemen. Sementara Konstitusi Republik Indonesia Serikat (RIS) 1949 tidak mencantumkan frasa “kedaulatan berada di tangan rakyat” karena konstruksi RIS adalah negara federasi atau gabungan negara-negara bagian. Secara hukum kedaulatan rakyat pada negara federasi diatur di dalam konstitusi masing-masing negara bagian.
Pernyataan Konstitusi bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat, dengan terang menegaskan bahwa pemilik-penguasa sesungguhnya negara ini adalah rakyat. Namun rakyat tidak boleh menjalankan administrasi negara bersama-sama secara langsung, karena justru keragaman kehendak serta cara yang dipergunakan demikian secara teknis akan menimbulkan chaos.
Untuk menghindari kekacauan dalam pelaksanaan kedaulatan rakyat, maka kehendak rakyat harus dikelola agar lebih mudah dipahami dan dilaksanakan. Pengelolaan kehendak rakyat diserahkan, diwakilkan, atau dimandatkan kepada entitas bernama partai politik, yang atas nama rakyat akan mengambil berbagai kebijakan negara. Catatan yang harus digarisbawahi, kehendak tertinggi yang harus diikuti dalam pengaturan negara adalah kehendak rakyat sebagai pemberi mandat, dan bukan kehendak partai politik sebagai mandataris.
Mandataris Rakyat
UUD 1945 versi lama yang berlaku dua periode, yaitu 1945-1949 dan 1959-1999, mengatur bahwa kedaulatan rakyat “dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat”. UUDS 1950 mengatur bahwa kedaulatan rakyat “dilakukan oleh Pemerintah bersama-sama dengan Dewan Perwakilan Rakyat”. Adapun UUD 1945 pascaamandemen mengatur kedaulatan rakyat “dilaksanakan menurut Undang-undang Dasar”.
UUD 1945 yang lama memberikan tugas kepada MPR sebagai parlemen untuk mengoperasionalkan kedaulatan rakyat, yang lazim dikaitkan dengan istilah supremasi parlemen. Penyebutan MPR demikian menunjukkan keterlibatan partai politik dalam pelaksanaan kedaulatan rakyat, tidak lain karena MPR menurut UUD 1945 versi lama terdiri atas anggota DPR ditambah dengan utusan daerah dan utusan golongan. Sementara keanggotaan DPR hanya dapat diisi oleh dan melalui jalur partai politik.
Dominasi partai politik dalam pelaksanaan kedaulatan rakyat semakin tegas terlihat pada UUDS 1950 yang mengatur bahwa kedaulatan rakyat dilaksanakan oleh pemerintah bersama-sama dengan DPR. Pada era ini keanggotaan DPR sebagian besar diisi melalui jalur partai politik, meskipun tetap terbuka peluang perseorangan non-partai untuk mencalonkan diri menjadi anggota DPR.
Pada periode kedua keberlakuan UUD 1945 versi lama, yaitu 1959-1999, peran MPR sebagai pelaksana kedaulatan rakyat kembali dikuatkan. Namun posisi MPR, dan DPR, seiring waktu semakin melemah di hadapan presiden. MPR cenderung berfungsi hanya sebagai tukang stempel kebijakan presiden. Lemahnya posisi MPR demikian memunculkan pertanyaan besar apakah MPR sebagai lembaga perwakilan masih sanggup melaksanakan kedaulatan rakyat.
Kemudian konstitusi baru pascareformasi 1998, yang tetap diberi nama UUD 1945, mengubah supremasi parlemen menjadi supremasi konstitusi. Kedaulatan rakyat tidak lagi dilakukan sepenuhnya oleh MPR, melainkan kedaulatan rakyat dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar. Perubahan ini revolusioner secara konseptual, namun muncul masalah besar dalam perinciannya. Tidak lain karena rakyat tetap saja tidak mungkin menjalankan secara langsung kedaulatannya, sehingga diperlukan lembaga atau organisasi berupa partai politik.
Trias Politica
UUD 1945 pascaamendemen mengusung semangat penguatan kembali kedaulatan di tangan rakyat, yang pencapaiannya dilakukan dengan pemisahan-pembagian kekuasaan negara. Meskipun tidak tegas merujuk, namun pola pemisahan-pembagian yang diterapkan UUD 1945 senapas dengan Trias Politica yang digagas Montesquieu (1689-1755) dan John Locke (1632-1704) yang telah mengilhami pola saling kontrol dan mengimbangi ‘checks and balances’ pemegang kekuasaan negara di seluruh dunia.
