Bullying di Sekolah-Pesantren: Seperti Ini Dampak Buruknya Bagi Korban, Pelaku, dan Saksi
Perundungan adalah mata rantai yang perlu diputus segera.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kasus bullying di institusi pendidikan semakin sering terjadi belakangan ini. Setelah Binus School Serpong, Tangerang, Banten yang disorot, mata masyarakat kini tertuju pada pesantren di Kediri, Jawa Timur.
Praktisi kesehatan masyarakat Reisa Broto Asmoro mengatakan perundungan adalah mata rantai yang perlu diputus segera. Sebab, ada dampak buruknya bagi semua yang terlibat.
"Memang dampak bullying itu nggak cuma menyasar si korbannya saja, tapi si perundungnya atau orang di sekitarnya yang menyaksikan tindakan bullying itu juga semuanya kena dampak," kata ujar Reisa dalam Siaran Sehat dengan topik "Jaga Anak Kita dari Bullying" yang disiarkan Kementerian Kesehatan di Jakarta, Senin (26/2/2024).
Reisa mengatakan apabila perundungan tersebut melibatkan kekerasan fisik, kesehatan fisik korban pasti terganggu, seperti adanya luka dari benturan, bahkan ada luka yang mengancam nyawa. Dalam kasus di Kediri, santri meninggal dunia dengan tubuh memar.
"Bahkan, kalau verbal saja, ini bisa mengganggu secara mental. Jadi, bukan hanya fisiknya, yang kedua dampak bullying berisiko menyebabkan gangguan mental," ujarnya.
Gangguan-gangguan mental tersebut bisa berupa kecemasan, ketakutan, bahkan mudah marah. Selain itu, lanjut Reisa, akan ada penurunan kemampuan analisis, fokus, produktivitas, yang menyebabkan pencapaian akademik yang buruk.
Reisa menjelaskan pada kasus perundungan yang berat, korban dapat mengalami depresi yang dapat mendorong tindakan-tindakan yang berbahaya seperti mencelakai diri sendiri. Selain itu, juga gangguan dalam hubungan sosial si korban, yang pada akhirnya menurunkan kualitas hidup si korban.
Di sisi lain, perundungan juga memberikan efek buruk bagi pelakunya. Pelaku bisa jadi lebih berperilaku agresif dan impulsif.
"Biasanya pelaku bullying itu kan punya rasa percaya diri dan harga diri yang tinggi, jadi dia tidak takut untuk melakukan berbagai kekerasan," ujar Reisa.
Karena sifat-sifat ingin mendominasi itu, menurut Reisa, pelaku selalu ingin menguasai. Perundungan membuat mereka merasa memiliki kekuasaan lebih.
Menurut Reisa, perundungan dapat membuat pelakunya memiliki watak yang lebih keras. Pada akhirnya mereka tidak dapat berempati pada orang lain. Mereka menjadi mudah marah, bersikap kasar dan ada risiko mereka menjadi kriminal.
"Tentunya berisiko tersangkut masalah hukum," kata Reisa.
Bagi para saksi, lanjut Reisa, mereka dapat menjadi trauma dan tertekan. Di satu sisi, mereka stres dan ketakutan, namun di sisi lain mereka merasa bersalah karena mau membantu korban tapi tidak bisa.
"Akhirnya apa? Mereka bisa saja mengalami gangguan kecemasan. Terus apa? Punya kepribadian untuk menjadi menghindar dari masalah," tutur Reisa.
Hal itu akan memengaruhi kehidupan saksi perundungan di masa depannya, terutama dalam pengambilan keputusan. Reisa menegaskan tidak ada seorang pun yang pantas dirundung, dan tidak boleh ada seorang pun yang diam saja ketika melihat perundungan terjadi. Korban perlu didukung, karena dukungan tersebut menunjukkan kepedulian dan keberanian.
"Jadi bersatulah untuk mengakhiri bullying, karena itu salah, apapun alasannya," kata dia.
Menurut Reisa, perundungan adalah masalah kompleks yang membutuhkan penyelesaian dari seluruh pihak, misalnya keluarga, sekolah, teman bermain, dan masyarakat. Apabila perundungan sudah telanjur terjadi, ada sejumlah hal yang dapat dilakukan. Korban perundungan perlu diyakinkan bahwa perundungan itu bukan salahnya agar kepercayaan dirinya tumbuh kembali.
"Kemudian, kita harus bantu agar korban ini bisa mampu membela dirinya sendiri dan anak yang melaporkan kejadian itu perlu dihargai," ucapnya.
Selain itu, Reisa mengingatkan hukuman atau kritik yang diberikan terhadap pelaku perundungan sebisa mungkin tidak di tempat umum. Yang terpenting adalah si pelaku didorong untuk jujur, dan diapresiasi ketika sudah mau jujur agar perilaku negatifnya tidak semakin parah.