Bappenas: Indeks Desa Mulai Diterapkan pada 2025

Indeks tersebut menjadi indikator evaluasi terhadap kinerja pembangunan desa.

Edi Yusuf/Republika
Warga mempersiapkan permainan tradisional Kadaplak di Bumi Perkemahan Taman Bincarung, Kampung Pasir Angling, Desa Suntenjaya, Kecamatan Lembang, Kabupaten Bandung Barat, Senin (26/2/2024). Kadaplak dulunya merupakan alat yang biasa dipakai petani untuk membawa hasil panen atau rumput untuk ternak saat menuruni bukit. Seiring waktu, kadaplak dipakai sebagai permainan tradisional yang saat ini terus dilestarikan oleh warga, salah satunya sebagai bagian dari daya tarik pariwisata.
Red: Ani Nursalikah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Plt Deputi Bidang Pengembangan Regional Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Tri Dewi Virgiyanti mengatakan Indeks Desa dapat mulai diterapkan pada 2025.

“Hari ini kan peluncuran. Jadi, kita akan melanjutkan dengan pelatihan, pengumpulan data, dan penghitungan dengan bantuan Badan Pusat Statistik (BPS) supaya statistiknya terjaga objektivitasnya dan pengukurannya valid. Kemudian, kita bisa menggunakan indeks itu pada 2025,” kata Tri Dewi Virgiyanti di Jakarta, Senin (4/3/2024).

Ia menuturkan bahwa Indeks Desa belum dapat diterapkan pada tahun ini karena memerlukan pengumpulan data yang menyeluruh karena data yang diperoleh merupakan data sensus, bukan sampling.

Indeks Desa yang disusun oleh Bappenas bersama BPS, Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Kemendesa PDTT), serta berbagai instansi terkait baru saja diluncurkan hari ini di kantor Bappenas, Jakarta.

Indeks tersebut menjadi indikator evaluasi terhadap kinerja pembangunan desa yang mengukur kemandirian desa melalui enam dimensi, yakni layanan dasar, sosial, ekonomi, lingkungan, aksesibilitas, dan tata kelola pemerintahan desa.

Hasil evaluasi tersebut akan mengategorikan desa menjadi desa sangat tertinggal, desa tertinggal, desa berkembang, desa maju, dan desa mandiri.

Tri mengatakan membangun sebuah desa menjadi desa mandiri tidaklah mudah karena terdapat berbagai tantangan, yaitu sumber daya manusia, tata kelola, serta konektivitas wilayah.

Ia mengatakan kapasitas pemerintah maupun masyarakat di banyak desa masih belum optimal sehingga belum dapat memaksimalkan pengelolaan potensi ekonomi di wilayah tersebut. Hal tersebut kemudian diperparah dengan akses transportasi yang tidak memadai.

“Misalnya, mereka punya komoditas unggulan tapi terkendala akses konektivitas jalan, jadi mereka memasarkan produk pertaniannya atau komoditasnya belum optimal,” ujarnya.

Ia berharap hasil Indeks Desa dapat dimanfaatkan dalam pembahasan dokumen perencanaan nasional dan daerah, pengalokasian dana desa, serta penyusunan kebijakan pembangunan desa yang tepat sasaran sehingga dapat membantu pemerintah dan masyarakat desa mengatasi tantangan pembangunan wilayah mereka.

Baca Juga


sumber : Antara
BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler