Beda dengan Peneliti BRIN, BMKG tak Sepakat dengan Istilah Tornado di Rancaekek

BMKG lebih sepakat penggunaan istilah familiar di Indonesia yakni puting beliung.

Tangkapan Layar/Dok Rep
Angin Puting Beliung di wilayah Rancaekek, Kabupaten Bandung, Jawa Barat
Rep: Ronggo Astungkoro Red: Teguh Firmansyah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) meminta semua pihak untuk tidak menggunakan istilah yang dapat menimbulkan kehebohan di tengah masyarakat. Respons BMKG disampaikan menyusul pernyataan dari peneliti BRIN soal kemiripan puting beliung di Rancaekek dengan tornado di Amerika Serikat. 

Baca Juga


BMKG menerangkan, secara esensial fenomena puting beliung dan tornado merujuk pada fenomena alam yang punya beberapa kemiripan visual. Tapi puting beliung tidak sekuat tornado yang biasanya terjadi di wilayah Amerika.

“Kami mengimbau bagi siapa pun yang berkepentingan untuk tidak menggunakan istilah yang dapat menimbulkan kehebohan di masyarakat. Cukuplah dengan menggunakan istilah yang sudah familiar di masyarakat Indonesia sehingga masyarakat dapat memahaminya dengan lebih mudah,” jelas Kepala Pusat Meteorologi Publik BMKG Andri Ramdhani kepada Republika, Kamis (22/2/2024).

Dia menjelaskan, kemiripan visual dari fenomena puting beliung dan tornado berupa angin yang kuat, berbahaya, dan berpotensi merusak. Menurut dia, ‘tornado’ biasa dipakai di wilayah Amerika. Ketika intensitasnya meningkat lebih dahsyat dengan kecepatan angin hingga ratusan km/jam dengan dimensi yang sangat besar hingga puluhan kilometer, maka dapat menimbulkan kerusakan yang luar biasa.

“Sementara itu di Indonesia fenomena yang mirip tersebut diberikan istilah puting beliung dengan karakteristik kecepatan angin dan dampak yang relatif tidak sekuat tornado besar yang terjadi di wilayah Amerika,” jelas dia.

Andri menuturkan, puting beliung secara visual merupakan fenomena angin kencang yang bentuknya berputar kencang menyerupai belalai dan biasanya dapat menimbulkan kerusakan di sekitar lokasi kejadian. Puting beliung terbentuk dari sistem awan cumulonimbus (CB) yang memiliki karakteristik menimbulkan terjadinya cuaca ekstrem.

“Meskipun begitu tidak setiap ada awan CB dapat terjadi fenomena puting beliung dan itu tergantung bagaimana kondisi labilitas atmosfernya,” terang dia.

Dia juga mengatakan, kejadian angin puting beliung dapat terjadi dalam periode waktu yang singkat dengan durasi kejadian umumnya kurang dari 10 menit. Prospek secara umum untuk kemungkinan terjadinya dapat diidentifikasi secara general, di mana fenomena puting beliung umumnya dapat lebih sering terjadi pada periode peralihan musim dan dan tidak menutup kemungkinan terjadi juga di periode musim hujan.

Berdasarkan catatan BMKG, kata Andri, fenomena puting beliung telah terjadi beberapa kali di wilayah Bandung, seperti misalkan pada 05 Juni 2023 terjadi di Desa Bojongmalaka, Desa Rancamanyar, dan Kelurahan Andir Kecamatan Baleendah-Bandung.

Berdasarkan informasi media, fenomena tersebut menimbulkan kerusakan pada bangunan rumah warga di mana sebanyak 110 rumah rusak di Bojongmalaka, 20 rumah rusak di Kelurahan Andir, dan 11 rumah rusak di Rancamayar.

“Pada 2023 juga terjadi kejadian puting beliung di wilayah Bandung pada Oktober di Banjaran dan Desember di Ciparay serta menimbulkan beberapa kerusakan seperti bangunan rusak dan pohon tumbang, bahkan di tahun 2024 tepatnya 18 Februari 2024, puting beliung terjadi juga di Parongpong Bandung Barat,” jelas dia.

Sebelumnya, Peneliti Pusat Riset Iklim dan Atmosfer Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Erma Yulihastin menyebut angin kencang yang terjadi di Rancaekek, Jawa Barat, sebagai tornado karena melihat bukti-bukti berdasarkan dokumentasi publik. Menurut dia, yang bukti paling jelas ada pada skala meso yang lebih dari 2 km, yang membuat lima kecamatan terdampak oleh fenomena tersebut.

“Yang penting ini udah masuk skala meso. Kalau skalanya mikro, baru bukan tornado. Tornado itu skala meso, meso itu di atas 2 km, itu saja. Nah kalau lima kecamatan terdampak, masa itu skala mikro?” jelas Erma kepada Republika, Kamis (22/2/2024).

Dia menjelaskan, untuk melihat fenomena itu, ada dua jenis dokumentasi yang sangat berhargap dalam riset, yakni dokumentasi publik dan dokumentasi saintifik. Saat ini, kata dia, dokumentasi publik sudah bisa didapatkan berdasrakan foto-foto dan video yang diunggah oleh publik di media sosial dan juga berita media massa.

“Dokumentasi visual dan publik itu sudah kita dapatkan, termasuk dampak itu dokumentasi paling berharga dalam riset. Kita akan rekonstruksi dari dampak-dampak itu kan. Dokumentasi saintifik itu butuh simulasi, itu belum kita lakukan,” terang dia.

Dia mengungkapkan, pergerakan awan tornado di Rancaekek terdeteksi di citra satelit awan Himawari. Menurut dia, satelit tersebut mendeteksi keberadaan awan tersebut dari yang sebelumnya ada, kemudian muncul, hingga muncul pusaran. Pusaran semacam itu tidak akan ada apabila awan itu hanya awan biasa.

“Itu muncul, muter. Kalau dia hanya awan biasa, nggak ada pusarannya, berarti itu microscale gitu kan. Skala micro kita biasanya sebut dust devil, angin setan kalau di luar negeri misalnya,” tutur dia.

Dia menerangkan, suatu fenomena angin kencang dapat dikatakan tornado apabila memenuhi sejumlah kriteria. Pertama, kecepatan angin maksimumnya harus mencapai minimal 67 km/jam atau 8 skala Beaufortnya, skala untuk mengukur kecepatan angin.

 

 

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Berita Terpopuler