Seusai Serang Israel, Beranikah AS Hentikan Ekspor Minyak Iran ke Cina?
Penerapan sanksi secara agresif bisa menggoyahkan hubungan AS-Cina.
REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON – Serangan rudal dan drone Iran ke Israel kemungkinan tak akan memicu sanksi dramatis dari AS atas ekspor minyak Iran. Para pengamat menyatakan pemerintahan Presiden Joe Biden bakal mempertimbangkan potensi kenaikan harga minyak dunia.
Tak hanya itu, Biden pun memikirkan mengenai kemarahan pembeli utama minyak Iran yaitu Cina jika sanksi dijatuhkan. Para anggota parlemen dari Partai Republik menyatakan Biden gagal menerapkan kebijakan tegas terhadap Iran setelah mereka menyerang Israel.
Pekan ini, mereka mendorong undang-undang untuk menambah sanksi pada Iran. Kepada Fox News, Ahad (14/4/2024), Steve Scalise, orang nomor dua dari Partai Republik di House of Representative menyatakan pemerintahan Biden membuat Iran lebih mudah menjual minyaknya.
Dari penjualan minyak ini, jelas dia, Iran memperoleh pendapatan untuk mendanai ‘aktivitas teroris’.
Namun tekanan politik terhadap Iran akan memicu persoalan pelik bagi pemerintahan Biden, yaitu bagaimana mengatasi serangan semacam itu tanpa menambah ketegangan kawasan, membuat harga minyak melambung atau membuat Cina, konsumen utama, marah.
Beberapa bulan sebelumnya, Washington mengaskan tujuan utama mereka meredam konflik Israel-Hamas tak merembet ke mana-mana, salah satu caranya dengan membuat Iran tak melibatkan diri dalam pertikaian tersebut.
Senin (15/4/2024) tengah malam, House of Representative meloloskan RUU Iran-China Energy Sanctions Act guna memperluas sanksi pada Iran dengan meminta laporn tahunan untuk memastikan apakah lembaga keuangan Cina terlibat transaksi minyak Iran.
Aturan ini juga melarang lembaga keuangan AS memiliki rekening bagi entitas Cina manapun yang berhubungan dengan transaksi penjualan minyak Iran. Di sisi lain, nasib RUU ini belum pasti karena mesti lolos di Senat yang dikuasai oleh Demokrat, partai berkuasa saat ini.
Demokrat mengkhawatirkan sanksi terhadap Iran justru akan mengerek harga minyak dunia. Makanya, sejumlah analis di kawasan ragu Biden akan mengambil sikap tegas untuk memperkuat sanksi AS dengan menghentikan ekspor minyak mentah Iran, pendapatan utama mereka.
‘’Meski RUU itu lolos, sulit rasanya pemerintahan Biden menjalankannya, memperkuat, atau menambah sanksi baru guna memangkas atau menghentikan ekspor minyak Iran,’’ ujar Scott Modell, mantan petinggi CIA yang kini CEO Rapidan Energy Group.
Presiden Donald Trump menegakkan kembali sanksi terkait minyak Iran pada 2018, menyusul tindakan sepihak AS menarik dari kesepakatan nuklir Iran. Pemerintahan Biden menjatuhkan sanksi pada perusahaan-perusahaan di Cina, Uni Emirat Arab, dan tempat lainnya.
Meski sanksi terus berjalan, Rapidan memperkirakan ekspor minyak Iran mencapai 1,6 juta hingga 1,8 juta barel per hari. Ini tidak termasuk kondensat. Model menyatakan, ekspor minyak Iran hampir menyentuh angka dua juta barel per hari sebelum mereka dijatuhi sanksi.
Para analis menduga, naiknya harga minyak adalah salah satu alasan Biden tidak mungkin menghentikan ekspor minyak Iran.
Kimberly Donovan, pakar mengenai sanksi dan antipencucian uang di Atlantic Council, menyatakan dalam beberapa tahun ini sanksi terkait minyak tak diterapkan secara ketat. Ia pun tak yakin pemerintahan Biden bertindak gegabah.
‘’Saya memperkirakan pemerintahan Biden tak memperketat sanksi untuk merespons serangan rudal dan drone Iran terhadap Israel, pertimbangannya sanksi akan memicu kenaikan harga minyak,’’ katanya.
Donovan menambahkan, harga minyak dan khususnya harga gas menjadi isu penting dalam tahun politik ini. November mendatang, AS menggelar pilpres. Biden kembali akan menghadapi Trump dalam pilpres tersebut.
Salah satu juru bicara Kemenlu AS menyatakan, pemerintahan Biden tak mencabut sanksi pada Iran dan terus meningkatkan tekanan terhadap mereka. ‘’Sanksi luas kami pada Iran tetap berjalan dan kami terus menerapkannya.’’
Hampir semua minyak Iran...
Faktor Cina
Penerapan sanksi secara agresif juga bisa menggoyahkan hubungan AS-Cina. Dalam beberapa waktu terakhir, kedua negara berupaya memperbaiki hubungan menyusul insiden balon mata-mata Cina yang melintasi wilayah AS.
Hampir semua minyak Iran yang masuk ke Cina dilabeli berasal dari Malaysia atau negara Timur Tengah. Minyak Iran diangkut oleh ‘kapal gelap’ berbentuk kapal-kapal tanker tua yang biasanya mematikan transpoder ketika memuat minyak di pelabuhan Iran agar tak terlacak.
Vortexa Analytics, spesialis pelacakan kapal tanker, memperkirakan tahun lalu Cina mendapatkan 55,6 juta metric ton atau 1,11 juta barel minyak Iran. Ini setara denan 90 persen ekspor minyak mentah Iran atau 10 persen impor minyak Cina.
Sejumlah analis menyebut, Washington mungkin saja memangkas ekspor minyak Iran untuk menhindarkan reaksi berlebihan Israel merespons serangan Iran. Tujuannya untuk mencegah terjadinya eskalasi konfik kawasan.
Namun mereka tak yakin AS menempuh tindakan dramatis seperti menjatuhkan sanksi pada lembaga keuangan yang besar. Sebagai gantinya, mungkin hanya menargetkan entitas Cina atau lainnya yang terlibat dalam perdagangan minyak Iran.
‘’Anda benar-benar akan mengejar bank-bank besar Cina. Anda akan melakukan hal yang bahkan pemerintahan Trump tak melakukannya,’’ tanya seorang sumber yang paham benar mengenai isu ekspor minyak Iran ini.
Jon Alterman, pengamat Timur Tengah pada Center for Strategic and International Studies menuturkan, langkah Washington terbatas. ‘’Saya melihat gestur akan ada sanksi ekonomi pada Iran, tapi saya perkirakan Gedung Putih sepenuhnya menghentikan minyak Iran.’’