Indef Minta Pemerintah Cermati Urgensi Skema Power Wheeling

Pemerintah dan DPR sama sekali belum ungkap gamblang alasan skema power wheeling.

ANTARA FOTO/Rivan Awal Lingga
Pekerja menyelesaikan pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) (ilustrasi).
Red: Fuji Pratiwi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Abra Talattov mengatakan pemerintah dan DPR perlu mencermati urgensi skema power wheeling dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Energi Terbarukan (RUU EBET) karena tidak jelas dan berisiko merugikan negara.

Baca Juga


"Urgensi skema power wheeling yang masuk dalam pembahasan RUU EBET ini harus dijelaskan dan dicermati betul. Karena sangat berisiko berdampak buruk bagi negara," kata Abra di Jakarta, pekan ini.

Menurut Kepala Center of Food Energy and Sustainable Development Indef itu sampai saat ini, baik pemerintah maupun DPR sama sekali belum mengungkap secara gamblang alasan terkait dengan skema power wheeling. "Pasal power wheeling ini seperti siluman, kadang muncul, kadang tenggelam. Pun tidak jelas rupa dan tujuannya. Untuk itu, kami akan mengawal kebijakan ini," kata Abra melalui keterangan tertulis.

Dia menyampaikan, power wheeling merupakan sistem yang sangat liberal dan berisiko mengancam kedaulatan ketenagalistrikan yang sudah diamanatkan dalam UUD 1945 harus dikuasai oleh negara. Mahkamah Konstitusi (MK) sudah melegitimasi itu dengan membatalkan skema unbundling dalam UU Ketenagalistrikan.

Menurut dia, skema power wheeling merupakan mekanisme liberal yang dapat memudahkan transfer energi listrik dari pembangkit swasta ke fasilitas operasi milik negara secara langsung. Hal tersebut berisiko teknis dalam implementasinya karena EBET memiliki sifat intermiten yang berisiko mengganggu keandalan listrik negara.

Menurutnya, desakan untuk memasukkan power wheeling sebagai insentif ini juga tidak beralasan. Sebab sesungguhnya pemerintah sudah menunjukkan arah kebijakan energi baru dan energi terbarukan secara jelas dalam RUPTL 2021-2030.

Dalam RUPTL, yang seringkali diklaim sebagai green RUPTL itu, sebetulnya sudah ada peningkatan porsi EBET yang signifikan. Bahkan ada tambahan EBET itu 20,9 gigawatt, di mana 56,3 persennya adalah porsi swasta.

"Dengan sudah ada porsi swasta pada roadmap tersebut sebetulnya sudah cukup menjadi keyakinan investor bahwa memang negara punya arah yang cukup jelas untuk mendorong bauran suplai listrik dari EBET," ungkap Abra.

sumber : ANTARA
Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Berita Terpopuler