ICW Endus Aroma Politisasi Kasus Bupati Sidoarjo

Bupati Sidoarjo Ahmad Muhdlor Ali baru saja dijadikan tersangka oleh KPK.

Republika/Dadang Kurnia
Bupati Sidoarjo Ahmad Muhdlor Ali atau Gus Muhdlor yang kini berstatus tersangka di KPK.
Rep: Rizky Suryarandika Red: Andri Saubani

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Indonesia Corruption Watch (ICW) menduga adanya aroma politik di balik kasus dugaan korupsi yang menjerat Bupati Sidoarjo, Ahmad Muhdlor Ali. Gus Muhdlor baru saja dijadikan tersangka oleh KPK dalam perkara itu. 

Baca Juga


Peneliti ICW Diky Anandya mempertanyakan penetapan tersangka Gus Muhdlor dilakukan pasca-Pilpres 2024. Hal ini diduga menyangkut arah dukungan Gus Muhdlor di Pilpres 2024.

"Bahwa pada akhirnya penetapan tersangka dilakukan setelah proses pemilihan umum, ini juga telah menimbulkan insinuasi negatif di tengah masyarakat," kata Diky kepada Republika, Rabu (17/4/2024).

Diky menilai penetapan tersangka terhadap Gus Muhdlor sebenarnya bisa dilakukan setelah Operasi Tangkap Tangan (OTT) di Sidoarjo. Apalagi peran Gus Muhdlor dalam kasus itu sudah disampaikan KPK secara terang.

"Padahal jika dicermati lebih lanjut, dari keterangan pers KPK sendiri disebutkan bahwa peran Muhdlor Ali sudah cukup terang dalam perkara ini," ujar Diky.

Oleh karena itu, Diky menduga kasus ini berpeluang dipolitisasi. Terlebih lagi, kubu Gus Muhdlor berencana melawan KPK dengan mengajukan praperadilan.

"Dalam perkara ini, terutama sikap yang ditunjukkan Muhdlor Ali sendiri, memberikan kita gambaran yang jelas mengenai potensi politisasi penegakan hukum," ujar Diky.

Muncul dugaan, awalnya Gus Muhdlor mendukung Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar di Pilpres 2024. Sebab Gus Muhdlor disokong PKB selaku parpol pengusung Anies-Imin di Pilbup Sidoarjo.

Tapi Gus Muhdlor tiba-tiba beralih dukungan dengan hadir dalam deklarasi mendukung pasangan capres-cawapres Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka di Pondok Pesantren (Ponpes) Bumi Shalawat, Desa Lebo, Sidoarjo, Kamis (1/2/2024). Kehadirannya itu tak jauh dari momentum lolosnya Gus Muhdlor dari OTT di Sidoarjo.

"Kita tahu bahwa tak lama setalah rumah dinasnya digeledah, Ia justru menggelar semacam deklarasi untuk mendukung calon presiden tertentu," ujar Diky.

Dengan saratnya nuansa politik, Diky mensinyalir Gus Muhdlor berpeluang mempengaruhi proses hukum di KPK.

"Jika asumsi ini benar adanya, maka bukan tidak mungkin, ke depan, langkah Bupati Sidoarjo ini akan menjadi preseden untuk melakukan politisasi penegakan hukum," ujar Diky.


 

Dalam kasus pemotongan dan penerimaan uang kepada pegawai negeri di lingkungan BPPD Sidoarjo ini, awalnya baru ada dua orang yang telah ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK. Keduanya ialah Siska Wati (Kasubag Umum dan Kepegawaian BPPD, Sidoarjo), dan Ari Suyono (Kepala BPPD, Sidoarjo).

Dalam konstruksi perkaranya, bahwa pada tahun 2023, BPPD Sidoarjo memperoleh pendapatan pajak daerah sebesar Rp 1,3 triliun. Atas capaian tersebut, pegawai BPPD seharusnya berhak memperoleh insentif. Akan tetapi, insentif yang seharusnya mereka terima, secara sepihak dipotong, yang dimana disebutkan, pemotongan dilakukan untuk memenuhi kebutuhan Kepala BPPD Sidoarjo, namun lebih dominan diperuntukkan bagi kebutuhan Bupati.

Kasus ini mencuat setelah OTT di Sidoarjo pada Januari 2024. Saat itu, tim KPK menangkap 11 orang yaitu Siska Wati (Kasubag Umum BPPD Pemkab Sidoarjo), Agung Sugiarto, (suami Siska dan juga Kabag Pembangunan Setda Pemkab Sidoarjo), Robith Fuadi yang merupakan kakak ipar Bupati Sidoarjo, Aswin Reza Sumantri selaku asisten pribadi Bupati Sidoarjo.

Kemudian Rizqi Nourma Tanya (Bendahara BPPD Pemkab Sidoarjo), Sintya Nur Afrianti (Bendahara BPPD Pemkab Sidoarjo), Umi Laila (Pimpinan Cabang Bank Jatim), Heri Sumaeko (Bendahara BPPD Pemkab Sidoarjo), Rahma Fitri (Fungsional BPPD Pemkab Sidoarjo) Tholib (Kepala Bidang BPPD Pemkab Sidoarjo), dan Nur Ramadan, anak Siska.

Tapi saat itu yang dijadikan tersangka baru Siska dan Ari saja. Sisanya dilepaskan oleh KPK.

Tercatat, total uang yang dipotong Siska mencapai Rp 2,7 miliar untuk periode 2023 saja. Sedangkan laporan pemotongan yang diterima KPK sudah terjadi sejak 2021. KPK menemukan uang Rp 69,9 juta dari total Rp 2,7 miliar yang dikumpulkan dalam OTT tersebut.

Dari penelusuran KPK, Ari Suryono menyuruh Siska Wati mengalkulasi nominal dana insentif yang diterima para pegawai BPPD. Nantinya dana itu dipotong diduga diperuntukkan bagi kebutuhan Ari dan Gus Muhdlor. Besaran potongan yaitu 10 persen sampai dengan 30 persen sesuai dengan besaran insentif yang diterima.

KPK menduga Ari Suryono aktif mengatur pemberian potongan dana insentif kepada Muhdlor Ali. Pemberian itu diduga dilakukan lewat orang-orang kepercayaan Muhdlor Ali.

 

KPK didera persoalan - (Republika/berbagai sumber)

KPK membantah aroma politik di balik penetapan Bupati Sidoarjo, Ahmad Muhdlor Ali sebagai tersangka. Gus Muhdlor terjerat kasus potek insentif pegawai BPPD Sidoarjo. 

Juru Bicara KPK Ali Fikri menyampaikan lembaga antirasuah tak terpengaruh dengan tudingan politisasi perkara Gus Muhdlor. Ali menjamin penetapan status tersangka terhadap Gus Muhdlor merupakan bagian dari penegakan hukum. 

"Kami tidak akan terpengaruh dengan opini semacam itu. Kacamata kami murni penegakan hukum, dan itu sudah pasti," kata Ali kepada wartawan, Rabu (17/4/2024).

Ali mengajak publik memperhatikan kasus di Pemkab Sidoarjo ini sejak awal penanganan. Ali mengingatkan kasus ini diproses KPK sebelum penyelenggaraan Pilpres 2024.

"Silakan bisa cek saja perjalanan perkaranya dari laporan masyarakat yang diterima KPK sebelum hiruk pikuk perpolitikan di Indonesia," ujar Ali.

Ali menegaskan laporan itu terus dikembangkan oleh KPK tanpa memperhatikan kondisi politik nasional. Hasilnya, kini Gus Muhdlor ditetapkan sebagai tersangka setelah KPK merasa ada cukup bukti. 

"Hingga hari ini kami selesaikan laporan tersebut," ujar Ali.

Karikatur Opini Republika : Pungli KPK (Lagi) - (Republika/Daan Yahya)

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler