Optimalisasi AI Memantau Ujaran Kebencian di Masa Pemilu

Penelitian dilakukan pada 1 September 2023 hingga Januari 2024.

Dok Monash University
Monash University dan AJI Indonesia meluncurkan hasil temuan itu dalam bentuk dashboard atau visualisasi data berbasis kecerdasan buatan (Artificial Intelligence, AI) di Jakarta, Senin, (12/2/2024).
Red: Setyanavidita livicansera

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Di masa pemilu, media sosial kerap diisi berbagai dinamika. Tak hanya informasi, media sosial juga kerap diwarnai oleh penyebaran berita bohong atau bahkan ujaran kebencian. Monash University, Indonesia dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia menemukan peningkatan ujaran kebencian yang menyasar sembilan kelompok minoritas.

Baca Juga


Peningkatan ini terjadi selama masa kampanye calon presiden dan wakil presiden pada Pemilihan Umum 2024. Monash University dan AJI Indonesia meluncurkan hasil temuan itu dalam bentuk dashboard atau visualisasi data berbasis kecerdasan buatan (Artificial Intelligence, AI) di Jakarta, Senin, (12/2/2024).

Dashboard hasil pemantauan ujaran kebencian ini memanfaatkan AI yang berguna untuk mengenali tren, menunjukkan dengan tepat bahaya ujaran kebencian. Penggunaan data dari dashboard ini diharapkan mampu membantu mengambil keputusan yang tepat untuk mencegah konflik.

Dashboard ini juga melacak ujaran kebencian secara real time di X (sebelumnya Twitter), Facebook, Instagram, dan sejumlah artikel berita daring. Tim peneliti Monash University memantau tiga platform media sosial, tersebut sepanjang 1 September 2023 hingga Januari 2024. Temuan tim Monash Indonesia menunjukkan ujaran kebencian paling banyak muncul di Twitter sebanyak 51,2 persen.

Adapun, ujaran kebencian di Facebook sebanyak 45,15 persen dan Instagram 3,34 persen. “Jumlah ujaran kebencian tertinggi terjadi dua hari setelah debat calon presiden pada 7 Januari 2024 yang bertema Pertahanan, Keamanan, Hubungan Internasional, dan Geopolitik,” kata peneliti Monash University, Ika Idris.

Sebanyak 67 kata kunci, ia melanjutkan, digunakan untuk memantau percakapan berkaitan dengan pemilu dan tujuh kelompok minoritas yakni Kristen, Katolik, Tionghoa, Syiah, Ahmadiyah, Lesbian, Biseksual, Biseksual, Transgender, dan Queer atau LGBTQ, dan penyandang disabilitas.

Selain itu, menurut dia, terdapat dua peristiwa penting yang memantik percakapan di media sosial, yakni penyerangan Gaza oleh Israel dan kedatangan pengungsi Rohingya, sehingga peneliti menambahkan dua kategori pencarian, yakni Yahudi dan Rohingya. Hasilnya, sebanyak 26,9 persen atau 182.118 dari total 678.106 teks mengandung ujaran kebencian.

Sebanyak 61.340 teks atau sekitar 9,05 persen berkaitan langsung dengan isu pemilihan umum. Dari jumlah tersebut, terdapat 46,31 persen yang mengandung ujaran kebencian terhadap kelompok minoritas. Peneliti Monash, Derry Wijaya menjelaskan metode dan serangkaian proses pemantauan.

Pemantauan ujaran kebencian ini melewati lima tahapan yakni diskusi kelompok terfokus (FGD) untuk mengetahui permasalahan dan mengumpulkan kata-kata ujaran kebencian untuk digunakan sebagai kata kunci pengumpulan data. Selanjutnya melalui pengumpulan data dari tiga platform media sosial, anotasi manual oleh 17 anotator dari perwakilan kelompok minoritas, pemodelan dengan pembelajaran mesin, dan visualisasi data.

Riset ini, Derry menjelaskan, mengelompokkan ujaran kebencian dalam enam kategori, yakni serangan terhadap identitas, hinaan, ancaman atau hasutan, kata-kata kotor, atau vulgar, dan lainnya. Sebuah teks, apalagi yang panjang, dapat mengandung lebih dari satu kategori ujaran kebencian sehingga peneliti menghitung semua kemungkinan kategori yang ada dalam satu teks.

Hasilnya, kategori serangan terhadap identitas mendominasi bentuk ujaran kebencian sebanyak 123.968, hinaan 104.664, kata-kata kotor 42.267, ancaman/hasutan 39.153 teks, seksual/vulgar 3.528 teks, dan lainnya 5.665 teks.

 

 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler