Penertiban NIK Warga Jakarta dan Kaitannya dengan Polemik KJMU
Disdukcapil DKI Jakarta menyebut ada ratusan penerima manfaat KJMU tidak sesuai data.
REPUBLIKA.CO.ID, oleh Bayu Adji P, Eva Rianti, Antara
Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil DKI Jakarta hingga kini masih melakukan sosialisasi kepada masyarakat yang memiliki KTP DKI yang berada di luar DKI maupun yang tinggal di DKI Jakarta terkait penertiban administrasi kependudukan. Meski penontaktifan NIK akan dimulai bertahap pada April nanti, warga terdampak penertiban diminta tak panik.
“Bagi warga yang NIK-nya terdampak pada penataan administrasi kependudukan sesuai domisili ini, tidak perlu panik. Silakan datang ke loket-loket layanan Disdukcapil terdekat untuk mendapatkan informasi terkait NIK-nya. Jika diketahui NIK tidak aktif, dapat diaktifkan kembali sesuai dengan prosedur yang berlaku,” kata Kepala Disdukcapil Provinsi DKI Jakarta Budi Awaludin, dalam keterangan persnya, Selasa (12/3/2024).
Menurut Budi, ada dua pilihan bagi warga yang ingin mencegah NIK-nya dinonaktifkan, yakni mengurus kepindahannya atau tetap tinggal di Jakarta. Penonaktifan NIK pun akan dilakukan secara bertahap, yakni memprioritaskan data warga yang meninggal hingga alamat yang tak sesuai.
Berdasarkan penertiban administrasi kependudukan, data pada akhir Februari 2024, warga yang sudah meninggal sebanyak 81.000 orang dan rumah tangga yang tidak lagi di DKI Jakarta sebanyak 13.000. Sementara itu, penduduk yang keluar Jakarta tercatat sebanyak 243.160 dan pendatang baru dari luar Jakarta sebanyak 136.200 orang sepanjang tahun 2023.
Budi berharap penonaktifan NIK ini bisa dipahami oleh oleh masyarakat agar bisa memastikan data administrasi kependudukannya hingga mendapat manfaat lainnya. "Salah satu tujuan penonaktifan NIK adalah agar bantuan sosial tepat sasaran," ujarnya.
Salah satu bantuan yang terdampak penertiban NIK adalah Kartu Jakarta Mahasiswa Unggul (KJMU). Berdasarkan data Disdukcapil DKI Jakarta, dari total 19.041 orang penerima KJMU pada 2023, didapati sebanyak 624 yang tidak sesuai.
“Temuan sementara berdasarkan pemadanan data kami sebanyak 624 orang perlu dicek kembali. Kami berupaya menyediakan basis data kependudukan yang akurat agar program-program Pemprov DKI Jakarta juga bisa tepat sasaran,” kata Budi.
Budi memerinci, sebanyak 14 orang dinyatakan tidak sesuai berdasarkan padanan data SIAK Terpusat. Selain itu, sebanyak 577 orang perlu dilakukan verifikasi berdasarkan padanan data kependudukan sesuai domisili, antara lain karena pindah luar DKI (329 orang), tidak dikenal (125 orang), dikenal namun tidak diketahui keberadaannya (119 orang), dan RT tidak ada (empat orang).
Tak hanya itu, berdasarkan padanan pekerjaan kepala keluarga, ditemukan 33 orang penerima yang berpenghasilan tidak rendah. Pekerjaan para orang tua penerima itudi antaranya dosen, karyawan BUMN/BUMD, PNS, konsultan, anggota lembaga tinggi lainnya.
Pj Gubernur DKI Jakarta Heru Budi Hartono, pekan lalu membantah adanya kebijakan pemotongan anggaran untuk program KJMU pada 2024. Pemprov DKI Jakarta juga mengeklaim tak menerapkan kuota untuk penerima bantuan sosial biaya pendidikan tersebut.
"Enggak ada (pemotongan anggaran). Artinya Pemda DKI masih bisa membiayai adek-adek ini kok," kata dia di Pendopo Balai Kota DKI Jakarta, Kamis (7/3/2024) sore.
Ia menambahkan, Pemprov DKI Jakarta juga tak memangkas kuota penerima KJMU. Menurut dia, pemberian KJMU tak didasarkan pada kuota, melainkan kelayakan penerima manfaat.
