Kasus Bullying di SMA Binus Serpong, Mengapa Remaja Mau Dipelonco untuk Masuk Geng?

Anak Vincent Rompies dikabarkan termasuk salah satu pelaku perundungan di sekolahnya.

ANTARAFOTO/Maulana Surya.
Siswa mengikuti aksi cap tangan saat deklarasi anti bullying. Remaja butuh merasa tergabung ke satu kelompok sebagai bagian dari jati dirinya.
Rep: Santi Sopia Red: Reiny Dwinanda

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- - Kasus perundungan (bullying) yang melibatkan siswa SMA Binus Serpong viral di media sosial. Anak dari presenter Vincent Rompies disebut sebagai salah satu pelaku perundungan dalam kasus tersebut.

Siswa yang merupakan korban perundungan dilaporkan mengalami memar hingga luka bakar. Korban diketahui dirundung untuk bisa masuk dalam geng di antara siswa tersebut.

Pihak sekolah mengonfirmasi kasus itu dilakukan di luar sekolah. Mengapa remaja merasa harus masuk dalam geng meskipun harus dipelonco?

Psikolog Vera Itabiliana Hadiwidjojo mengatakan remaja membutuhkan identitas diri yang mantap di lingkungannya. Hal ini termasuk identitas kelompoknya, di mana remaja membutuhkan rasa memiliki di dalamnya.

"Mereka butuh merasa tergabung ke satu kelompok sebagai bagian dari jati diri mereka. Ketika menemukan kelompok yang dianggap keren atau cocok, maka remaja cenderung akan menerima atau menjalani nilai yang ada di dalam kelompok tersebut," kata Vera saat dihubungi Republika.co.id, Selasa (20/2/2024).

Menurut Vera, ada juga remaja yang bergabung dengan geng karena terpaksa dan diintimidasi terus-menerus. Selain itu, ada juga yang merasa tidak punya pilihan lain yang bisa dilakukan selain hanya mengikutinya.

Bagi yang ingin masuk geng, lanjut Vera, umumnya mereka harus mengikuti nilai, tradisi, dan aturan-aturan geng tersebut apapun bentuknya. Jika ingin keluar, ada risiko dikucilkan, tidak punya teman lagi, atau ada ancaman-ancaman yang membuat mereka takut.

Saat ini, menurut Vera, sebagian besar sekolah juga sudah ada yang mengeluarkan aturan tegas terkait bullying. Aturan ini sepertu memberikan sanksi terkait geng dengan aktivitas negatif.

"Seperti misalnya jika ketahuan bergabung dengan geng, maka nilai anak akan dikurangi dan anak akan kehilangan kesempatan untuk memperoleh undangan masuk perguruan tinggi negeri (PTN)," ujarnya.

Vera menjelaskan geng ini diartikan sebagai perkumpulan remaja sebaya. Kelompok ini tisak selamanya diartikan negatif karena bergantung nilai dan aktivitas geng tersebut.

Jika memang positif, tidak ada salahnya bergabung dengan geng karena pada dasarnya remaja memang sedang butuh menjalin sosialiasi yang erat dengan sebayanya. Tanpa geng, anak juga biasanya punya sekelompok atau beberapa teman yang dirasa cocok atau punya banyak kesamaan. Karena itu, sebetulnya kelompok ini juga bisa disebut geng.

Baca Juga


Vera menjelaskan orang tua bisa berbincang dengan anak tentang keberadaan geng yang ada di sekolahnya. Cara ini perlu dilakukan baik terhadap anak laki-laki maupun perempuan.

Tanyakan kepada anak bagaimana pandangan mereka tentang geng tersebut. Apakah anak tertarik untuk bergabung atau malah sudah punya geng sendiri? Berikutnya, coba diskusikan aktivitas geng apa yang positif dan negatif.

Vera menyebut anak pelaku perundungan biasanya dekat dengan kekerasan baik secara fisik, baik verbal maupun mental. Misalnya, pengasuhan diwarnai dengan hukuman fisik.

Pelaku bully mungkin hidup di tengah keluarga dengan nilai, misalnya, yang menganggap anak laki berkelahi itu biasa. Anak yang selalu mendapatkan apa yang dia inginkan atau kebalikannya selalu ditekan di dalam keluarga, sehingga banyak memendam keinginan juga bisa tumbuh menjadi perundung.

"Pelaku perundungan juga bisa merupakan korban bully di lingkungan lain di luar gengnya," kata Vera.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Berita Terpopuler