Pengamat: KPU Anggap Enteng, Sirekap Belum Siap dan Dipaksakan

Pengamat sebut KPU menganggap enteng Sirekap yang belum siap justru dipaksakan.

ANTARA FOTO/Basri Marzuki
Petugas panitia pemilihan kecamatan (PPK) menginput data penghitungan perolehan suara ke laman Sirekap. Pengamat sebut KPU menganggap enteng Sirekap yang belum siap justru dipaksakan.
Rep: Bayu Adji Prihammanda Red: Bilal Ramadhan

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Pemilihan Umum (KPU) menggunakan Sistem Informasi Rekapitulasi (Sirekap) sebagai alat bantu dalam pelaksanaan pemilihan umum (pemilu) 2024. Namun, belakangan alat bantu untuk penghitungan suara itu menimbulkan polemik.

Baca Juga


Berbagai permasalahan muncul dalam penggunaan Sirekap, yang hasil penghitungannya ditampilkan dalam website pemilu2024.kpu.go.id. Mulai dari ketidaksesuaian pembacaan aplikasi Sirekap terhadap angka dalam C Hasil hingga anomali data yang membuat suara untuk peserta pemilu tertentu bertambah atau berkurang. 

Direktur Eksekutif Network for Democracy and Electoral Integrity (Netgrit) Hadar Nafis Gumay menilai, Sirekap belum matang untuk digunakan sebagai alat bantu pada pemilu 2024. Alhasil, kerja Sirekap menjadi berantakan.

"Saya kira memang KPU tidak menyiapkan Sirekap dengan baik. Mungkin menganggap enteng, sehingga satu sistem yang belum siap betul, belum cukup diuji coba, kemudian mereka paksakan," kata dia saat dihubungi Republika, Sabtu (24/2/2024).

Ia mengatakan, Sirekap pernah digunakan sebagai alat bantu dalam pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak 2020. Meski skala pilkada berbeda dengan pemilu 2024, yang notabene memiliki kerumitan yang lebih tinggi, seharusnya KPU dapat memanfaatkan momen itu sebagai bahan pembelajaran. 

Menurut Hadar, KPU semestinya memiliki waktu untuk melakukan perbaikan Sirekap selama jeda antara pilkada serentak 2020 hingga pemilu 2024. Namun, ia menduga, upaya itu tak dilakukan dengan maksimal, meski waktu dan anggaran untuk melakukan perbaikan disebut tersedia.

"Saya kira ini menunjukkan dengan jelas mereka belum siap betul dengan sistem (Sirekap), sehingga berantakan seperti ini," kata mantan komisioner KPU itu.

Republika mencoba mencari tahu awal mula Sirekap dikembangkan sebagai alat bantu. Mengacu pada pernyataan Komisioner KPU Betty Epsilon Idroos, embrio Sirekap telah digunakan untuk pilkada serentak 2020. 

"Embrionya sudah ada di 2020, pilkada 2020 menggunakan Sirekap dan itu langsung memotret C1 plano. Karena punya pengalaman yang baik kita lanjutkan untuk pemilu 2024," kata Betty kepada wartawan di Kantor KPU RI, Rabu (7/2/2024).

Meski hanya sebagai alat bantu, cara kerja Sirekap telah menggunakan teknologi optical character recognition (OCR) dan optical marking recognition (OMR). Teknologi itu bertugas untuk membaca foto formulir C Hasil yang diunggah anggota KPPS melalui aplikasi Sirekap. Foto itu yang nantinya dikonversi menjadi angka.

Ia menambahkan, hasil dari Sirekap itu dapat dilihat melalui website pemilu2024.kpu.go.id. Masyarakat dapat mengakses informasi perolehan suara per TPS beserta lampiran C Hasil yang diunggah oleh petugas KPPS melalui Sirekap. 

Berdasarkan penelusuran Republika, KPU telah mencoba untuk mengembangkan Sirekap bersama Institut Teknologi Bandung (ITB) sejak Oktober 2019. Mengutip dari website resmi ITB (https://itb.ac.id/berita/kpu-gandeng-itb-untuk-pengembangan-sistem-e-rekap/57293), KPU pernah datang kampus berlogo Ganesha itu pada Jumat, 11 Oktober 2019.

Kedatangan KPU yang ketika itu dipimpin Arief Budiman salah satunya untuk membahas kerja sama pengembangan sistem rekapitulasi suara berbasis elektronik (E-Rekap) untuk pilkada serentak 2020. Mengingat, ITB merupakan lembaga di balik penggunaan Sistem Informasi Penghitungan (Situng) oleh KPU pada pemilu 2019.