"Enggak ada kuota-kuota," ujar Heru.
Heru memastikan, mahasiswa yang sudah menerima KJMU akan tetap bantuan sosial pendidikan itu. Kendati demikian, Pemprov DKI Jakarta juga terus melakukan pemadanan data penerima manfaat KJMU agar tepat sasaran. Artinya, penerima KJMU akan tetap melakukan pendaftaran ulang setiap enam bulan.
Menurut dia, Pemprov DKI Jakarta nantinya akan terus berproses mengecek kelayakan penerima KJMU. Apabila terdapat penerima KJMU yang masuk kategori tidak layak, bantuan sosial pendidikan itu akan disetop dan dialihkan untuk program lain.
Komisi E DPRD DKI berencana memanggil Dinas Pendidikan (Disdik) DKI untuk membahas Kartu Jakarta Pintar (KJP) Plus dan Kartu Jakarta Mahasiswa Unggul (KJMU) pada Kamis (14/3/2024) pekan ini. Pemanggilan ini buntut polemik informasi pemotongan anggaran KJMU.
"Ini agar ada solusi bagi penerima manfaat yang belum memperoleh program itu," kata Ketua Komisi E DPRD DKI Iman Satria kepada wartawan di Jakarta, Kamis pekan lalu.
Iman menjelaskan, nantinya Komisi E DPRD DKI akan membahas anggaran 2024 sektor itu yang terbilang jauh lebih rendah. Ia mengatakan, anggaran saat ini hanya Rp 180 miliar, sedangkan tahun lalu Rp 360 miliar.
"Kurang lebih 45 persen berkurang dari 2023 baik KJMU atau KJP Plus," tambahnya.
Lebih lanjut, ia menduga, akibat pengurangan itu, akhirnya Pemprov DKI mengalokasikan penerima manfaat KJP Plus-KJMU berdasarkan pemeringkatan kesejahteraan (desil). Pemeringkatan kesejahteraan (desil) untuk peserta didik/mahasiswa dari keluarga tidak mampu yang memenuhi persyaratan mendapatkan bantuan KJP Plus dan KJMU dibagi atas kategori, sangat miskin (desil 1), miskin (desil 2), hampir miskin (desil 3) dan rentan miskin (desil 4).
Sedangkan, bagi masyarakat yang terdata dalam pemeringkatan kesejahteraan Desil 5,6,7,8,9,10 (kategori keluarga mampu), maka itu tidak memenuhi persyaratan untuk mendapatkan bantuan sosial biaya pendidikan KJP Plus dan KJMU. Oleh karena itu, tegasnya, Komisi E DPRD DKI akan mengadakan rapat dengan Dinas Pendidikan DKI dengan meminta anggaran tambahan mengingat banyak yang belum mendapat bantuan tersebut.
"Sebaiknya tidak usah kasih KJMU ke penerima baru, tetapi yang lama pertahankan supaya tidak putus sekolah," ujar Iman.
Mantan gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan pun sudah mengomentari soal polemik KJMU. Dalam polemik KJMU yang belakangan ini viral, Anies ikut dibawa-bawa oleh publik yang mengadu kepadanya lewat media sosial.
Terhadap penerima manfaat yang sedang kuliah dan dibiayai menggunakan KJMU, menurut Anies, negara dianggap harus bertanggung jawab menyelesaikannya sampai selesai. Bukan malah melakukan rekrutmen dengan mendata peserta baru.
"Kalaupun tidak mau diteruskan programnya, ada keputusan tidak meneruskan, maka lakukan itu dengan cara tidak ada rekrutmen yang baru. Tapi yang sudah masuk ke dalam penerima harus dibiayai sampai tuntas karena kalau tidak mereka akan terbengkalai karena mereka adalah orang-orang membutuhkan bantuan," jelasnya.
Dia menganalogikan pada pengelolaan sebuah sekolah. Ketika sekolah dinyatakan sudah akan ditutup, caranya bukan dengan menerima siswa baru, melainkan siswa yang sudah ada dituntaskan. Kalau pun tidak bisa, perlu disiapkan tempat baru agar siswa tetap belajar dan tidak terbengkalai.
"Ini prinsip sederhana dalam pengelolaan negara, dalam pengelolaan program," kata dia.