Dampak Cuaca Ekstrem, Inggris Hadapi Krisis Pangan dan Kenaikan Harga

Cuarah hujan tinggi membuat sejumlah petani Inggris kesulitan bercocok tanam.

www.freepik.com
Curah hujan yang tinggi menyebabkan para petani di banyak wilayah Inggris tidak dapat menanam tanaman seperti kentang, gandum, dan sayuran selama musim semi.
Rep: Fergi Nadira Red: Nora Azizah

REPUBLIKA.CO.ID, LONDON -- Inggris menghadapi kekurangan pangan dan kenaikan harga akibat cuaca ekstrem yang berkelindan dengan kerusakan iklim. Hal ini menyebabkan rendahnya hasil pertanian di dalam dan luar negeri.

Baca Juga


Curah hujan yang tinggi menyebabkan para petani di banyak wilayah Inggris tidak dapat menanam tanaman seperti kentang, gandum, dan sayuran selama musim semi. Tanaman yang ditanam kualitasnya buruk, ada yang membusuk di dalam tanah.

Cuaca basah yang terus-menerus juga menyebabkan tingginya angka kematian domba di perbukitan Inggris, sementara beberapa sapi perah tidak dapat dipelihara di rumput, yang berarti produksi susu mereka akan lebih sedikit. Kelompok pertanian menyatakan Inggris akan lebih bergantung pada impor, namun kondisi iklim yang serupa di negara-negara Eropa seperti Perancis dan Jerman, serta kekeringan di Maroko, dapat berarti lebih sedikit pangan yang dapat diimpor. 

Para ekonom telah memperingatkan hal ini dapat menyebabkan inflasi pangan meningkat, yang berarti harga di supermarket lebih tinggi. Presiden Persatuan Petani Nasional, Tom Bradshaw mengatakan harga pasar melonjak tinggi karena petani gagal memproduksi pangan dalam kondisi yang sulit.

"Kami akan mengimpor lebih banyak produk tahun ini," kata Bradshaw dilansir The Guardian, Rabu (17/4/2024).

Salah satu pengecer besar mengatakan harga grosir kentang naik 60 persen dari tahun ke tahun karena banyak hasil panen yang membusuk di tanah. Pasokan kentang juga terdampak oleh berkurangnya luas tanam sebesar 10 persen pada tahun lalu karena para petani beralih ke tanaman yang tidak terlalu bergantung pada cuaca dan lebih aman secara finansial. 

Kepala eksekutif British Growers Association, Jack Ward mencatat penurunan penanaman sebesar 5 persen lagi pada tahun ini. “Ada kekhawatiran bahwa kita tidak akan pernah memiliki volume [kentang] seperti yang kita miliki di masa lalu," katanya.

Dia mengatakan harga grosir terlalu rendah bagi petani untuk menghasilkan pendapatan yang cukup untuk mengatasi tingginya biaya bahan bakar, tenaga kerja dan mesin serta dampak kerusakan iklim. “Kami tidak dalam posisi yang baik dan ini 100 persen tidak berkelanjutan," imbuh dia.

Persediaan wortel dan parsnip, yang tertinggal di dalam tanah dan juga terkena dampak tanah yang basah kuyup, juga jauh lebih rendah dari biasanya, sehingga mendorong kenaikan harga. Para ilmuwan mengatakan bahwa hal ini hanyalah permulaan dari guncangan pada rantai pasokan makanan yang disebabkan oleh kerusakan iklim dan tanpa tindakan cepat untuk menurunkan emisi dengan berhenti menggunakan bahan bakar fosil, sistem yang ada saat ini tidak akan berkelanjutan.

"Kita semua harus sangat prihatin. Kita perlu melakukan segalanya untuk mengurangi emisi sambil mentransformasi sistem pangan kita," ujar seorang profesor perubahan lingkungan di Universitas Leiden di Belanda, Dr Paul Behrens.

"Jika kita tidak melakukan ini, saya memperkirakan akan terjadi gejolak besar dan kenaikan harga dalam 10 hingga 20 tahun ke depan. Ketika harga pangan naik, kita selalu memperkirakan akan terjadi ketidakstabilan politik. Saya berharap masyarakat memahami ancaman iklim yang mendesak terhadap ketahanan pangan jangka pendek kita," ujar dia menambahkan.

Menurut dia, Inggris mengetahui banyak cara untuk membuat sistem pangan lebih tangguh sekaligus mengurangi emisi pangan. Peluang terbesar di negara-negara berpendapatan tinggi adalah pengurangan konsumsi daging dan eksplorasi lebih banyak tanaman dalam pola makan kita.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Berita Terpopuler