Bersurat ke Presiden, WNI Jelaskan Kronologi Insiden di Pesawat GA991

Perselisihan di Pesawat GA991 berujung urusan hukum internasional

Antara/Muhammad Iqbal
Pesawat Garuda Indonesia (ilustrasi). Perselisihan di Pesawat GA991 berujung urusan hukum internasional
Red: Nashih Nashrullah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Permasalahan hukum yang terjadi berawal dari perselisihan antara suami Ratih, Raksasabidin Napitupulu, dengan seorang pramugari di dalam pesawat maskapai Garuda Indonesia di Bandara King Abdul Aziz International Airport, tujuan Jeddah (Arab Saudi) ke Cengkareng (Indonesia) dengan nomor penerbangan GA991, pada 10 Februari 2024.

Baca Juga


Perselisihan ini timbul akibat pelayanan yang dianggap kurang baik oleh pramugari tersebut terhadap beberapa penumpang.

“Suami saya merasa tersinggung oleh komentar pramugari, tapi berusaha meredakan situasi dengan candaan mengucapkan suatu kalimat yang ternyata tanpa sepengetahuan suami saya bahwa kalimat tersebut dilarang untuk diucapkan. Akibatnya, suami saya tidak diizinkan untuk kembali ke Indonesia dan diserahkan kepada petugas imigrasi dan polisi bandara untuk investigasi lebih lanjut. Padahal suami saya sudah dua kali umroh, tentu tidak ada unsur jahat ataupun niatan jahat sama sekali, itu murni hanya bercanda,” ujar Ratih, (13/03/2024), dalam keterangannya kepada awak media.

Kemudian Ratih menuturkan pula dirinya merasa bahwa kurangnya bantuan yang diberikan oleh Konsulat Jenderal Republik Indonesia Jeddah kepada keluarga dan pihaknya dalam menangani kasus suaminya di Arab Saudi. Selain itu diceritakan pula secara rinci olehnya bahwa putusan pengadilan yang menjatuhkan hukuman penjara 8 bulan dan denda senilai 10 ribu Riyal Arab Saudi kepada suaminya, harus dibatalkan demi hukum.

Ratih menjelaskan bahwa terdapat kutipan kesaksian suaminya dalam putusan pengadilan yang berbanding terbalik dengan fakta sebenarnya, jelas ini menunjukkan adanya kekeliruan dalam proses hukum. Dari sini ia juga melayangkan permohonan bantuan kepada Pemerintah Republik Indonesia. Surat permohonan bantuan pun dilayangkan tertuju pada Presiden Joko Widodo.

Upaya Ratih benar, karena pada Pasal 18 ayat (1) Undang-undang no. 37 tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri menyatakan: "Pemerintah Republik Indonesia melindungi kepentingan warga negara atau badan hukum Indonesia yang menghadapi permasalahan hukum dengan perwakilan negara asing di Indonesia."

“Kan di sini jadi jelas juga bahwa pemerintah Indonesia memiliki kewajiban untuk melindungi kepentingan warga negaranya yang menghadapi masalah hukum di luar negeri. Hal ini mencakup memberikan perlindungan, bantuan, dan dukungan kepada warga negara Indonesia yang mengalami masalah hukum di negara asing, termasuk dalam hal investigasi, pengadilan, dan proses hukum lainnya,” tegas Ratih.

Dengan demikian, harapnya, tanggung jawab pemerintah Indonesia untuk memberikan bantuan dan perlindungan kepada warga negaranya yang mengalami kesulitan hukum di luar negeri, sesuai dengan prinsip kedaulatan negara dan perlindungan hak asasi manusia. Bersamaan pula Ratih menceritakan bahwa ada permasalahan hukum yang serupa yang dialami oleh dua warga negara Indonesia (WNI) bernama Ummi Widya Yani dan Triningsih pada tahun 2017.

“Kedua WNI tersebut mengalami situasi yang mirip dengan yang dialami oleh suami saya. Namun, berkat upaya diplomasi dan komunikasi yang dilakukan oleh perwakilan Kementerian Luar Negeri Indonesia, yaitu Konsulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI) atau Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI), dengan otoritas Kerajaan Arab Saudi, kedua WNI tersebut akhirnya dibebaskan dari masalah hukum yang mereka hadapi,” tutur Ratih.

Dalam kasus tersebut menunjukkan bahwa ada preseden di mana pihak diplomatik Indonesia berhasil menyelesaikan kasus serupa dengan sukses.

Pengalaman ini memberikan contoh bahwa melalui diplomasi yang efektif dan komunikasi yang baik antara pihak-pihak terkait, termasuk pemerintah Indonesia dan otoritas asing, masalah hukum yang dihadapi oleh WNI di luar negeri dapat diselesaikan dengan baik dan adil.

“Begitu juga dengan permasalahan hukum yang dialami oleh suami saya, semoga pengalaman sebelumnya tersebut dapat menjadi landasan untuk menegaskan pentingnya upaya diplomatik dan komunikasi yang efektif dalam menangani kasus serupa. Diharapkan bahwa berkat upaya yang dilakukan oleh pihak berwenang, termasuk KJRI atau KBRI, masalah hukum yang dihadapi oleh suami saya juga dapat diselesaikan dengan baik dan adil, seperti yang terjadi pada kasus sebelumnya,” ujar Ratih.

Dia juga berharap bahwa kasus yang menimpa suaminya tidak dibedakan perlakuannya dengan kasus serupa yang terjadi pada tahun 2017 di Arab Saudi. “Sebagai seorang WNI, suami saya berhak mendapatkan perlindungan yang sama dari negara, sesuai dengan Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 yang menjamin hak atas perlindungan yang adil dari negara,” imbuh Ratih.

Konsistensi dalam perlakuan dan pelayanan bagi WNI yang mengalami masalah hukum di luar negeri disebut Ratih adalah bentuk keadilan dan keberpihakan negara terhadap rakyatnya. Perlindungan yang konsisten ini juga mencerminkan prinsip-prinsip hak asasi manusia, di mana setiap individu berhak diperlakukan secara adil dan setara di hadapan hukum, tanpa memandang latar belakang atau kondisi tertentu.

Untuk itu Ratih berharap pemerintah Indonesia, terutama lembaga diplomatik seperti KJRI atau KBRI, harus memastikan bahwa semua WNI yang menghadapi masalah hukum di luar negeri diberikan perlindungan yang sama dan diperlakukan secara adil, tanpa adanya diskriminasi atau perbedaan perlakuan yang tidak adil.

"Ini bukan hanya tanggung jawab moral, melainkan juga kewajiban hukum negara Indonesia untuk melindungi hak-hak warganya sesuai dengan konstitusi dan hukum yang berlaku," kata dia.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler