MAKI Anggap KPK 'Kebakaran Jenggot' Seusai Sri Mulyani Laporkan Kasus LPEI ke Kejagung
KPK sudah sejak setahun lalu menerima laporan terkait dugaan korupsi di LPEI.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Masyarakat Antikorupsi Indonesia (MAKI) menyentil upaya KPK yang menaikkan kasus dugaan korupsi di Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) ke tingkat penyidikan tanpa tersangka. MAKI menduga KPK 'kebakaran jenggot' saat Menkeu Sri Mulyani mengadukan kasus LPEI ke Kejaksaan Agung (Kejagung).
KPK memutuskan kasus korupsi di LPEI naik penyidikan tanpa adanya tersangka pada Selasa (19/3/2024). Padahal, biasanya penetapan tersangka berbarengan dengan naiknya perkara ke penyidikan.
"Sekarang kalau urusan LPEI ini tiba-tiba mengumumkan penyidikan itu kan agak 'kebakaran jenggot' karena Menteri Keuangan melaporkan ke Kejaksaan Agung," kata Boyamin saat dikonfirmasi pada Kamis (21/3/2024).
Keputusan naiknya perkara LPEI ke tahap penyidikan hanya selang sehari setelah Menkeu Sri Mulyani mengadukan kasus LPEI ke Kejagung. Boyamin mengendus keputusan itu dilakukan KPK secara tiba-tiba.
"Karena perkara ini sudah satu tahun ditangani KPK dan tidak ada kepastian terus kemudian Menteri Keuangan lapor Kejaksaan Agung. Seakan-akan kebakaran jenggot mengumumkan penyidikan sehingga kesannya di masyarakat rebutan," ujar Boyamin.
Boyamin menduga perkara LPEI di KPK seperti kejar tayang. Sehingga KPK mengumumkan konferensi pers tersendiri di luar penetapan tersangka.
"Saya kira proses-proses menurut saya seperti tidak ada guidance dan kita semakin prihatin karena KPK semakin tidak ada arah," ucap Boyamin.
Sebelumnya, KPK membantah adu cepat dengan Kejagung dalam mengusut dugaan korupsi fasilitas kredit di LPEI. KPK mensinyalkan sudah menerima laporan sebelum Kejagung.
KPK mengumumkan dimulainya penyidikan perkara dugaan korupsi di LPEI pada Selasa (19/3/2024). Pengumuman tersebut selang sehari setelah Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengadukan kasus serupa ke Kejagung.
Diketahui, KPK mendalami total enam laporan fraud debitur LPEI. Padahal pihak Kejagung mengumumkan adanya empat pihak korporasi yang terindikasi fraud.
KPK juga mengungkap total indikasi kerugian keuangan negara pada kasus LPEI yang ditanganinya ditaksir Rp3,4 triliun. Ini berbeda pula dari laporan Menkeu Sri Mulyani Indrawati ke Kejagung bahwa ada empat debitur bermasalah terindikasi fraud senilai Rp 2,5 triliun.
"Sekali lagi ini bukan proses kebut-kebutan ya," kata Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron kepada wartawan yang dikutip pada Rabu (20/3/2024).
KPK mengakui sudah memperoleh laporan pengaduan masyarakat mengenai perkara itu sejak 10 Mei 2023. Selanjutnya, KPK memulai penyelidikan kasus itu pada 13 Februari 2024 atau sebelum menaikkan status perkaranya ke penyidikan pada Selasa kemarin.
Pakar Hukum dari Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar mendukung agar kasus dugaan korupsi di LPEI diusut Kejagung. Fickar meragukan KPK yang coba ikut-ikutan mengusut perkara tersebut.
Fickar menyatakan penanganan kasus dugaan korupsi terbilang lambat di KPK. Hal inilah yang membuat Menkeu Sri Mulyani menjatuhkan pilihan untuk melapor ke Kejagung ketimbang KPK.
"Ya KPK sekarang lamban menangani korupsi yang sudah jelas pembuktiannya, karena itu Menkeu SMI melimpahkan kasus (yang pernah dilaporkan ke KPK) kepada Kejaksaan," kata Fickar kepada Republika, Rabu (20/3/2024).
Fickar berharap Kejagung dapat mengusut perkara LPEI dengan profesional dan jujur. Sebab KPK saat ini cenderung direspon negatif oleh publik.
"Tindakan Menkeu sangat tepat, memang sulit membedakan aparat penegak hukum yang bekerja profesional dan jujur hari ini sekalipun itu KPK," ujar Fickar.
Fickar merujuk sejak perubahan aturan (UU KPK) paradigmanya sudah berubah pegawai KPK menjadi ASN yang mudah diatur pihak lain. Bahkan juga oleh orang dalam sendiri di kasus pungli rutan KPK.
"Ya karena faktor aturan itu Menkeu melimpahkan ke Kejagung, yang jika Kejagung macam-macam Menkeu bisa lapor Presiden dan Jaksa Agungnya bisa minta dipecat dan diganti dengan Jaksa Agung yang jujur dan berani," ujar Fickar.
"Karena kalau KPK kan Presiden tidak bisa mengganti sembarangan. Jadi memang karena faktor perubahan aturan itu KPK sudah tidak independen dan gampang dimainkan oleh pihak-pihak tertentu," ucap Fickar.