Jejak Yahudi dan Zionisme di Indonesia, Nyata Ada Tapi tak Kasatmata?
Yahudi dan Zionisme pernah 'singgah' dalam sejarah bangsa Indonesia
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA- Keberadaan orang-orang Yahudi dalam sejarah bangsa Indonesia sulit ditemukan sejak zaman pemerintah kolonial Hindia Belanda.
Jadi, kesaksian Saphir yang dikutip dalam buku Di Bawah Kuasa Antisemitisme: Orang Yahudi di Hindia Belanda (1861-1942) adalah kesaksian pertama dari orang Yahudi sendiri tentang keberadaan orang Yahudi di Batavia pada abad ke-19.
Beberapa cerita orang Yahudi di Hindia Belanda berasal dari kesaksian Jacob Saphir dihadirkan dalam buku setebal 160 halaman itu. Romi juga menceritakan bagaimana orang-orang keturunan Yahudi di Indonesia berdasarkan berbagai sumber. Keberadaan mereka bahkan disebutsebut telah ada sebelum era kolonial.
Pada buku bersampul warna cokelat dengan foto kuburan Yahudi di Aceh itu, Romi memaparkan risetnya dari berbagai sumber tertulis dan keturunan Yahudi yang ada di Indonesia. Buku terbitan Penerbit Tjatatan Indonesia, April 2018, ini menampilkan banyak sumber tertulis dari Belanda dan bahkan media Yahudi yang pernah ada di Hindia Belanda.
Saat pemerintah Hindia Belanda yang antisemit berkuasa, mereka menerapkan peraturan catatan sipil untuk kaum Yahudi pada 18 Juni 1828. Mereka mengelompokkan orang Yahudi dalam dua golongan Nederlandsch Joden (Yahudi Belanda) dan Vreemde Joden (Yahudi Asing), bukan Yahudi Belanda.
Mereka terdiri atas Yahudi Turki, Yahudi Portugis, Yahudi Polandia, Yahudi Aus tria, Yahudi Rusia, Yahudi Rumania, Yahudi Hongaria, Yahudi Armenia, Yahudi Persia, Yahudi Baghdad, Yudi Kalkuta, Yahudi Damaskus, dan Yahudi Arab.
Pengelompokan-pengelompokan ini pun berkembang. Pertengahan abad ke-19 identifikasi diri pada orang Yahudi mengalami pergeseran. Muncullah kelompok Yahudi Eropa dan Yahudi Asia.
Romi menemukan penyebutan Yahudi Asia dalam laporan resmi pemerintah pada 1885, Jika sebe lumnya relasi antara Yahudi Belanda dan Yahudi Asing dalam konteks horizontal.
Pengelompokan yang baru tak lagi sama. Yahudi Asia dan Yahudi Eropa ditempatkan secara vertikal, da lam stratifikasi yang berbeda. Orang Yahudi Eropa tak setinggi orang Eropa, tetapi lebih tinggi daripada orang Asia. Stratifikasi berbeda terjadi saat pendudukan Jepang yang lebih mengutamakan orang Asia ketimbang Eropa.
Pemetaan perinci berdasarkan besaran populasi Yahudi Asia sulit ditemukan. Namun, sejauh ini keberadaan komunitas Yahudi Belanda era Hindia Belanda bisa ditelusuri lewat sensus penduduk 1930.
Dari hasil sensus tersebut diperoleh informasi populasi Yahudi Eropa berjumlah 1.095 jiwa. Sementara jum lah Yahudi Asia bisa diketahui. Jum lah Yahudi Eropa mayoritas terda pat di Jawa Barat 403 jiwa, Jawa Timur (332), Jawa Tengah (157). Pada 1930, terlihat persebaran Yahudi mayoritas ada di di Jawa. Aceh dan Padang yang semula dihuni banyak orang Yahudi, menurut Romi, jumlah mereka menyusut karena banyak yang pindah ke Jawa.
Napas zionisme
Zionisme sebagai lawan antisemitisme di Eropa pun dibawa ke Hindia Belanda. Adalah Isidore Hen, zionis Amsterdam yang membawa zionisme ke Hindia Belanda. Tokoh ini memimpin dua serikat Yahudi di Hindia Belanda. Selain itu, ada pula lembaga Palestinafondsen, lembaga pengumpul dana bagi orang Yahudi di Palestina. Organisasi ini berdiri berkantor di Padang pada 1926.
Pada era itu pula media Erets Israel yang membawa paham zionisme pernah terbit. Namun, keberadaan media ini di tak terlacak dalam sejarah. Media berupa buletin empat halaman berbahasa Ibrani ini pertama kali terbit di Padang pada 9 September 1926. Adalah SI Van Creveld yang bertindak sebagai editor media cetak zionis yang dibagikan secara gratis bagi 600 orang Yahudi di Hindia Belanda.
Erets Israel terbit dua tahun di Padang, lalu terbit di Bandung bersamaan dengan pindahnya Creveld ke kota itu. Media ini berakhir pada 1942. Cukup banyak informasi yang diungkap dalam buku yang terdiri atas sembilan bab dengan judul-judul "Bintang Daud Bercahaya Redup", "Di Bawah Kuasa Antisemitisme", "Perkawinan dan Anak-Anak", "Komunitas Terbelah", "Neder landsch-Indie Zionistenbond", "Dari Vereeniging Voor Jodsche belangen in Ned-Indie ke Centrale Joodsche Raad", "Tangan-Tangan Hitler", "Gelombang Pengungsian (1)", dan "Hari-Hari yang Gamang", serta "Menuju Anti Yahudiisme".
Data dan informasi yang dikumpulkan dalam buku ini cukup menarik dan 'baru' karena topik dan tema ini belum pernah menjadi banyak perbincangan sebelumnya.
Begitu pula cerita-cerita menarik pada abad ke-19 pun. Antara lain, saat demam heil Hitler melanda, di mana Sjahrir mencermati ada istri seorang dokter yang melakukan 'tren' ini tanpa mengerti fasisme.
Romi Zarman, sang penulis, adalah lelaki Padang kelahiran 15 Februa ri 1984. Tamatan Jurusan Sastra Indonesia Universitas Andalas ini melakukan riset mandiri bertopik Yudaisme di Jawa (2011-2013).
Sebelumnya, dia tercatat sebagai mahasiswa Prodi S-2 sejarah Unand pada 2014. Namun, pada Januari 2016 dia memutuskan keluar secara sepihak karena dipaksa melunasi utang SPP yang belum sanggup dibayarnya.
Dengan risetnya tentang Yahudi yang terus berlanjut, Romi banyak terlibat dalam forum diskusi dan seminar ilmiah berkaitan dengan risetnya tentang Yahudi. Terakhir ia menjadi narasumber dalam diskusi di UIN Jakarta "Melacak Jejak Yahudi di Nusantara" pada April 2018.