Peneliti Minta Jangan Latah Sebut Puting Beliung Rancaekek Sebagai Tornado, Ini yang Benar

Peneliti meminta jangan latah sebut puting beliung Rancaekek sebagai angin tornado.

Republika/Edi Yusuf
Warga bersama petugas membereskan bangunan dan pohon-pohon tumbang akibat angin puting beliung. Peneliti meminta jangan latah sebut puting beliung Rancaekek sebagai angin tornado.
Rep: Santi Sopia Red: Bilal Ramadhan

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Masyarakat dihebohkan dengan penampakan putaran angin besar di kawasan Rancaekek, Bandung, Jawa Barat. Peneliti BRIN, Dr Erma Yulihastin, menulis di X (sebelumnya Twitter), bahwa tim peneliti juga melakukan rekonstruksi dan investigasi secepatnya atas kejadian tornado Rancaekek pada (21/2/2024).

Baca Juga


Namun, menurut Peneliti Ahli Utama Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Prof Eddy Hermawan, kondisi tersebut tidak bisa serta-merta disebut sebagai tornado. Ada banyak faktor yang harus ditelaah untuk mengukur kondisi tersebut.

"Jangan latah. Iya betul kalau dikatakan tornado mungkin baby tornado, ini puting beliung. Kalau tornado bandingkan dengan Amerika, Jepang, gak hanya satu titik kecil dan selalu berhadapan sengan lautan lepas, siklon Seroja, Cempaka, Dahlia. Jadi ini masih tegolong bukan tornado. Ini jauh dari siklon tropis kok disebut tornado," kata Prod Eddy saat dihubungi, Kamis (22/2/2024).

Prof Eddy mengatakan andaikan dilakukan rekonstruksi, kondisi ini bisa karena pemanasan, uap, dari tanaportasi. Begitu masuk semua panas itu, barulah angin bermain. 

"Sekitar situ saja jadi hanya satu alat pakai radar terutama yang dimiliki BMKG untuk memantau 12 kilogram ke atas. Awan gede bisa jadi dari lautan selatan atau karena daratan yang sangat intensif menerima panas," ujar Prof Eddy.

Prof Eddy menjelaskan fenomena angin yang terjadi di Rancaekek memang salah satu pola dari bencana hidrometeorologi. Biasanya, menurut dia, kawasan yang dilanda tornado berhadapan langsung dengan laut bebas.

"Saya meluruskan dulu, apakah ini tornado? Soalnya kan beda banget dengan tornado yang di Calofornia, Dubai, itu skala besar. Jangan apa-apa tornado. Saya bikin perumpamaan, pendapat saya kita melihat siklon tropis," lanjutnya.

Prof Eddy menyinggung siklon tropis seperti Seroja, Cempaka, Dahlia pada akhir 2017 yang menyerang pantai Selatan Yogyakarta, dan itu bukan tornado. Maka menurutnya perlu diluruskan dulu istilahnya. 

Dia menekankan jangan sampai BRIN menyebut itu tornado padahal BMKG tidak menyatakan seperti demikian. Dalam memprediksi fenomena ini harus ada tiga aspek, yakni waktu, lokasi dan seberapa besar kekuatannya.

Khusus di Rancaekek, Prof Eddy melihat bahwa posisi kawasan tersebut berada di tengah-tengan pantai, dan yang jelas bukan di tepi pantai. Kawasan ini terbilang unik dan spesifik.

Jika ada suatu fenomena ekstrem terjadi di sana, bisa karena ada pengaruh sirkulasi global bagian barat yang disebut Indian Ocean Dipole (IOD), atau bagian timur dikatakan sebagai El Nino atau La Nina. 

"Tapi itu gak mungkin, bagaimana mungkin menelaah kwasan sangat lokal dari aspek global gak mungkin kan. Mungkin dari muson juga tidak. Saya menilai yang menjadi faktor utama penyebab karena kondisi lokal setempat jadi bukan karna tetangga kiri kanan, utara selatan," lanjutnya.

Fenomena itu hanya bisa dijelaskan menggunakan pengetahuan tentang gelombang atmosfer Equatorial Rossby (ER), Kelvin, Mixed Rossby Gravity (MRG) dan kombinasi ketiganya. Dugaannya, ER itu tidak kecil, gelombang-gelombang itu kecil dan yang paling besar adalah residual atau sisa dari gelombang itu. 

Residual total inilah yang mendominasi, jadi bukan karena ER, Kelvin, atau MRG. Indikasinya kita tertarik dengan namanya evolusi. Saat terjadi fenomena di Rancaekek, banyak awan besar. Kalau hanya satu awan saja, tidak mungkin bisa membuat satu putaran.

Baca juga : Bagaimana Semesta Tercipta? Begini Alquran Jelaskan Peristiwa Tersebut

Prof Eddy berpikir bahwa itu kumpulan awan Cumulonimbus (Cb) atau terbentuk sistem konvektif skala besar atau Mesoscale Convective Systems (MCS). 

Dia melihat kawasan Rancaekek karena lokasinya di tengah-tengah, maka mendapatkan pemanasan lebih. Otomatis kawasan itu menjadi pusat tekanan rendah, yang mengakibatkan semua massa uap di wilayah tetangganya tersedot.

Wilayah tetangga itu seperti Tasikmalaya, Purwakarta, Pamanukan. Intinya, semua menuju pusat tekanan rendah, sehingga pada saat itulah angin terbentuk pusaran. 

"Itu terjadi tanggal 21 sebenarnya, inisialnya kondisinya terbentuk dua hari sebelumnya. Tangal 19 semua masa uap air sudah masuk, cuma kita gak sadar, sifat daratan itu cepat menyerap dan mengeluarkan panas ujarnya menambahkan.

Pada dasarnya, Prof Eddy juga menambahkan hanya radar BMKG yang bisa mendeteksi fenomena tersebut. Jika dibuat simulasi kembali, rekonstruksi, pahami meknisme, sumber utama berasal dari mana, kenapa bisa terjadi, perhatikan uap air dan sebagainya.

"Indonesia bebas dari tornado hanya tidak bebas dari cucunya ini, yang kecil bandel, dan susah diprediksi, nakal lagi," kata dia.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler