Eks Kepala Bea Cukai Yogyakarta Eko Darmanto Jadi Tersangka TPPU Jelang Sidang Gratifikasi
KPK memperoleh fakta baru untuk menjerat Eko Darmanto dengan pasal TPPU.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Kepala Bea Cukai Yogyakarta Eko Darmanto sebagai tersangka dugaan tindak pidana pencucian uang (TPPU). Ini merupakan pengembangan kasus setelah Eko dijerat perkara gratifikasi.
Juru Bicara KPK Ali Fikri menjelaskan penetapan tersangka TPPU terhadap Eko didasarkan pengembangan penyidikan kasus dugaan gratifikasi. Ali menyebut KPK memperoleh fakta baru untuk menjerat Eko dengan pasal TPPU.
"Setelah sebelumnya KPK menetapkan status tersangka terhadap ED (Eko Darmanto) terkait penerimaan gratifikasi dan berikutnya atas dasar analisis lanjutan, kemudian ditemukan fakta-fakta baru adanya dugaan menyembunyikan dan menyamarkan asal-usul kepemilikan hartanya," kata Ali dalam keterangan pers pada Kamis (18/4/2024/2024).
"KPK tetapkan lagi yang bersangkutan dengan sangkaan TPPU," lanjut Ali.
Hingga saat ini, Ali menyebut penyidik KPK melanjutkan pengumpulan alat bukti. Kemudian, beberapa aset milik Eko pun disita oleh KPK.
"Pengumpulan alat bukti termasuk penyitaan berbagai aset bernilai ekonomis telah dilaksanakan tim penyidik," ujar Ali.
Diketahui, Eko Darmanto bakal segera menghadapi sidang karena KPK sudah menuntaskan berkas perkara dugaan gratifikasinya. Saat ini, penahanan Eko sekarang menjadi otoritas jaksa KPK. Jaksa KPK bakal menyelesaikan berkas dakwaan secepatnya. Sehingga nantinya dakwaan itu dibacakan dalam sidang perdana.
"Dakwaan dan berkas perkara segera dilimpahkan ke pengadilan tipikor dalam waktu 14 hari kerja," ujar Ali.
Dalam perkara ini, Eko didakwa menerima gratifikasi miliaran rupiah. "Penerimaan gratifikasi dari tersangka ED (Eko Darmanto) selaku pejabat di Ditjen Bea Cukai Kemenkeu RI diperkirakan mencapai Rp 10 miliar," ucap Ali.
Penyidikan kasus ini bermula dari pemeriksaan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) milik Eko Darmanto pada Selasa (7/3/2023). Saat itu Eko dipanggil KPK untuk memberikan klarifikasi soal kekayaannya. Sebab, Eko kerap kali membagikan gaya hidup mewah melalui media sosial atau flexing.
Dari hasil klarifikasi itu, KPK menilai kekayaan Eko masuk dalam kategori outliers atau di luar kewajaran. Sebab, Eko diketahui memiliki utang sebesar Rp 9 miliar, meski dalam LHKPN tercatat total kekayaannya mencapai Rp 15,7 miliar. Kasus ini pun naik ke tahap penyelidikan hingga akhirnya masuk penyidikan.
Eko menerima gratifikasi itu melalui transfer rekening bank milik keluarga intinya dan berbagai perusahaan yang terafiliasi dengan dia. Di antaranya yang bergerak di bidang jual beli motor Harley Davidson dan mobil antik, serta perusahaan konstruksi dan pengadaan sarana pendukung jalan tol.
Eko disangkakan KPK melanggar Pasal 12B Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.