Beranikah Columbia University Divestasi dari Perusahaan Terkait Israel?
Endowment fund milik Columbia University mencapai 13,6 miliar dolar AS
REPUBLIKA.CO.ID, NEW YORK – Aksi mahasiswa di AS yang menentang Israel masih terus berlangsung, termasuk di Columbia University. Tuntutan mereka, di antaranya mendesak pihak universitas menarik dana investasi dari perusahaan yang mengambil keuntungan dari aksi militer Israel di Gaza.
Dana abadi atau endowment fund milik Columbia University, menurut CNN, Sabtu (27/4/2024) mencapai 13,6 miliar dolar AS dan dikelola oleh perusahaan investasi mereka sendiri. Dana tersebut diinvestasikan ke berbagai sektor bisnis.
Columbia University Apartheid Divest, koalisi kelompok mahasiswa yang melakukan protes, menuntut divestasi dana abadi universitas dari perusahaan senjata dan teknologi yang menjalin bisnis dengan Pemerintah Israel.
‘’Perusahaan-perusahaan itu mengambil keuntungan dari kebijakan apartheid, genosida, dan pendudukan militer Israel atas wilayah Palestina,’’ demikian Columbia University Apartheid Divest menguraikan alasannya atas tuntutan mereka ke pihak universitas.
Tuntutan semacam itu, bukanlah yang pertama kali dilakukan mahasiswa Columbia University. Pada 1968, mereka menduduki berbagai bangunan universitas untuk membangun kesadaran mengenai dampak Perang Vietnam, yang melibatkan AS.
Mereka juga melakukan mogok makan demi dihentikannya perang di Vietnam itu. Pada 2000, pihak universitas mendirikan sebuah komite yang memberikan masukan mengenai investasi yang juga mempertimbangkan tanggung jawab.
Komite ini berisi mahasiswa, fakultas, dan alumni yang memberikan masukan para manajer investasi dana abadi universitas.
Mereka bisa menyampaikan usulan divestasi di sebuah perusahaan melalui prosedur resmi.
Dalam konteks Israel, Columbia University Apartheid Divest menyerahkan proposalnya kepada komite tersebut untuk menarik investasi pada Desember lalu. Meski demikian, usulan mereka belum menuai hasil.
Pekan lalu, mahasiswa di Columbia College, yang berisi mahasiswa S1, melakukan pemungutan suara untuk mendukung usulan divestasi tersebut. Mereka terus mendorong manajemen universitas menerima proposal divestasi itu.
‘’Kami membangun legasi mahasiswa terdahulu berpuluh-puluh tahun lalu yang menyerukan kebebasan, liberasi, kesetaraan, dan mengakhiri sistem apartheid di seluruh dunia,’’ kata Catherine Elias, pimpinan kelompok mahasiswa Columbia University kepada CNN awal pekan ini.
Saat ini, ada lima area di mana manajer investasi Columbia University menghindarkan diri untuk berinvestasi di sana, yaitu tembakau, operasi penjara swasta, batu bara thermal, Sudan, dan bahan bakar fosil. Keputusan ini ditetapkan sudah berpuluh-puluh tahun lalu.
Misalnya, pada 1980-an, sekelompok mahasiswa Columbia mengawali seruan untuk memutus hubungan finansial dengan perusahaan-perusahaan yang menjalankan bisnis di Afrika Selatan (Afsel). Ini merujuk kebijakan apartheid, berupa pemisahan secara rasial kala itu.
Senat mahasiswa menyetujui desakan divestasi dengan dukungan mayoritas pada 1983, sayangnya trustee universitas menolaknya. Lalu, April 1985, mahasiswa melakukan demokstrasi selama tiga pekan menentang investasi Columbia di Afsel.
New York Times melaporkan aksi itu melibatkan 150 mahasiswa, mereka menutup semua akses masuk sebuah bangunan kampus. Beberapa bulan kemudian, pemungutan suara trustee lakukan untuk menjual mayoritas saham di perusahaan AS yang berbisnis di Afsel.
Di antaranya saham di perusahaan ternama American Express, Chevron, Ford, dan Coca-Cola serta perusahaan lainnya. Totalnya mencapai 39 juta dolar AS dan merupakan empat persen dari total portofolio Columbia.
Keputusan ini menjadikan Columbia sebagai universitas pertama Ivy League yang melakukan divestasi dari Afsel. Lalu, langkah ini diikuti University of California, Berkeley, Johns Hopkins University, dan University of North Carolina. Aparteid di Afsel berakhir awal 1990-an.
Sejak saat itu, aktivis mahasiswa berhasil mendesak Columbia mendivestasi dana investasinya dari sejumlah wilayah lainnya. Pada 2015, Columbia menjadi universitas pertama yang berdivestasi dari perusahaan-perusahaan pengelola penjara swasta.
Selama setahun, mahasiswa melakukan kampanye divestasi karena mengkhawatirkan terjadinya pelanggaran HAM. Columbia akhirnya menjual sahamnya di G4S, perusahaan keamanan swasta terbesar di dunia.
Saham di Corrections Corporation of America, perusahaan penjara swasta terbesar di AS juga dijual. Empat tahun kemudian, yakni 2019, sekelompok mahasiwa bermitra dengan organisasi iklim Extinction Rebellion mogok makan sepekan di perpustakaan universitas.
Mereka menuntut Columbia mendivestasikan dananya dari batu bara thermal dan bahan bakar fosil.
Penangkapan di berbagai kampus
Pada Sabtu, polisi melakukan serangkaian penangkapan mahasiswa di sejumlah kampus di AS. Para aktivisi mahasiswa itu terus mendorong adanya gencatan senjata di Gaza. Serangan militer Israel selama enam bulan ini menyebabkan 34 ribu lebih warga sipil Gaza meninggal dunia.
Polisi Negara Bagian India menangkap 23 mahasiswa Indiana University dan menegaskan mahasiswa tak mendirikan tenda dan berkemah di kampus.’’Kami mendukung aksi damai di kampus yang sesuai kebijakan kampus,’’ demikian pernyataan polisi.
Polisi Massachusetts membantu pihak kampus membersihkan kemah pengunjuk rasa di Northeastern University di Boston. Sebanyak 102 mahasiswa yang menolak meninggalkan kemah ditangkap. Kampus beralasan, aksi mahasiswa sudah disusupi pihak lain.
Penangkapan juga terjadi di Arizona State University (ASU). Sebanyak 69 mahasiswa diciduk polisi. Alasan senada disampaikan pihak universitas, sebagian besar mereka yang berkemah di wilayah kampus bukanlah mahasiswa, fakultas, atau staf ASU.