Kekuasaan negara dipisahkan ke dalam tiga cabang/bidang, yaitu legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Masing-masing berperan sebagai pembentuk undang-undang, pelaksana undang-undang, dan pengadil manakala terjadi pelanggaran atas undang-undang. Berpijak pada asumsi bahwa ketiga cabang tersebut benar-benar dapat dipisahkan, dan karenanya mampu saling “mengingatkan” apabila cabang kekuasaan lain menyimpang, mulai muncul kelegaan bahwa para pemegang kuasa negara akan menjadikan kesejahteraan rakyat sebagai tujuan tertinggi.
Akan tetapi jarang ada yang menyadari bahwa tiga cabang kekuasaan negara tersebut mengarah ke dalam labirin yang berujung atau bermuara pada partai politik. Pertama, DPR sebagai pemegang cabang kekuasaan legislatif, pengisian keanggotaannya dilakukan melalui jalur partai politik. Kedua, Presiden sebagai eksekutif kepala pemerintahan, meskipun dipilih langsung oleh rakyat, namun pasangan calon presiden-wakil presiden hanya dapat diajukan oleh partai politik atau gabungan partai politik.
Ketiga, pengadilan sebagai cabang yudikatif, seolah-olah steril dari kehadiran partai politik. Namun tahap terpenting seleksi Hakim Agung tetap berada di DPR yang tidak lain merupakan manifestasi partai politik. Demikian pula dengan Hakim Konstitusi yang pengisiannya secara konsep dipecah menjadi tiga jalur, yaitu tiga hakim diajukan DPR, tiga hakim diajukan Presiden, dan tiga hakim diajukan Mahkamah Agung. Dapat jelas dilihat bahwa DPR adalah wujud partai politik itu sendiri; Presiden adalah kepanjangan tangan partai politik; dan Hakim Agung serta Hakim Konstitusi pun seleksinya sangat terbuka untuk “dititipi” kepentingan partai politik.
Menjaga Kedaulatan Rakyat
Lantas, apakah salah apabila partai politik mendominasi kuasa atas negara? Bagian mana yang salah ketika kedaulatan rakyat “terbajak” oleh partai politik? Sejauh ini organisasi yang maujud dalam bentuk partai politik adalah saluran terbaik untuk menyuarakan kehendak rakyat. Namun secara alamiah mengandung risiko tinggi karena sebagai kumpulan manusia, partai politik selalu punya kepentingan yang sangat mungkin tidak sejalan bahkan berlawanan dengan kepentingan konstituennya.
Keberadaan partai politik sebenarnya relatif bebas nilai. Sebagai organisasi an sich, partai politik adalah alat netral yang dapat digunakan untuk tujuan baik atau pun buruk, tergantung orang- orang di dalamnya. Demi menjaga agar partai politik berada di jalur yang benar (rasional) sekaligus baik (etik), serta memastikan kedaulatan tetap di tangan rakyat, digagas suatu mekanisme kendali yang disebut pemilihan umum (pemilu). Tidak kurang, UUD 1945 pada Pasal 22E ayat (1) mengamanatkan agar “Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali”.
Dalam pemilu, rakyat dituntut untuk secara rasional memilih presiden dan wakil presiden, serta anggota parlemen, yang rekam jejaknya bukan bagian dari pembajak kedaulatan rakyat. Indonesia membutuhkan presiden dan wakil presiden, serta partai politik pengisi keanggotaan lembaga perwakilan, yang mampu menahan diri dari godaan memanfaatkan kekuasaan bagi kepentingan pribadi. Selaras dengan itu, pilihan rakyat harus jatuh pada orang-orang yang bersedia menjamin serta mengkondisikan terciptanya kesetimbangan antarcabang kekuasaan negara.
Tidak ada cara yang lebih instan dan efektif untuk menjaga kedaulatan rakyat selain melalui pemilu. Tentu saja selama mekanisme maupun aturan main pemilu tetap berlandaskan prinsip yang diamanatkan Pasal 22E ayat (1) UUD 1945 terutama kebebasan, kejujuran, dan keadilan.