Tren Masyarakat Indonesia Berbelanja Online Terus Meningkat, Terbanyak Beli Tiket Pesawat
Pembelian laptop atau komputer, menjadi transaksi paling sedikit dibeli secara online
REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG---Kecenderungan belanja daring masyarakat Indonesia saat ini terus meningkat di hampir semua kategori. Chief of DEF (Digital startup, Ecommerce & Fintech) Sharing Vision, Nur Javad Islami yang akrab disapa Jeff, orang Indonesia sudah sangat biasa untuk berbelanja secara online. Termasuk, warga yang tinggal di desa. Bahkan, selama enam tahun terakhir pembelilan tiket pesawat konsisten menjadi transaksi paling banyak dilakukan secara online.
Sementara pembelian laptop atau komputer, kata dia, menjadi transaksi paling sedikit dibeli secara online. Karena harganya yang juga mahal. Namun di sisi lain, belanja skala grosir biasa dilakukan langsung karena pengguna ingin memilih barang secara langsung.
"e-Commerce secara keseluruhan di Indonesia benar-benar telah menjadi sesuatu yang mainstream. Hal ini didorong oleh alasan mayoritas responden karena banyaknya promo yang diberikan, selain tentunya lebih praktis dan mudah," ujar Jeff, dalam webinar "IT Business Outlok", Kamis (28/3/2024) siang. Turut menjadi pembicara dari Sharing Vision lainnya yakni Budi Sulistyo (Senior Consultant IT Security) dan Fran Suwarman (Senior Consultant IT Strategic & Governance).
Data tersebut, kata dia, dihasilkan dari riset tahunan sejak 2020 hingga tahun ini dengan responden lebih dari 10.000 orang. Dari sisi pembayaran, transfer via virtual account dan e-Money/e-Wallet menjadi metode pembayaran yang paling disukai pengguna. Lebih dari 90 persen responden memilih berbelanja daring di marketplace sekalipun jasa delivery online dan website toko daring juga memiliki signifikansi tinggi.
Menurutnya, Shopee, Gojek, Tokopedia, dan Grab masih menjadi toko online favorit . Beberapa yang lain seperti Traveloka dan Tiket sangat kuat khusus dalam online travel. Daftar marketplace yang sering digunakan responden adalah Shopee, Gojek (GoFood, GoShop, dan lain-lain), Tokopedia, Grab (GrabFood, Grabmart, dan lain-lain), Tiktok, Lazada, Traveloka, Bukalapak, Blibli, dan seterusnya.
"Fenomena menarik lainnya yang kami dapatkan adalah lebih dari 30 persen responden berbelanja melalui media sosial lebih dari 2 kali dalam sebulan. Namun sayangnya, pengalaman tidak menyenangkan ketika belanja di medium ini, proporsinya sangat tinggi. Sebab penipuan lewat media sosial meningkat, jadi perlu ada pengetatan dari sisi regulasi maupun penegakan hukum," katanya.
Jeff menjelaskan, 13 persen responden menggunakan fintech lending atau meningkat dua kali lipat jika dibandingkan tren-tren tahun-tahun sebelumnya. Adapun rangking nama layanan yang responden gunakan adalah Kredivo, Akulaku, Koinworks, AdaKami, Danacepat, Modalku, Investree, Amartha, Akseleran, dan Flexi Cash by Jenius.
"Riset kami menemukan 23 persen responden menyatakan pernah menggunakan layanan PayLater dan Shopee Paylater adalah yang paling banyak digunakan. Motivasi utamanya adalah karena lebih fleksibel saat ada kebutuhan yang mendesak," katanya.
Karena itu, kata dia, masyarakat dan pemerintah perlu semakin awas melihat kecenderungan booming pinjaman online (pinjol) yang diindikasikan hasil survey tersebut maupun realitas yang memang sedang ramai diperbincangkan oleh publik.
Senior Consultant IT Security Budi Sulistyo mengatakan, dari sisi IT dua problem masih mudah ditemukan adalah masalah availability (ketersediaan layanan dan fungsi yang benar). Serta masalah Atomicity (transaksi gagal, setengah berhasil, atau gagal namun dianggap berhasil atau sebaliknya).
Selain itu, kata dia, riset menunjukkan lebih dari 20 persen responden mengaku akun media sosial-nya pernah dibobol/ dicuri dengan 9 persen di antaranya mengalami data pribadi nya digunakan orang lain untuk penipuan. Kemudian, 4-11 persen dari total responden pernah menjadi korban berbagai penipuan digital. Dimana paling banyak mengalami yaitu sms/WA penipuan yang meminta mengirimkan kode OTP. Maka itu, sebagian besar responden mengalami kerugian waktu karena penipuan sementara lebih dari 30 persen responden mengalami kerugian uang akibat penipuan digital.
"Pemerintah dan para penyedia layanan maupun masyarakat pengguna layanan perlu strategi baru yang lebih efektif dalam mengurangi jumlah korban penerobosan keamanan informasi maupun penipuan siber. Serta, bersama-sama mengawal dan melaksanakan implementasinya,"katanya.