Perusahaan Pertahanan Jepang Akhiri Kerja Sama dengan Israel
Putusnya hubungan dengan Israel menyusul keputusan ICJ terkait dugaan genosida.
REPUBLIKA.CO.ID, TOKYO -- Perusahaan pertahanan dan penerbangan Jepang, Itochu Aviation, memutuskan untuk mengakhiri pakta kerja sama dengan perusahaan teknologi militer dan peralatan pertahanan Israel, Elbit Systems. Keputusan itu diambil Itochu Aviation sebagai respons atas keputusan sela Mahkamah Internasional (ICJ) dalam kasus dugaan genosida Israel di Jalur Gaza bulan lalu.
“Saat ini kami telah menangguhkan segala kegiatan baru yang terkait dengan nota kesepahaman dan berencana untuk mengakhiri nota kesepahaman tersebut pada akhir Februari,” kata CEO Itochu Aviation, Hachimura Tsuyoshi, saat mengumumkan penghentian kerja sama dengan Elbit Systems, Selasa (6/2/2024), dikutip laman Middle East Monitor.
Tsuyoshi mengungkapkan, Kementerian Pertahanan Jepang adalah pihak yang meminta Itochu Aviation untuk menjalin kerja sama dengan Elbit Systems. Kemitraan tersebut dipandang perlu untuk keamanan nasional dan Pasukan Bela Diri Jepang. Pada Maret 2023, Itochu akhirnya menandatangani nota kesepahaman kerja sama strategis dengan Elbit Systems.
Namun Tsuyoshi menekankan, perusahaannya sangat mendukung peran ICJ. Oleh sebab itu, mereka memilih mengakhiri kerja sama dengan Elbit Systems setelah ICJ menerbitkan putusan sela dalam kasus dugaan genosida Israel di Gaza bulan lalu.
Panel hakim ICJ telah membacakan putusan pendahuluan kasus dugaan genosida Israel di Gaza pada 26 Januari 2024 lalu. Dalam putusannya, ICJ menyatakan klaim Afrika Selatan (Afsel) selaku penggugat yang menyebut Israel melakukan genosida di Gaza dapat diterima.
ICJ tak menerbitkan perintah gencatan senjata di Gaza seperti yang diharapkan banyak pihak. Namun ICJ memerintahkan Israel mengambil semua tindakan sesuai kewenangannya untuk mencegah tindakan genosida di Gaza. ICJ mengakui hak warga Palestina untuk dilindungi dari tindakan genosida.
ICJ juga menyerukan Israel segera menerapkan langkah-langkah guna memungkinkan penyediaan layanan dasar dan bantuan kemanusiaan yang sangat dibutuhkan di Gaza. ICJ memerintahkan Israel memberi laporan dalam waktu satu bulan tentang apa yang dilakukannya untuk menerapkan putusan pengadilan. Keputusan ICJ mengikat secara hukum dan tanpa banding. Namun ICJ memang tak mempunyai kemampuan untuk menegakkan putusannya.
Putusan pendahuluan ICJ belum menentukan apakah Israel melakukan genosida seperti yang dituduhkan Afsel selaku penggugat. Namun Presiden ICJ, Hakim Joan Donahue, mengatakan dalam putusannya, pengadilan telah menyimpulkan bahwa “situasi bencana” di Gaza bisa menjadi lebih buruk pada saat ICJ menerbitkan putusan akhir. Oleh sebab itu ICJ mengeluarkan putusan pendahuluan. Sidang untuk menentukan apakah Israel melakukan genosida diperkirakan memakan waktu bertahun-tahun.
Saat ini konflik antara Israel dan Hamas masih berlangsung di Jalur Gaza. Lebih dari 27.470 warga Gaza telah terbunuh sejak Israel memulai agresinya pada 7 Oktober 2023. Sementara korban luka sudah melampaui 66.830 orang. Di tengah perang yang masih berkecamuk, warga Gaza harus hidup dalam kondisi mencekik akibat minimnya pasokan pangan, air bersih, dan obat-obatan.
Menurut PBB, 85 persen penduduk Gaza telah menjadi pengungsi di tengah kekurangan makanan, air bersih, dan obat-obatan. Sementara 60 persen infrastruktur di wilayah tersebut, termasuk di dalamnya fasilitas kesehatan dan rumah sakit, rusak atau hancur.