Hidayah Itu Dicari, Bukan Ditunggu (1)
Kita membutuhkan hidayah untuk mengenali kebenaran, butuh pula hidayah untuk mampu berpegang teguh diatasnya.
SumatraLink.id – Sudah banyak yang tadinya benci dan atau abai dengan keagungan Islam, akhirnya memeluk agama samawi tersebut. Banyak kisah dari sahabat Nabi Muhammad Sholallahu’alaihi wassalam (SAW) hingga umat akhir zaman ini, yang sebelumnya memerangi dakwahnya, ujung-ujungnya mendapat hidayah (atau hijrah) masuk Islam.
Kita layak terpukau dengan kisah orang-orang yang mendapatkan hidayah, lalu hidayah itu mengubah drastis jalan hidupnya. Tapi kita juga pantas bertanya, mengapa tingkat kebaikan kita tidak setinggi mereka tersebut? Padahal kita sudah lama memeluk agama Islam bahkan dari lahir secara turun temurun, tapi mengapa Islam kita masih biasa-biasa saja? Baik dalam hal ilmu, amal, maupun peran yang dapat kita lakukan untuk kemajuan dan pembelaan Agama Islam.
Kemampuan seseorang untuk melahirkan amal, bergantung seberapa besar kadar hidayah yang bersemayam di hatinya. Baik hidayah irsyad ( petunjuk) yang berupa pengetahuan terhadap kebenaran, juga hidayah taufik yang menjadikan kebutuhan manusia untuk mendapatkan hidayah. Untuk itu, manusia memerlukan hidayah untuk memperoleh setiap maslahat, baik duniawi maupun ukhrowi.
Inilah jawabannya, meskipun kita telah mendapatkan hidayah Islam, mengapa masih tetap diperintahkan memohon hidayah kepada Allah, paling minimal sebanyak 17 kali dalam sehari semalam kita membaca sekaligus meminta di dalam sholat fardhu dan sunnah setelah takbiraul ihrom. “Tunjukkilah kami jalan yang lurus,” (QS. Al-Fatihah: 6)
Selain hidayah Islam, kita juga membutuhkan hidayah yang bersifat tafshili. Untuk menjalani Islam dengan benar, kita perlu hidayah ilmu. Kita perlu petunjuk, apa yang harus kita imani, bagaimana cara kita beribadah kepada Allah, apa saja rincian kebaikan, sehingga kita bisa menjalankan, mana jenis kemaksiatan yang harus kita hindari. Ini semua butuh hidayah irsyad, memerlukan petunjuk ilmu.
Setelah mengetahui ilmunya, kita juga membutuhkan hidayah taufik, agar kita mampu menerapkan ilmu ke dalam amal, juga untuk istiqomah. Karena, tidak sedikit orang yang telah mengetahui berbagai jenis amal shalih, namun tidak diberi kekuatan untuk menjalaninya. Meskipun ia orang yang kuat dan berotot. Tanpa hidayah, ia tak akan mampu berbuat apa-apa.
Baca juga: Saat Lapang dan Sempit, Rezeki Itu Ujian
Bukankah, banyak orang yang tahan berdiri berjam-jam di lapangan saat upacara. Atau orang yang nonton konser sambil berdiri berlama-lama. Tapi, ketika menegakkan shalat yang hanya paling tidak satu waktu dua setengah menit atau paling lama 25 menit berselang saat shalat tarawih, sudah tidak mampu. Lemas, letih, capek, dan mengantuk, menjadi alasan kenapa shalat yang waktunya singkat tapi tidak kuat.
Ada pula yang sudah mengerti sederetan kemaksiatan dan segudang perkara yang haram, namun ia tak kuasa untuk melepaskan diri dari belengu syahwatnya. Perkara duniawi terkadang melupakan seseorang tidak saja yang awam, tapi juga fitnah tersebut menimpa kalangan berilmu (agama). Berapa banyak orang yang dinilai umat alim dan taat beribadah, tergelincir juga dengan bujukan syaitan saat menerima rayuan keindahan dan kegermerlapan dunia.
Kita membutuhkan hidayah untuk mengenali kebenaran, butuh pula hidayah untuk mampu berpegang teguh di atasnya. Bukankah mendapatkan hidayah atau petunjuk lebih mudah dibandingkan dengan mempertahankannya seumur hidup. Istiqomah memang berat daripada memulainya.
Mungkin tersisa dibenak kita, mengapa kita masih saja “biasa”, tidak tampak efek luar biasa, padahal kita juga berdoa kepada Allah SWT, paling tidak 17 kali dalam sehari semalam? Allah SWT tidak mungkin bakhil, tidak pula menyalahi atau menyelisihi janji-Nya atas permintaan hamba-Nya. Efek yang belum terasa, atau tidak begitu kuat pengaruhnya, boleh jadi karena kurangnya penghayatan kita terhadap doa yang kita panjatkan.
Baca juga: Berjumpa di Bawah Payung Madinah
Kita memohon kepada-Nya, namun tidak tau apa yang kita minta, atau tidak menyadari, permohonan apa yang kita panjatkan kepada-Nya. Allah SWT tidak mengabulkan doa yang berangkat dari hati yang lalai. Boleh jadi, permintaan kita kepada Allah SWT yang terbaik belum tentu baik bagi Allah SWT atau sebaliknya. Hendaknya kita selalu berserah diri kepada-Nya atas kehendak-Nya. Menerima kenyataan yang diberikan oleh Allah SWT perkara baik dan buruk menjadikan kita terus berbaik sangka kepada-Nya.
“Ketahuilah, sesungguhnya Allah SWT tidak mengabulkan doa dari hati yang lalai” (HR Tirmizi, Al-Albani menyatakan, “hadits hasan”).
Atau bisa jadi pula, karena ikhtiar kita untuk mendapatkan hidayah belum optimal. Selain doa yang menuntut hadirnya hati, juga terhindarnya kita dari faktor-faktor penghalang terkabulnya doa, mestinya kita iringi doa dengan ikhtiar.
Baca juga: Kerak Neraka Sedalam Batu yang Jatuh Selama 70 Tahun
Hidayah irsyad kita cari dengan banyak belajar, menelaah Alquran dan Assunnah, mengkaji kitab-kitab yang ditulis para ulama salah maupun khalaf, maupun menghadiri majelis-majelis ilmu yang luruh berdasarkan Alquran, Hadist, dan pandangan para sahabat Nabi SAW. Adapun hidayah taufik, hendaknya kita cari dengan bergaul bersama orang-orang shalih dan bermujahadah untuk menjalankan amal-amal penyubur iman.
Keliru jika berfikir bahwa mendapat hidayah berarti Allah SWT menurunkan malaikat yang akan mengajak seseorang yang berada di jalan yang sesat, lalu masuk Islam, atau dari perbuatan yang menyimpang menjadi bertaubat, atau menuntunnya melakukan amal kebaikan setiap saat sepanjang hidupnya tanpa ada usaha dari orang tersebut. Hal ini sangat mustahil, dan jarang terjadi bila tanpa usaha. Kendati pun ada yang begitu, sesungguhnya hal tersebut tipu muslihat dari syaitan dan sekutunya. (Dinukil dari Buku Sepotong Paha dari Aisyah, penulis Mursalin Yasland)