Setelahnya, pada Jumat, 1 Oktober 2021, dibuat Nota Kesepahaman antara KPU dengan ITB tentang Kerja Sama Pemanfaatan Teknologi Informasi dan Komunikasi dalam Mendukung Penyelenggaraan Pemilu dan Pemilihan Tahun 2024. Nota kesepahaman dengan nomor 16/PR.07/01/2021 dan nomor 034/IT1.A/KS.00/2021 itu ditandatangani oleh Ketua KPU, saat itu Ilham Saputra, dan Rektor ITB Reini Wiharadikusumah.

Terdapat lima ruang lingkup dalam nota kesepahaman itu, yaitu (a) penataan terhadap tata kelola TIK dalam mendukung penyelenggaraan pemilu dan/atau pemilihan tahun 2024; (b) pemanfaatan TIK dalam mendukung peningkatan kinerja dan akuntabilitas penyelenggaraan pemilu/pemilihan tahun 2024; (c) peningkatan kualitas SDM dalam bidang TIK dalam mendukung pelaksanaan pemilu/pemilihan tahun 2024 dalam bentuk pendidikan dan/atau pelatihan; (d) pelaksanaan riset dan/atau kajian dalam bidang TIK untuk mendukung pelaksanaan pemilu/pemilihan tahun 2024; dan (e) kegiatan lain yang dianggap perlu dan disepakati para pihak.

Nota kesepahaman itu akan diatur lebih lanjut dalam bentuk perjanjian kerja sama, kontrak, atau bentuk perjanjian lain yang disepakati para pihak dan merupakan satu kesatuan dari nota kesepahaman tersebut. Adapun jangka waktunya, nota kesepahaman itu berlaku dalam jangka lima tahun terhitung sejak ditandatangani para pihak.

Ilham yang kini telah demisioner sebagai ketua KPU mengakui adanya nota kesepahaman untuk pengembangan Sirekap itu. Namun, ia mengatakan nota kesepahaman itu baru sebatas MoU.

"Ya, baru MoU. Pelaksanaan teknis dan perubahan berikutnya saya gak tahu-menahu karena kami sudah demisioner. Dan kami tidak pernah diajak diskusi lagi terkait pengembangannya," ujar Ilham ketika dikonfirmasi Republika, Sabtu.

Menurut dia, Sirekap merupakan teknologi informasi yang dipersiapkan KPU dalam rangka menjalankan prinsip efisiensi, transparansi, dan akuntabilitas. Sirekap disebut bisa membuka akses publik terhadap hasil penghitungan suara. 

"C Hasil plano merupakan sumber data yang paling original, yang merupakan dasar bagi data rekapitulasi, yang difoto (menggunakan HP), yang pada praktiknya bisa menimbulkan terjadinya perubahan suara, baik disengaja maupun tidak disengaja, karena perlu diadministrasikan dalam salinan yang banyak," kata dia.

Menurut dia, perubahan suara itu ditemukan atau berpotensi terjadi dalam proses rekapitulasi di tingkat PPK. Karena itu, sirekap web dipersiapkan untuk digunakan PPK pada saat rekapitulasi di kecamatan sebagai alat bantu mereka.

Ilham menegaskan Sirekap hanya berfungsi sebagai alat bantu. Pasalnya, KPU belum memiliki dasar untuk menjadikan Sirekap sebagai data rekapitulasi resmi. Dalam Undang-undang dan peraturan, tambahnya, hasil rekapitulasi berjenjang manual tetap yang menjadi data resmi penghitungan suara.

Dengan adanya masalah pada Sirekap, menurut dia, seharusnya tidak menghentikan proses rekapitulasi di PPK. Sebagai alat bantu, Sirekap bisa mempercepat proses rekapitulasi dan dalam proses rekapitulasi disandingkan dengan C Hasil plano. 

"Bermasalahnya Sirekap seharusnya tidak menghentikan proses rekapitulasi karena masih ada C Hasil plano, yang merupakan data original dari TPS yang menjadi sumber data rekapitulasi, dan sudah ditandatangani oleh para saksi di TPS dan KPPS," kata dia.

Ilham mengatakan, Sirekap menjadi bagian dari akuntabilitas KPU terhadap publik untuk proses penghitungan dan rekapitulasi suara yang dilakukan secara berjenjang. Karena itu, Sirekap tidak perlu dihentikan karena berfungsi sebagai alat kontrol publik. 

"Tapi perbaikan Sirekap tetap dan harus akurat," ujar dia.

Sebelumnya, Ketua KPU Hasyim Asy'ari mengakui adanya data anomali dalam Sirekap. Namun, KPU terus melaksanakan perbaikan data sejak tanggal 15 Februari 2024 sampai dengan saat ini. Adapun data yang sudah diperbaiki untuk pemilu presiden dan wakil presiden sebanyak 74.181 TPS, pemilu DPR 14.651 TPS, dan pemilu DPD 10.512 TPS.

 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler