BRIN: Puting Beliung Ekstrem di Rancaekek Kejadian Langka
Penyebab puting beliung kemungkinan akibat konvergensi angin dan uap air di daratan
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) menyatakan kejadian cuaca ekstrem puting beliung yang terjadi di Rancaekek, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, adalah kejadian langka dan terletak di tengah daratan.
"Fenomena yang terjadi merupakan kejadian cuaca ekstrem yang memperlihatkan karakteristik puting beliung yang sangat kuat," kata Peneliti Senior Pusat Riset Iklim dan Atmosfer BRIN Didi Satiadi dalam keterangan di Jakarta, Jumat.
Dalam bahasa Inggris, istilah puting beliung dikenal sebagai microscale tornado atau tornado skala kecil karena ukurannya yang lebih kecil daripada tornado yang biasa terjadi di daerah lintang menengah.
Didi mengatakan fenomena tornado menggambarkan suatu kolom udara yang berputar sangat cepat, mulai dari awan badai hingga mencapai permukaan tanah, dan biasanya berbentuk seperti corong.
Hasil analisis awal menunjukkan penyebab puting beliung kemungkinan akibat konvergensi angin dan uap air di daratan sekitar wilayah Rancaekek pada sore hari.
Konvergensi itu menyebabkan pertumbuhan awan cumulonimbus yang sangat cepat dan meluas. Proses pembentukan awan membebaskan panas laten yang selanjutnya meningkatkan updraft atau aliran udara ke atas.
Sebaliknya, updraft yang semakin kuat akan menumbuhkan lebih banyak awan. Siklus umpan balik positif tersebut menyebabkan updraft menjadi semakin kuat dan dapat berputar karena adanya windshear (perbedaan arah/kecepatan angin).
"Kolom udara yang berputar semakin kuat dapat mencapai permukaan tanah dan menghasilkan puting beliung," kata Didi.
Profesor Riset Pusat Riset Iklim dan Atmosfer BRIN Eddy Hermawan mengungkapkan Rancaekek merupakan kawasan yang terletak nyaris di tengah-tengah Pulau Jawa bagian barat.
Kawasan itu semula merupakan kawasan hijau yang ditandai dengan banyak pepohonan. Artinya, lingkungannya masih relatif bersih.
Namun, sekarang kawasan itu telah beralih fungsi yang semula hijau berubah menjadi kawasan industri. Kawasan seperti itu biasanya rawan diterjang pusaran angin. “Dengan kata lain, terjadi perubahan tata guna lahan yang semula hutan jati, kini berubah menjadi hutan beton,” kata Eddy.
Lebih lanjut dia menerangkan bahwa industri banyak menghasilkan gas emisi yang tidak dapat leluasa kembali ke atmosfer akibat efek rumah kaca. Dengan lama penyinaran matahari lebih dari 12,1 jam, maka kawasan itu sangat panas pada siang hari dan relatif dingin saat malam hari.