Penegasan Jokowi tak akan Berkampanye Usai Gelombang Petisi Sivitas Akademika

Penegasan Jokowi tak akan kampanye disampaikan sepekan jelang hari pencoblosan pemilu

Dok Republika
Presiden RI Joko Widodo bertemu dengan sejumlah pengurus PSI, di antaranya Ketum Kaesang Pangarep akhir pekan lalu. Pada hari ini, Jokowi menegaskan tidak akan berkampanye.
Red: Andri Saubani

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Dessy Suciati Saputri, Eva Rianti, M Noor Alfian Choir

Baca Juga


Presiden Joko Widodo (Jokowi) akhirnya menegaskan bahwa dirinya tidak akan ikut berkampanye untuk Pemilu 2024. Penegasan ini disampaikannya tepat sepekan sebelum hari pencoblosan Pemilu 2024 pada 14 Februari nanti.

"Yang bilang siapa? Ini saya ingin menegaskan kembali pernyataan saya sebelumnya bahwa Presiden memang diperbolehkan undang-undang untuk kampanye dan juga sudah pernah saya tunjukkan bunyi aturannya. Tapi jika pertanyaannya apakah saya akan kampanye? Saya jawab: Tidak, saya tidak akan berkampanye," ujar Jokowi dalam keterangan pers di Gerbang Tol Limapuluh, Kabupaten Batubara, Sumatera Utara, Rabu (7/2/2024).

Sebelumnya, dua kali Jokowi berbicara dalam keterangan pers resmi, bahwa dirinya diperbolehkan oleh Undang-undang Pemilu untuk ikut berkampanye. Yang pertama, saat Jokowi menjawab pertanyaan wartawan di Pangkalan TNI AU Halim Perdanakusuma, Jakarta, Rabu (24/1/2024).

Saat itu, Jokowi menegaskan seorang Presiden juga diperbolehkan melakukan kampanye saat pemilu berlangsung. Selain itu, Jokowi menyebut seorang Presiden juga boleh memihak pasangan calon tertentu.

"Yang penting, presiden itu boleh loh kampanye. Presiden itu boleh loh memihak. Boleh," kata Jokowi

Selain merupakan pejabat publik, kata dia, presiden juga merupakan pejabat politik. Kendati demikian, Jokowi menegaskan dalam berkampanye, Presiden tidak boleh menggunakan fasilitas negara.

"Kita ini kan pejabat publik sekaligus pejabat politik. Masak gini nggak boleh, berpolitik nggak boleh, Boleh. Menteri juga boleh," kata Jokowi.

Pernyataan Jokowi itu kemudian memicu kegaduhan dan spekulasi bahwa Jokowi akan memihak dan tidak akan netral di Pemilu 2024. Merespons kegaduhan yang muncul, Jokowi sampai menggelar konferensi pers khusus di Istana pada Jumat (26/1/2024), dengan meminta masyarakat dan seluruh pihak agar tidak membuat interpretasi yang berbeda terkait pernyataannya soal Presiden bisa berkampanye dan memihak.

“Sudah jelas semuanya kok. Jadi sekali lagi jangan ditarik ke mana-mana. Jangan diinterpretasikan ke mana-mana. Saya hanya menyampaikan ketentuan aturan perundang-undangan karena ditanya,” kata Jokowi dalam keterangannya yang ditayangkan di Youtube Sekretariat Presiden, Jumat (26/1/2024).

Namun, penegasan Jokowi itu tetap tidak bisa meredam kegaduhan, khususnya di media sosial. Kalangan sivitas akademika bahkan kemudian satu per satu mengeluarkan pernyataan sikap mereka atau petisi terhadap pemerintah yang umumnya mengkhawatirkan kondisi demokrasi di Indonesia saat ini.

Berawal dari berkumpulnya sejumlah sivitas akademika Universitas Gadjah Mada (UGM) yang terdiri dari guru besar, dosen, mahasiswa, dan alumni  di Balairung UGM pada Rabu (31/1/2024), saat itu menyampaikan Petisi Bulaksumur untuk menyikapi kondisi perpolitikan nasional saat ini yang dinilai telah menyimpang. Petisi Bulaksumur dibacakan oleh salah seorang dosen senior, Prof Koentjoro yang meminta Jokowi berserta jajarannya untuk segera kembali pada koridor demokrasi, serta mengedepankan nilai-nilai kerakyatan dan keadilan sosial.

Petisi Bulaksumur kemudian menggelinding bak bola saju. Satu per satu perguruan tinggi menyuarakan keresahan senada atas iklim demokrasi saat ini. Hingga hari ini, perguruan tinggi yang menyatakan sikap kritisnya terhadap pemerintahan Jokowi terus bertambah hingga puluhan jumlahnya.


 

 

 

Co-Kapten sekaligus Ketua Harian Tim Nasional (Timnas) Pemenangan Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar ‘AMIN’ Sudirman Said meminta pemerintah untuk tidak mengabaikan suara sivitas akademika dari berbagai perguruan tinggi. Para sivitas akademika belakangan ini diketahui mengungkapkan kekecewaan mengenai kondisi politik saat ini yang dianggap menyimpang dari demokrasi.

Sudirman menuturkan, banyaknya suara kritis dari sivitas akademika juga jangan dianggap sebagai ancaman. Menurutnya, banyaknya kritikan dari para guru besar dari universitas di Indonesia hendaknya dipandang sebagai peringatan atau alarm tanda bahaya.

“Ibarat mobil, peringatan para akademisi dan guru besar itu adalah spion, lampu sein, speedometer, juga rem. Kalau kita andaikan suara para cendekiawan, itu sama dengan mencopoti satu per satu alat kontrol, maka kendaraan yang kita tumpangi bisa mengalami kecelakaan. Bangsa ini tidak ingin celaka, karena itu jangan copoti perangkat-perangkat peringatan tanda bahaya,” kata Sudirman dalam keterangannya, Rabu (7/2/2024).

Mantan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral pada periode awal kepemimpinan Jokowi itu menyebut, suara dari perguruan tinggi harus dipandang sebagai masukan berharga untuk memperbaiki kondisi kehidupan sistem demokrasi di Indonesia hari ini hingga ke depan.

 

Capres nomor urut 3 Ganjar Pranowo pun memberi respons terkait gelombang para sivitas akademika yang menyuarakan keprihatinan terhadap kondisi demokrasi nasional. 

"Saya hanya menyampaikan saja demokrasi kita berada pada jurang, maka masyarakat sipil tokoh agama, tokoh masyarakat, mengingatkan termasuk kampus," kata Ganjar ditemui awak media di De Tjolomadoe, Karanganyar, Rabu (7/2/2024). 

Ganjar mengatakan kampus mempunyai mimbar kebebasan. Dan apabila sudah banyak yang menyuarakan keprihatinan atas demokrasi itu adalah lantaran nurani para akademis. 

"Ingat, kampus itu punya kebebasan mimbar akademik maka kalau mereka menyuarakan maka itu pasti nuraninya yang ada, nggak mungkin lah orang tua mau dikatakan anda berpihak ini karena elektoral, ini menyakitkan buat mereka. Karena para profesor yang sudah sepuh menyampaikan aku mau cari apalagi kalau soal ini," katanya. 

Ganjar juga mengatakan jika ada narasi tandingan menurutnya hal tersebut telah. Bahkan ia mengatakan menyakitkan jika untuk menunjukkan kebenaran harus membelokkan kejujuran dan fakta. 

"Bahkan ketika ada yang diminta untuk membuat tandingan membuat statemen dukungan pada pemerintah menurut saya telat. Telat dari sisi pikiran, telat dari sisi waktu. Dan membelokkan sebuah kejujuran dan fakta itu akan menyakitkan buat menunjukkan sebuah kebenaran," katanya. 

Ganjar juga sempat menyinggung soal dugaan polisi yang menghubungi Rektor Unika Soegijapranata Ferdinandus Hindarto untuk membuat testimoni video mengapresiasi kinerja Presiden Joko Widodo atau Jokowi. Ia mengatakan mimbar akademik harusnya dihormati. 

"Dan kebebasan mimbar akademik itu harus kita hormati, Terbukti yang dikatakan rektor Unika kami tidak mau, kami berharap pada sikap ini dan kami netral dan itu adalah sikap yang luar biasa. Sayang indikatornya ada oknum kepolisian yang melakukan temen temen dari kepolisian mari kita jaga Bhayangkara kita agar kemudian tidak tercemari oleh tindakan tindakan. Dan siapapun yang memerintahkan akan menghancurkan institusi ini. Sebagai anak politisi saya tidak terima kalau soal itu," katanya. 

"Ya itulah yang sudah dibantah dan sudah diceritakan dan dari rektor sudah menyampaikan kami tetap netral dan itu ada rilisnya menurut saya itulah sikap independen kampus tiska pernah takut ketika harus menyuarakan kebenaran dan jangan paksakan itu menggunakan instrumen negara," katanya menambahkan.

Pemilu 2024 dalam Angka - (Infografis Republika)

 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler