RI akan Adu Data Tutupan Hutan Hadapi Regulasi Deforestasi Eropa
RI punya data base hutan dengan Simontana.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA --Pemerintah Indonesia akan melakukan diplomasi dengan memaparkan data lengkap tutupan hutan dan metodologi ilmiah yang digunakan untuk menghadapi regulasi deforestasi Uni Eropa (EUDR).
"Kita punya data base hutan dengan Simontana (Sistem Monitoring Hutan Nasional) yang cukup detail," kata Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya pada acara Focus Group Discussion (FGD): Pendalaman Legalitas dan Kelestarian Sektoral pada Kawasan Hutan dalam Konteks Deforestation-Free Supply Chain di Jakarta, Kamis, 4 April 2024.
EUDR telah disahkan oleh Parlemen Uni Eropa pada 31 Mei 2023 lalu. EUDR akan mencakup komoditas ternak sapi, kakao, kopi, kelapa sawit, kedelai dan kayu, termasuk produk-produk turunannya seperti kulit, coklat, dan furnitur. Nantinya komoditas tersebut harus melewati uji tuntas (due diligence) memastikan tidak berasal dari lahan yang mengalami degradasi hutan atau deforestasi. Persentase produk yang harus melewati due dilligence bergantung kepada risk assessment negara asal komoditas itu, bisa low risk, medium risk atau high risk.
Sebagai peta acuan, Uni Eropa mempublikasikan European Union Forest Observatory (EUFO) pada Desember 2023. Versi final peta EUFO tersebut akan dirilis pada Desember 2024. "Dari sekarang sampai akhir tahun ini, menjadi penting untuk mengkoreksi peta EUFO tersebut, agar klaim country risk assessment Indonesia bisa kategori “Low” dan asal bahan baku dari komoditi yang dipersyaratkan, tidak masuk dalam kategori dari kawasan deforestasi dan degradasi lahan," kata Menteri Siti.
Dia menekankan pentingnya memanfaatkan data dan fakta kongkret yang positif tentang hutan Indonesia untuk menghadapi isu deforestasi di tingkat global. Menteri Siti memberi gambaran bagaimana interaksi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mengkoreksi data deforestasi yang dirilis World Resources Institute (WRI) sehingga akhirnya lembaga tersebut mengakui keberhasilan Indonesia dalam pengurangan laju deforestasi.
Lebih lanjut Menteri Siti menyatakan sejumlah aksi korektif telah dilakukan Indonesia untuk menekan deforestasi dan degradasi hutan. Diantaranya penghentian izin di hutan primer dan lahan gambut, pencegahan kebakaran hutan dan lahan secara permanen, instrumen FOLU Net Sink, penataan dan legalitas penggunaan kawasan hutan untuk kebun sawit, pengendalian tata kelola agroforestry kopi dan coklat dengan perhutanan sosial, dan penegakkan hukum.
Sementara itu Plt Dirjen Pengelolaan Hutan Lestari KLHK Agus Justianto menjelaskan untuk komoditas kayu dan produk turunannya, Indonesia telah memiliki Sistem Verifikasi Legalitas dan Kelestarian (SVLK) yang disetarakan sebagai lisensi FLEGT (Forest Law Enforcement Governance and Trade) dan diakui dalam EUDR. "Produk kayu ber-SVLK memenuhi lisensi FLEGT dan memenuhi ketentuan EUDR seperti diatur pada ketentuan itu pada Article 10 butir 3," kata Agus Justianto.
Lebih lanjut dia menyatakan, SVLK telah diperbarui dan dilengkapi dengan informasi geolokasi sehingga memperkuat keterlacakan kayu hingga ke titik penebangan. Informasi geolokasi diberikan dalam bentuk QR Code yang tercantum pada sertifikat SVLK yang menyertai produk kayu yang diperdagangkan.
Untuk memperkuat keterlacakan, kata Agus, juga dilakukan integrasi sistem informasi pemanfaatan kayu mulai dari Sistem Informasi Pengendalian Usaha Pemanfaatan Hutan (SIPASHUT), Sistem Informasi Penatausahaan Hasil Hutan (SIPUHH), Sistem Informasi Rencana Pemanfaatan Bahan Baku Pengolahan Hasil Hutan (SIRPBBPHH), hingga Sistem Informasi Legalitas Kayu (SILK).