PSHK UII Sindir Inkonsistensi Putusan MK Terkait Ambang Batas Parlemen 4 Persen

Inkonsistensi MK bisa dilihat masyarakat dengan mata telanjang.

Republika/Thoudy Badai
Gedung Mahkamah Konstitusi (MK) di Jakarta.
Rep: Rizky Suryarandika Red: Agus raharjo

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pusat Studi Hukum dan Konstitusi Universitas Islam Indonesia (PSHK UII) menyindir Mahkamah Konstitusi (MK) yang menunjukkan inkonsistensi dalam putusannya. PSHK UII mengingatkan MK agar tiap putusannya tak diberlakukan ke belakang. 

Baca Juga


Hal tersebut disampaikan oleh Dewan Pembina Pusham UII Despan Heryansyah menyangkut  penghapusan parliamentary threshold atau ambang batas parlemen empat persen. Despan merasa heran karena MK tak menyentuh urusan presidential threshold atau ambang batas pencalonan Presiden.

Padahal presidensial threshold bertalian erat dengan parliamentary threshold"Dari logika yang sama, sejatinya juga digunakan oleh MK dalam konteks presidential threshold," kata Despan kepada Republika.co.id, Jumat (1/3/2024). 

Dalam Pilpres 2024 masih digunakan Presidential Threshold 20 persen. Sehingga tiap orang yang ingin jadi capres wajib mengantongi dukungan minimal 20 persen di parlemen. 

"Mengapa sampai hari ini MK masih tetap bersikukuh dengan ambang batas 20 persen, padahal pintu masuknya sendiri, yaitu parliamentary threshold sudah diubah," ujar Despan. 

Selain itu, Despan sepakat dengan MK yang memutuskan kebijakan baru mengenai ambang batas parlemen diterapkan di pemilu berikutnya. Sebab terlebih dahulu akan ditentukan besarannya oleh pembentuk undang-undang. Dengan begitu, revisi ambang batas parlemen 4 persen ditargetkan tuntas sebelum penyelenggaraan Pemilu 2029. 

"Terkait dengan keberlakuan putusan ini, saya setuju dengan MK, harus ketentuan atau norma ini memang diberlakukan ke depan, bukan ke belakang, UU tidak dapat berlaku surut, itu jaminan konstitusi," ujar Despan. 

Tapi Despan menekankan mengapa MK tak bersikap sama untuk putusan batas usia capres/cawapres. Patut diingat, MK menyatakan putusan tersebut justru langsung berlaku di Pilpres 2024 bukan di Pilpres 2029.

"Yang bermasalah justru pada putusan batas usia cawapres, mengapa diberlakukan langsung di tahun 2024? Padahal proses pemilu sudah dimulai," ujar Despan. 

Oleh karena itu, Despan mengamati MK sebenarnya menampilkan inkonsistensi yang dapat dilihat masyarakat. "Dampaknya masyarakat melihat MK tidak konsisten. Inkonsistensi ini bisa dilihat dengan mata telanjang, jadi MK tidak bisa berkilah," ujar Despan. 

MK baru saja mengabulkan sebagian gugatan uji materi Perludem terkait ketentuan ambang batas parlemen sebesar 4 persen suara sah nasional yang diatur dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Putusan perkara nomor 116/PUU-XXI/2023 itu dibacakan pada 29 Februari 2024.

Dalam pertimbangan hukum, MK tidak menemukan dasar rasionalitas dalam penetapan besaran angka atau persentase paling sedikit 4 persen. Angka ambang batas parlemen tersebut juga berdampak terhadap konversi suara sah menjadi jumlah kursi DPR yang berkaitan dengan proporsionalitas hasil pemilu. 

Sebagai contoh, MK memaparkan, pada Pemilu 2004, suara yang terbuang atau tidak dapat dikonversi menjadi kursi adalah sebanyak 19.047.481 suara sah atau sekitar 18 persen dari suara sah secara nasional. Kebijakan ambang batas parlemen dinilai telah mereduksi hak rakyat sebagai pemilih. Hak rakyat untuk dipilih juga direduksi ketika mendapatkan suara lebih banyak, tapi tidak menjadi anggota DPR karena partainya tidak mencapai ambang batas parlemen.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler