Jerman Serukan Deeskalasi di Laut China Selatan
Perundingan mengenai tata perilaku di Laut China Selatan, adalah hal yang penting.
REPUBLIKA.CO.ID, BERLIN -- Kanselir Jerman Olaf Scholz, pada Selasa (12/3/2024), meminta China dan negara-negara di kawasan untuk menyelesaikan ketegangan di wilayah Laut China Selatan yang disengketakan secara damai. Berbicara dalam konferensi pers bersama dengan Presiden Filipina Ferdinand Marcos Jr., Scholz mengatakan, mereka telah membahas perkembangan terkini di kawasan, dan peningkatan ketegangan di Laut China Selatan.
"Ini tentang mematuhi hukum internasional, menjamin kebebasan navigasi. Kami berupaya memastikan bahwa Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS) dipatuhi oleh semua pihak," kata Scholz. "Kami ingin melakukan apa pun yang kami bisa untuk membantu menyelesaikan ketegangan dengan cara damai," ujarnya.
Oleh karena itu, menurut Scholz, perundingan ASEAN mengenai tata perilaku (Code of Conduct/CoC) di Laut China Selatan, adalah hal yang paling penting, dan deeskalasi harus selalu menjadi prioritas. "Kita memiliki UNCLOS, kita memiliki pengadilan arbitrase yang berada di Hamburg. Keputusan penting telah diambil sepanjang tahun ini. Saya yakin sangat penting bagi setiap orang untuk mematuhi peraturan undang-undang yang berlaku," kata Scholz.
Sementara itu, Marcos Jr mengatakan, Filipina berkomitmen terhadap tatanan internasional berbasis aturan, ingin menyelesaikan masalah melalui dialog, namun juga bertekad untuk mempertahankan hak kedaulatannya. "Kami tidak menolak usulan apa pun yang diajukan China kepada kami, namun alasan China tersebut adalah sesuatu yang kami pertanyakan," kata Marcos Jr. ketika ditanya mengenai tanggapan Filipina terhadap usulan Beijing terkait persoalan maritim itu baru-baru ini.
"Alasan yang dibuat China adalah bahwa wilayah mereka mengikuti apa yang sekarang disebut sebagai 10 Garis Putus-Putus. Hal ini tidak diakui oleh negara mana pun, badan internasional mana pun, dan tentu saja tidak oleh Filipina," tegasnya.
Marcos Jr mengatakan bahwa diskusi dengan Beijing tidak akan mengalami kemajuan jika China bersikeras pada persyaratannya. "Saat saya menjabat, saya bersumpah untuk membela dan mendukung konstitusi Filipina. Pasal pertama konstitusi Filipina adalah pasal yang menjelaskan dan mendefinisikan wilayah teritorial," katanya.
"Itu tugas saya, saya tidak punya pilihan selain mempertahankannya, dan kami akan terus melakukan itu," tambahnya. Beijing mengklaim, sebagian besar wilayah maritim yang luas di Laut China Selatan, dan kedua negara telah mengalami ketegangan baru dalam beberapa bulan terakhir di perairan kaya mineral yang disengketakan tersebut.
Pada 2016, China mendapat pukulan telak ketika Pengadilan Arbitrase Pemanen (PCA), sebuah pengadilan internasional yang berbasis di Den Haag, memutuskan bahwa klaim sembilan garis putus-putus (nine dash line) pada peta wilayah yang dikeluarkan Beijing tidak memiliki dasar menurut hukum internasional. China mengatakan bahwa keputusan tersebut tidak sah dan telah melakukan negosiasi dengan ASEAN sejak 2002 mengenai tata perilaku (CoC) di Laut China Selatan.