Film Agak Laen Dikritik Berujung Hina Komika, Ernest Prakasa: Sedih Gua

Film Agak Laen nyaris menarik tujuh juta penonton bioskop.

Antara
Para komika dari siniar Agak Laen Oki, Jegel, Bene, dan Boris saat ditemui usai konferensi pers dan pemutaran trailer film Agak Laen di Jakarta, Selasa (12/12/2023).
Rep: Rahma Sulistya Red: Reiny Dwinanda

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Di tengah kesuksesan pemutarannya yang hampir mencapai tujuh juta penonton, Agak Laen mendapatkan kritik dari beberapa warganet. Mereka menyebut film komedi horor tersebut ableis karena dianggap menghina kaum difabel, dan misoginis karena dinilai menyudutkan perempuan dengan penyebutan kata "pelakor".
 
"Stand up comedy di Indonesia sangat MENJIJIKKAN, kayanya sudah nggak ada harapan. Ini hasilnya terus-terusan melanggengkan stereotipe jahat, menganggap hinaan terhadap minoritas sebagai lelucon, terus menjilat pemerintah. Akhirnya fansnya banyak kaya gini, sudah jahat, sok bener," tulis akun @wwwwinne***.

Komentar tersebut juga di-retweet oleh komika Arie Kriting yang terlibat dalam film Agak Laen. Merespons pendapat tersebut, produser Ernest Prakasa angkat bicara.

Baca Juga


"Dari mengkritik film, ujung-ujungnya menghina profesi stand-up comedian. Bisa gitu ya. Sedih gua," tulis Ernest, Rabu (21/2/2024).

Meskipun demikian, ada satu pernyataan yang justru ditanggapi positif oleh Ernest. Ia menunjukkan rasa hormatnya terhadap kritik dari @runiarumnd*** yang mengungkapkan ada beberapa jokes yang mengganggunya, yakni menyoal waria, difabel, dan pelakor.
 
Bagi Runi, istilah "pelakor" termasuk misoginis. Lalu, dia juga menyoroti adegan tokoh difabel bernama Obet (diperankan Sadana Agung) seolah dipandang sebelah mata.
 
"Call me a party pooper or whatever, tapi aku setuju dengan Geger Riyanto dalam tulisannya 'Humor dan Kebejatan' bahwa humor yang betulan lucu adalah yang bermain dengan penyimpangan ekspektasi—ada set up dan ada punchline. Sementara jokes di film ini yang tadi aku sebutkan, hanya mengolok saja. Bukan dark joke, tapi cuma 'dark' saja," tulis dia.
 
Menurut Runi, ada beberapa elemen yang bisa dikembangkan menjadi jokes bernada social commentary, yang sayangnya justru lewat begitu saja. "Jika jokes 'gelap' tadi diperbaiki, film ini bisa jadi salah satu film lokal top favoritku tahun ini," kata pemilik akun tersebut.
 
Runi juga memberi info bahwa istilah "pelakor" dianggap lahir dari misoginis, di mana pihak perempuan yang seakan selalu disalahkan dan dihujat dalam kasus perselingkuhan yang seharusnya itu tanggung jawab keduanya. Apalagi, dalam kasus yang pernah terjadi, biasanya hanya pihak perempuan yang disudutkan.

Terkait istilah "pelakor" (perebut laki orang), seorang warganet ada yang menimpali bahwa istilah ini tidak misoginis karena ada istilah lain untuk menyebut sebaliknya, yakni "pebinor" (perebut bini orang).

"Lahh kan selain 'Pelakor' juga ada istilah 'Pebinor". Misoginis kayak nggak ada pasangannya aja. Kan ada juga. Penggunaannya ya tergantung konteks, siapa yang jadi tukang rebut dan korbannya. Gitu aja kok repot," kata akun @mahfud***.
 
Sementara itu, Ernest menunjukkan kebesaran hatinya dalam menerima kritik dari @runiarumndari. Dia menuliskan pesan khusus untuk mengapresiasi kritik Runi terhadap film yang diproduserinya.

"Hi Runi, salam kenal. Terima kasih banyak untuk ulasannya, masukannya diterima dengan baik. Akan jadi catatan untuk kami moving forward. All the best," tulis Ernest.


Pada Selasa (20/2/2024), Ernest melanjutkan percakapan dengan menuliskan utas di akun Twitter-nya. Ia menyoroti tentang opini tiap orang terhadap suatu film.

"Film itu seni, dan seni itu relatif. Maka dari itu, SEMUA opini pribadi terhadap film, adalah valid. Gue menghormati semuanya, tanpa terkecuali. Mulai dari pujian termanis sampai kritik terkeras. Itu cara gue untuk bertumbuh dan mendewasakan diri," kata dia.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Berita Terpopuler