Siapa Bilang Israel tak Terkalahkan? Perang Lebanon Membuktikan Sebaliknya
Israel pernah dipukul mundur pada Perang Lebanon
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA— Ada rumor jika militer zionis Israel tak pernah terkalahkan. Benarkah demikian? Rumor ini tentulah tidak benar.
Sebagai buktinya, hanya dalam waktu dua hari 23-24 Mei tahun 2000, penarikan diri ribuan tentaranya bersama 7.000 personel Tentara Lebanon Selatan (SLA) yang selama ini menjadi sekutunya, rampung.
Dengan demikian, berakhir sudah 22 tahun pendudukan di kawasan selatan Lebanon seluas 70x30km yang disebut Israel sebagai ''zona keamanan'' (security zone).
Sebagaimana diketahui, Israel memasuki kawasan ini pada 1978 sebagai jawaban terhadap perang saudara di Lebanon yang mulai berkecamuk pada 1975 dan untuk menandingi Suriah yang telah lebih dulu masuk ke sana (1976).
Masuknya Suriah ke sana, dengan persetujuan Liga Arab (melalui Tha'if Accord), bermaksud meredakan perang saudara antara golongan Kristen Maronit dan golongan Islam/gerilyawan Palestina. Sekitar 30 ribu personel tentara Suriah masih berada di Lembah Bekaa sampai sekarang.
Inilah pertama kalinya Israel dikalahkan secara militer sejak negara itu berdiri pada 1948. Selama ini militer Israel dicitrakan sebagai kekuatan militer tak terkalahkan di Timur Tengah. Klaim ini sukar dibantah.
Toh, Israel berulang kali mengalahkan kekuatan gabungan negara-negara Arab dalam berbagai perang. Malah, ia pernah menaklukkan gabungan kekuatan Mesir, Yordania, Irak dan Suriah, hanya dalam waktu enam hari (Perang 1967), di mana Mesir kehilangan Gurun Sinai, Yordania kehilangan Tepi Barat, dan Suriah harus merelakan Dataran Tinggi Golan.
Yang menarik, Israel justru takluk di tangan Hizbullah atau Partai Allah, golongan radikal Syiah Lebanon yang kurang diperhitungkan negara Arab. Hanya Suriah dan Iran yang membekingnya.
Setelah kalah dalam konflik militer di Lebanon menyusul invasi Israel ke negeri itu untuk mengusir gerilyawan Palestina (1982), Damaskus merasa perlu mendukung kelompok-kelompok bersenjata anti-Israel di Lebanon untuk mengganggu musuh bebuyutannya itu. Sedangkan bantuan Iran pada Hizbullah bukan sekadar mengusir Israel daria kawasan Syiah itu, tapi sekaligus diniatkan untuk mendirikan negara Islam model Iran di sana.
Siapa Hizbullah?
Hizbullah dibentuk dengan sponsor Iran segera setelah invasi Israel ke Lebanon. Tujuannya, sebagaimana dinyatakan dalam surat terbuka pada 1985, di antaranya, jihad melawan Israel dan pembentukan negara Islam. Mereka menolak Persetujuan Tha'if (Thaif Accord) yang, di antaranya, menyetujui kesejajaran umat Kristen dan Islam dalam pemerintahan Lebanon.
Sebagaimana diketahui, berdasarkan Pakta Nasional Lebanon pada 1943 yang disponsori Prancis, Presiden Lebanon harus selalu berasal dari pihak Kristen Maronit, Perdana Menteri berasal dari kelompok Islam Sunni, dan Ketua Parlemen dari kelompok Syiah.
Perang saudara pada 1975 bersumber dari tuntutan pihak Islam agar mengubah Pakta Nasional tersebut, mengingat komposisi demografi Lebanon telah jauh berubah di mana kelompok Muslim, khususnya Syiah, telah menjadi mayoritas.
Para pendukung Hizbullah awal adalah golongan Syiah di ibu kota Provinsi Bekaa (Biga), santri Lebanon yang terusir dari Irak menyusul pembersihan aktivitas politik Syiah di tahun 1970-an, orang-orang Syiah yang tergusur dari selatan Lebanon akibat invasi Israel itu, orang Syiah Lebanon yang pernah dilatih dan ikut berjuang bersama gerilyawan Palestina, serta sekitar 1.000 personel pasdaran (Pengawal Revolusi Iran).
Mereka mulai menarik perhatian dunia ketika melancarkan bom bunuh diri terhadap markas tentara AS dan Prancis di Lebanon (1983) yang menewaskan ratusan orang. Populariasnya makin meningkat ketika terlibat dalam berbagai tindak kekerasan, khususnya penculikan terhadap warga Barat, yang baru berakhir pada 1992.
Tapi Hizbullah tak hanya terlibat dalam kegiatan militer-politik. Mereka juga membangun jalan-jalan yang mulus, sumur di pedesaan, rumah sakit, apotek, dan pabrik tekstil. Juga memberikan buku secara cuma-cuma, beasiswa, serta pekerjaan bagi korban perang. Untuk memperluas basis dukungannya, mereka mendirikan klub sepak bola, media massa, dan stasiun radio.
Dengan begitu, kian banyak pendukung Amal Syiah pimpinan Nabih Herri, kelompok Syiah moderat Lebanon yang didukung kaum profesional dan pedagang, yang membelot ke Hizbullah.
Tak heran, dalam Pemilu 1992, Hizbullah memperoelh setengah dari total suara Syiah Lebanon. Di kawasan selatan, kelompok itu bahkan mengumpulkan seluruh 8 kursi yang tersedia, yang merupakan blok tunggal terbesar dalam parlemen.
Dengan sekitar 5.000 sampai 10 ribu personel bersenjata yang terlatih dan memiliki determinasi, Hizbullah melancarkan taktik hit and run melawan Israel. Cara ini ternyata efektif dibanding harus berkonfrontasi secara langsung menghadapi profesionalisme dan kecanggihan militer Israel yang telah teruji.
Kebanyakan tentara Israel justru dibunuh melalui bom bunuh diri atau pemasangan bom di ''zona keamanan'' yang kemudian diledakkan dengan remote control. Tapi ini tak akan jalan tanpa jaringan intelijen canggih yang dibangun Hizbullah.
*Naskah karya Smith Alhadar tayang di Harian Republika pada tahun 2000