Apakah Indonesia Siap Masuk di Era Kecerdasan Buatan? Ini Jawaban Para Ahli

Kemenkominfo menyelenggarakan diskusi dengan sejumlah ahli soal kecerdasan buatan.

Istimewa
Kemenkominfo menyelenggarakan diskusi dengan sejumlah ahli soal kecerdasan buatan.
Red: Bilal Ramadhan

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Komunikasi dan Informasi Publik menyelenggarakan diskusi dengan beberapa pakar terkait perkembangan Artificial Intelegence atau Kecerdasan Buatan. Diskusi yang bertajuk "Menuju Etika dan Regulasi AI di Indonesia" diselenggarakan di Hotel Le Meredien, Jakarta Pusat Senin (5/2/2024). 


Staf Ahli Menteri Komunikasi dan Informatika Bidang Teknologi, Mochammad Hadiyana mengatakan, tujuan dari diselenggarakannya kegiatan ini adalah untuk merespons pesatnya perkembangan teknologi kecerdasan buatan atau AI yang dinilai sangat memberikan dampak yang besar pada dunia. 

"Kegiatan ini sangat relevan mengingat AI ini memberikan manfaat yang sangat besar bagi kita semua. Perkembangan teknologi AI membawa lompatan kemajuan di bidang iptek, ekonomi kreatif, good governance dan deliberasi publik. AI memudahkan manusia dalam menjalankan berbagai aktivitas dan fungsi profesional," ujar Hadiyana dalam rilisnya, Rabu (7/2/2024). 

Namun, di sisi lain, AI juga menimbulkan tantangan dan risiko, seperti implikasi etis, hukum, sosial, dan keamanan. Oleh karena itu, regulasi AI diperlukan untuk memastikan pemanfaatan AI yang aman, terpercaya, dan berpusat pada manusia. 

"Regulasi AI sangat dibutuhkan untuk memanfaatkan kemajuan AI yang aman dan terpercaya," ujarnya. 

Hal senada juga diungkapkan oleh Wakil Menteri Kominfo Nezar Patria. Ia mengatakan di Indonesia sendiri kehadiran AI ini sudah dimanfaatkan oleh beberapa sektor seperti sektor komunukasi dan informatika hingga jasa keuangan. 

"79 persen masyarakat saat ini sudah terpapar dengan generative AI dalam kesehariannya. Bahkan 77 persen fitur perangkat yang kita gunakan sudah menggunakan kecerdasan buatan. Di skala kegiatan komersil 64 persen perusahaan percaya bahwa AI akan menambah produktivitas secara keseluruhan," ujarnya. 

Kendati demikian, menurut Nezar kehadiran AI ini juga menjadi tantangan seperti bias dan potensi disinformasi, ancaman privasi dan kerahasiaan, ancaman isu etika, ancaman isu perilaku dan etika serta ancaman pada beberapa sektor pekerjaan. 

"Melihat kondisi tersebut keberadaan AI ini perlu penataan kelola yang baik. Kehadiran tata kelola AI diharapkan dapat merespons kebutuhan perlindungan konsumen hingga menjamin persaingan usaha yang sehat dari pemanfaatan AI serta memitigasi hilangnya pekerjaan atas berkembangnya kecerdasan buatan ini," tegasnya. 

Sebelumnya, Menteri Komunikasi dan Informatika telah menerbitkan Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 3 tahun 2021 Tentang Standar Kegiatan Usaha dan Standar Produk pada Penyelenggaraan Perizinan Perusahaan Berbasis Risiko.

Dalam peraturan menteri tersebut diatur juga mengenai AI. Ruang lingkup yang diatur dalam peraturan menteri tersebut adalah penyelenggaraan aktivitas pemrograman yang mencakup konsultasi yang dilanjutkan analisis dan pemrograman yang memanfaatkan teknologi AI; termasuk subset dari AI seperti machine learning, natural language processing, expert system, dan subset AI lainnya. 

Menurut Peraturan Menteri tersebut, penyelenggara aktivitas pemrograman berbasis AI di antaranya  harus bersedia memenuhi standar kompetensi kerja nasional Indonesia (SKKNI), bersedia melaksanakan kegiatan aktivitas pemrograman sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan dan bersedia membuat dan menerapkan kebijakan internal perusahaan mengenai data dan etika internal kecerdasan artifisial.

Selain itu, bersedia melakukan publikasi inovasi dan pengembangan teknologi kepada publik melalui kegiatan demo maupun cara yang dapat diakses oleh publik dengan memperhatikan aspek privasi dan legalitas, bersedia melakukan pelaporan atas aktivitas pengembangan teknologi AI secara berkala setiap 1 (satu) tahun (sebelum tanggal 30 April) kepada Direktur Jenderal Aplikasi Telematika Informatika. 

"Dalam peraturan menteri tersebut juga Direktorat Jenderal Aplikasi Informatika diamanatkan untuk melakukan pengawasan dalam bentuk evaluasi terhadap laporan periodik atas aktivitas pengembangan teknologi AI tersebut secara rutin dan insidental; menindaklanjuti laporan pengaduan masyarakat dan/atau kementerian atau lembaga terkait," ujarnya. 

Di samping itu, AI mencakup bidang yang luas dan beragam, mencakup berbagai jenis sistem dan metode. Hal ini membuat sulit untuk mendefinisikan apa yang termasuk AI, atau untuk menerapkan satu set standar atau prinsip yang seragam untuk semua sistem AI. Oleh karena itu, diperlukan regulasi AI yang dapat memberikan kejelasan dan konsistensi dalam tata kelola AI. 

Sementara itu AI adalah bidang yang dipengaruhi dan mempengaruhi berbagai pemangku kepentingan, seperti pemerintah, industri, akademisi, masyarakat sipil, dan organisasi internasional. 

"Untuk itu, perlu untuk berkoordinasi dan menyelaraskan regulasi AI di antara berbagai yurisdiksi, wilayah, dan sektor, atau untuk menyeimbangkan manfaat dan risiko AI," tambahnya.

Diskusi  "Menuju Etika dan Regulasi AI di Indonesia" yang melibatkan pakar dan akademisi ini merupakan kerja sama antara Kementerian Kominfo bersama Universitas Atma Jaya, dan Komunitas Alumnus Program Doktoral Ilmu Komunikasi Universitas Indonesia.

Selain itu, Pusat Riset Masyarakat dan Budaya, BRIN dan sejumlah perguruan tinggi ikut mendukung penyelenggaraan kegiatan diskusi.

sumber : Antara
BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler