Rela Terjerat Pinjol demi Beli Tiket Konser dan Staycation, Mengapa?
Ada beberapa pemicu maraknya fenomena pinjol untuk aktivitas 'senang-senang'.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Godaan untuk menonton konser atau melakoni staycation (menginalp di hotel, vila, atau tempat penginapan lain) menjadi pilihan hiburan masyarakat khususnya anak muda. Sayangnya, sebagian orang memilih memenuhi kebutuhan tersier itu, tapi dengan melakukan pinjaman online atau pinjol, sehingga bisa berujung masalah.
Beberapa waktu silam, ekonom menyebutkan bahwa pembelian tiket konser hingga staycation menjadi salah satu penyebab tumpukan kredit macet pinjol. Financial planner Metta Anggriani turut menanggapi fenomena tersebut.
"Sebenarnya, orang mau leisure tidak apa-apa, sah-sah saja. Yang jadi masalah, ketika mau leisure, tidak ada dana, jadi dipaksakan," kata Metta saat dihubungi Republika.co.id, Kamis (8/2/2024).
Menurut Metta, ada beberapa hal yang menjadi pemicu dari maraknya fenomena pinjol untuk aktivitas leisure seperti staycation atau menonton konser. Pertama, euforia pascapandemi Covid-19, di mana selama periode pandemi banyak orang tertahan untuk melakukan hal menyenangkan di luar rumah.
Kedua, kemajuan internet dan media sosial yang membuat orang semakin mudah terpapar informasi destinasi wisata, lokasi staycation menarik, kabar konser musisi favorit, juga berbagai diskon dan promosi. Ketiga, fintech yang semakin berkembang pesat.
Dengan berkembangnya fintech membuat semakin banyak jenis pinjol yang tersedia sekaligus menawarkan kemudahan akses. Ketiga hal itu disebut Metta terjadi bersamaan sehingga banyak orang merasa terfasilitasi melakukan pinjol untuk rekreasi.
Metta mencontohkan, keinginan menonton konser Coldplay. Banyak orang merasa menontonnya akan jadi kesempatan sekali seumur hidup, sehingga sikap fear of missing out (takut kehilangan momen) atau FOMO dan pandangan you only live once (Anda hanya hidup sekali) atau YOLO jadi justifikasi.
Masalahnya, ketika memang tak ada alokasi dana untuk hal tersebut, utang dianggap jadi jalan pintas. Sementara, Metta menyebut utang untuk aktivitas leisure bukanlah utang produktif, melainkan utang konsumtif.
"Tidak dapat dibenarkan karena tidak sesuai dan tidak membuat hidup lebih mudah. Mungkin hidup terasa lebih mudah, tapi sesaat, tidak dalam waktu panjang," ucap Metta yang merupakan founder platform edukasi Daya Uang.
Maka, ketika tergoda melakukan aktivitas leisure, Metta menyarankan untuk mencermati dulu, apakah memang ada pos dana untuk melakukan itu? Saat akan berutang, salah satunya dengan pinjol, pertimbangkan lagi, apakah dari gaji bulanan memang bisa melunasinya?
Anggaplah, seseorang merasa bisa membayar pinjol dengan mencicil, cermati lagi berapa lama dan dampaknya terhadap kesehatan keuangan. Pasalnya, berbagai kondisi tak terduga bisa terjadi sewaktu-waktu, semisal jika ada kebutuhan mendesak atau hal darurat.
"Untuk 'mengerem' ini, mau tidak mau memang harus dari diri sndiri. Tidak bisa menyalahkan pemerintah, menyalahkan yang bikin pinjol. Konsumen harus bisa memilah, mana yang boleh buat berutang, dan mana yang tidak boleh," kata Metta.
Terkait FOMO, Metta mengingatkan bahwa berbagai kesempatan akan terus ada. Semisal, seseorang menahan diri dan akhirnya kehilangan kesempatan menonton konser musisi tertentu atau tak bisa staycation di long weekend.
Nyatanya, akan ada momen long weekend lain, promo diskon lain, serta konser musisi lain. Karena itu, tidak perlu memaksakan harus "sekarang", jika tidak sejalan dengan kemampuan finansial. Terlebih, jika malah menjerumuskan pada belitan utang yang menyulitkan.
Solusi lain, Metta menganjurkan menyiapkan tabungan khusus untuk berbagai aktivitas leisure. Mungkin seseorang belum terbayang akan berlibur ke mana atau menyimak konser siapa, namun menyiapkan dana untuk itu akan sangat berguna
"Siapkan saja dulu. Always nice to save for something. Daripada mencicil untuk sesuatu yang tidak lagi ada manfaatnya, lebih baik menabung untuk ke depan," ujar Metta.
Seperti diberitakan sebelumnya, peneliti Center of Digital Economy and SME, INDEF Nailul Huda, mengatakan mayoritas usia muda terjerat pinjol karena untuk memenuhi gaya hidup semata, seperti membeli pakaian, gawai, traveling, dan konser. Perilaku konsumtif pada usia muda saat ini bukan untuk kebutuhan.
“Jadi banyak leisure, traveling, gawai, konser musik, dan sebagainya, anak-anak muda ini kan adaptasi internetnya tinggi seiring perkembangan teknologi. Tapi, pinjol bukan untuk makan sehari-hari atau beli kebutuhan pokok,” kata Nailul.