Catatan Kelamnya Ramadhan dari Warga Gaza untuk Dunia

Ramadhan mempunyai tempat tersendiri di hati setiap umat Islam dan warga Gaza.

AP Photo/Fatima Shbair
Anggota keluarga Al-Rabaya berbuka puasa selama bulan suci Ramadhan di luar rumah mereka yang hancur akibat serangan udara Israel di Rafah, Jalur Gaza, Senin, 18 Maret 2024.
Rep: Umar Mukhtar Red: Muhammad Hafil

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Abeer Barakat, namanya. Dia kandidat doktor berbahasa Inggris, ibu dari empat remaja, dan aktivis kesejahteraan perempuan dan anak-anak di Palestina. Kisahnya tentang kengerian bulan Ramadhan 1445 H di Gaza, dimuat di Time.

Baca Juga


Ramadhan 1445 H memang dimulai pada Maret 2024. Namun bagi warga Gaza, menurut penuturan Barakat, puasa sudah dimulai sejak Oktober 2023 lalu karena alasan yang tragis. Ramadhan mempunyai tempat tersendiri di hati setiap umat Islam, dan warga Gaza tentu menantinya sepanjang tahun.

"Sebagai seorang anak kecil, aku ingat kegembiraan saat menggantungkan lentera warna-warni di rumah. Orangtuaku mengajarkan aku dan adik-adikku untuk berpantang makan dan minum dari Subuh hingga Maghrib, menanamkan dalam diri kami bahwa maksud puasa adalah untuk melatih diri agar bersabar, meninggikan jiwa dari nafsu duniawi, dan berusaha membebaskan pikiran dari nafsu-nafsu duniawi, dorongan jahat, dan berbuat baik kepada orang-orang di sekitar kita," begitu tulis Barakat.

Namun, Barakat mengatakan, tidak ada persiapan Ramadhan untuk tahun ini. Dia juga tidak yakin bisa bertahan hingga bulan Ramadhan. Setidaknya 30 ribu warga Palestina di Gaza telah terbunuh sejak 7 Oktober, dan 80 persen penduduknya terpaksa mengungsi.

"Bagi kami yang beruntung masih hidup, mengungsi dari satu tempat ke tempat lain. Kami sudah menjalani puasa parsial selama berbulan-bulan. Tidak ingin makan sedikit makanan dari keluarga yang berbaik hati untuk melindungi kami. Tidak dapat menemukan makanan untuk dibeli di pasar, atau untuk membeli apa yang dapat ditemukan," tuturnya.

Dimulai sejak Ramadhan 2023 tahun lalu, hidup Barakat berubah drastis. Rumahnya di Kota Gaza, yang menjadi tempat dia dan anak-anak biasa menggantungkan lampu Ramadhan, kini hancur dan keluarganya tercerai-berai.

"Aku bangun pada hari Senin, hari pertama puasa, satu jam sebelum fajar untuk menyiapkan makanan sebelum puasa yang disebut sahur. Ini biasanya merupakan momen kegembiraan dan spiritualitas yang mendalam. Namun tahun ini aku tidak dapat menahan air mata," paparnya.

Masjid-masjid hancur. Para tetangga di sekitar mengumandangkan azan atas inisiatif mereka sendiri. Sahur hanya dengan roti sekeras batu, yang dipanggang dari jelai, jagung, kedelai, dan bahkan pakan burung yang berhasil ditemukan dan digiling bersama.

Barakat merasa sedih karena tidak bisa menyuguhkan makanan yang berlimpah kepada tetangga, seperti yang biasa dilakukan dan dianjurkan oleh Nabi Muhammad SAW. Untuk makan pertama setelah puasa, Barakat telah menyimpan dua kantong kecil pasta. Meski penuh dengan kumbang pengerek, aku berhasil membersihkan dan merebus pasta, dan menyajikannya dengan saus tomat untuk berbuka puasa.

"Dulu aku menyiapkan sebagian untuk buka puasa keesokan harinya pada malam sebelumnya, agar jam puasaku bisa fokus pada ibadah. Dengan banyaknya kelangkaan, hal ini kini menjadi mimpi yang jauh," tuturnya.

Di masa lalu juga, setelah berbuka puasa, Barakat dan keluarganya sholat di masjid dan kemudian mengunjungi kerabat dekat. Sekadar untuk berbagi qatayef, makanan penutup Ramadhan yang goreng dan disiram sirup. Silaturahmi semacam ini memberikan kesempatan untuk saling memaafkan atas kesalahan satu sama lain.

"Namun dengan begitu banyak masjid yang hancur, dan tidak ada qatayef di tengah kekurangan makanan dan barang-barang penting, aku tak bisa merayakannya bersama orang tua, saudara kandung, dan pasangan serta anak-anak mereka. Ada 20 orang dari mereka yang berdesakan di sebuah apartemen satu kamar tidur di Nuseirat di Gaza tengah," kata Barakat.

Keluarga Barakat melaksanakan sholat berjamaah bersama teman-teman yang tinggal dengan dirinya. Sebanyak 16 orang berkumpul di apartemen kecil di Kota Gaza. Mereka sangat merasakan tidak adanya teman dan keluarga, karena semua tempat sudah tidak aman.

Jarak tempat antara satu dengan yang lain, berjarak kurang dari 10 mil jauhnya. Dipisahkan oleh tank dan tentara Israel yang membuat perjalanan menjadi mustahil, atau terlalu berbahaya untuk dilakukan. Terlebih, sejumlah anggota keluarga besarnya telah terbunuh oleh serangan udara, tank, atau penembak jitu Israel.

"Kemarin, putriku, Rana, yang berusia 18 tahun, menangis tersedu-sedu. Ketika dia akhirnya tenang, dia bertanya, 'Bu, berapa lama kita harus hidup dalam mimpi buruk ini? Aku ingin pulang ke rumah. Aku ingin tidur di tempat tidurku dan membawa barang-barangku'," terang Barakat.

Rana sangat kuat selama ini. Dia masih sempat-sempatnya menyampaikan kisah humor untuk membangkitkan semangat dan membuat tetap tenang melalui pemboman. Namun memulai Ramadhan yang penuh dengan kekerasan dan kesedihan membuat dirinya terpuruk. Pengungsi Palestina berkumpul untuk mengumpulkan makanan yang disumbangkan oleh kelompok amal sebelum sarapan, pada hari keempat bulan suci Ramadhan di Rafah pada 14 Maret 2024 lalu

"Kami akan mudah kehilangan kepercayaan ketika ketidakmanusiawian melingkupi kita. Ini mungkin terdengar aneh tetapi, setelah selamat dari perang brutal selama lima bulan, awal bulan suci ini dalam beberapa hal telah memperdalam keimananku," ungkapnya.

Bagi warga Gaza, makna Ramadhan tahun ini adalah tentang pembelajaran hidup tanpa kehadiran orang yang mereka cintai. Hanya bisa berharap, mereka berada di tempat yang lebih baik sekarang.

"Dan kami memikirkan rumah dan masyarakat yang kami bangun dengan cinta dan perhatian yang sudah tidak ada lagi. Sekalipun, setelah Ramadhan, perang berakhir, seperti yang kita semua doakan dengan sungguh-sungguh, semua orang di Gaza tahu bahwa keadaan tidak akan pernah seperti dulu lagi," jelas Barakat.

 

 

 

 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler