Islam di Georgia, Minoritas yang Terus Tumbuh Meski Pernah Hadapi Tekanan

Islam di Georgia memiliki akar sejarah yang kuat

Sebuah masjid di Tiblisi, Georgia. Islam di Georgia memiliki akar sejarah yang kuat
Red: Nashih Nashrullah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dengan luas wilayah 70 ribu km persegi, dua kali luas wilayah Belgia atau Swiss, Republik Georgia mempunyai iklim yang moderat dan hangat. Berpenduduk sekitar 4.677.401 orang yang terdiri atas berbagai suku, antara lain Georgia, Azeri, Armenia, dan Rusia. Mayoritas penduduknya beragama Kristen Ortodox (83,9 persen), Islam (10 persen), dan lainnya tujuh persen.

Baca Juga


Sebagaimana Rusia, mayoritas penduduk Georgia menganut agama Kristen selama berabad-abad dan merupakan sebuah negara pertama di Eropa yang mengadopsi Kristen sebagai agama negara selama beberapa dekade. Namun, jauh sebelum ajaran Kristen merambah kawasan Georgia, kerajaan-kerajaan Muslim tercatat telah beberapa kali menaklukkan wilayah ini.

George Sanikidze dan Edward W Walker dari University of California, Berkeley, dalam artikel mereka yang bertajuk “Islam and Islamic Practices in Georgia” memaparkan bahwa ajaran Islam masuk ke Georgia pada abad ke-8 Masehi ketika orang-orang Arab menduduki Tbilisi selama empat dekade dan menjadikannya sebagai ibu kota emirat Islam (Nisba' at-Tiflisi). Namun, kota ini direbut kembali oleh King David IV pada 1122 dan dijadikan ibu kota Kerajaan Kristen Georgia.

Data ini menunjukkan bahwa agama Islam sudah sangat lama berada di wilayah ini. Sayangnya, karena minim pembinaan dan kuatnya hegemoni Kristen dan komunis, secara perlahan umat Islam di Georgia mengalami penyusutan kuantitas (jumlah). Bahkan, selama lebih dari delapan abad, agama Islam di Georgia tak menunjukkan aktivitas yang berarti.

Pada abad ke-16 dan ke-17, Islam kembali merambah Georgia ketika Kerajaan Ottoman Turki dan Safavids Iran mengalami zaman keemasan. Pada saat Rusia menguasai Georgia pada abad ke-19, komunitas Islam di Georgia jumlahnya mencapai 20 persen dari total populasi yang ada.

Namun, pada sensus yang diadakan pada 1989 dan 2002, jumlah pemeluk Islam di Georgia turun menjadi sekitar 12 persen atau sekitar 640 ribu jiwa. Mayoritas dari mereka menganut paham Sunni (mazhab Hanafi dan Syafii) dan Syiah.

Basis terkuat penganut Islam di Georgia berada di daerah otonom Ajaria dan Abkhazia, Meskhetia. Sampai dengan 1770, mayoritas penduduk daerah otonom Ajaria adalah Kristen.

Namun, ketika kekuasaan Imperium Ottoman Turki masuk ke Balkan pada abad ke-16 dan 17, kemudian puncak-puncaknya pada tahun 1820, penganut Islam mulai menyeruak di republik otonom tersebut.

Islam di Ajaria dan Abkhazia mengalami kemunduran pesat ketika Uni Soviet menguasai Georgia pada tahun 1860-an dan mencengkeramnya dengan ajaran komunis. Umat Islam di negara ini kemudian mengalami tekanan yang semakin menjadi-jadi setelah perang dunia kedua (PD II).

Selama di bawah kekuasaan Uni Soviet, undang-undang Islam (syariah) dihapus pada 1926. Akibatnya, banyak praktik agama Islam yang ditinggalkan oleh generasi muda. Baik di Ajaria maupun Abkhazia, para pemeluk Islam mempraktikkan Islam sesuai dengan Mazhab Sunni.

Kini, setelah Uni Soviet bubar, Kristen merebut peluang untuk memurtadkan mereka. Banyak Muslim di Ajaria atau Abkhazia yang memeluk agama Kristen. Puncaknya, ketika Uni Soviet berkuasa di Georgia antara tahun 1866-1902, sebanyak 21.236 Muslim beralih ke Kristen.

Seperti kata Nestor Lakoba, sekretaris pertama Partai Komunis Abkhazia, pada dasarnya orang-orang Abkhazia adalah ateis dan tak mempunyai kepercayaan. Agama bagi mereka tak mempunyai arti.

Populasi Muslim di Ajaria dan Abkhazia berasal dari Turki yang masuk ke daerah tersebut pada abad ke-16. Pengaruh budaya Turki yang sangat kuat membuat mereka tidak mau menggunakan nama-nama Georgia bagi keluarga mereka karena nama-nama Georgia berarti Kristen.

Akibatnya, selama perang dunia kedua, banyak warga Muslim keturunan Turki yang dideportasi ke negara asal. Jumlah mereka yang dideportasi saat itu sekitar 100 ribu orang dan mereka mulai kembali ke Georgia pada 1969.

Repatriasi ini berlanjut sampai dengan 1989, selanjutnya program repatriasi ini dikoordinasi oleh Pemerintah Georgia pada 1994 melalui Kementerian Perumahan dan Penduduk.

Sedangkan, ditinjau dari etnis, banyak Muslim di Georgia berasal dari Turki, Azeri, Avar, Tatar, Kazakh, Uzbek, dan Tajik. Etnis-etnis inilah yang mewarnai kehidupan Muslimin di Georgia, di samping penduduk asli Georgia sendiri. Para komunitas Muslim ini mendiami daerah-daerah pedalaman, Tbilisi, bagian barat daya, dan timur laut.

Islam masih mempunyai pengaruh besar di daerah-daerah tersebut. Setidaknya, ada tujuh madrasah yang telah berdiri di Georgia. Beberapa di antaranya dibiayai oleh kelompok-kelompok Islam di Turki. Karena itu, orang-orang Georgia khawatir terhadap ideologi Islam dan pengaruh luar yang dapat menyebabkan kekerasan internal. 

sumber : Harian Republika
BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler