Kasus Tewasnya Taruna Mengungkap Masih Ada Tradisi Penganiayaan Senior ke Junior di STIP
Senior korban sempat menanyakan siapa yang terkuat diantara korban dan empat temannya
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Polisi mengungkapkan bahwa tindakan penganiayaan yang dilakukan taruna senior terhadap juniornya sudah menjadi tradisi di Sekolah Ilmu Tinggi Pelayaran (STIP) Jakarta Utara. Akibat tradisi tindak kekerasan itu menyebabkan satu orang taruna bernama bernama Putu Satria Ananta Rustika alias PSAR (19 tahun).
"Ada yang menyebut sebagai tradisi taruna, ada penindakan terhadap junior, karena dilihat ada yg salah menurut persepsi senior," ujar Kapolres Metro Jakarta Utara Kombes Gidion Arif Setyawan kepada awak media di Jakarta, Ahad (5/5/2024).
Dalam perkara ini, kata Gidion, pihak penyidik telah menetapkan taruna tingkat dua STIP berinisial TRS sebagai tersangka kasus kematian taruna PSAR. Diduga korban tewas setelah dianiaya oleh tersangka selaku seniornya di dalam toilet kampus tersebut. Korban dipukul lantaran dianggap ada yang salah di mata tersangka sebagai senior. Sehingga kasus ini mengandung unsur senioritas.
“Kehidupan senioritas. Kalau bisa disimpulkan mungkin ada arogansi senioritas. Karena merasa 'mana yang paling kuat', kan ada kalimat-kalimat itu, itu juga nanti mungkin ini menjadi titik tolak untuk melakukan penyelidikan yang lebih,” ungkap Gidion.
Peristiwa tindakan penganiayaan berupa pemukulan yang berujung kematian itu berawal dari korban dan temannya masuk kelas dengan mengenakan kaos olahraga. Kemudian tindakan korban dan teman-temannya tersebut dianggap sebagai sebuah kesalahan oleh tersangka TRS. Sehingga korban dan empat temannya dikumpulkan di dalam toilet.
Siapa yang terkuat...
Selanjutnya, kata Gidion, tersangka TRS menanyakan siapa yang paling kuat diantara mereka. Lalu korban menjawab bahwa dirinyalah yang paling kuat diantara teman-temannya. Karena korban merasa dirinya adalah ketua kelompok dari komunitas tingkat 1 ini. Lalu secara tiba-tiba tersangka TRS langsung melayangkan pukulan tepat di ulu hatinya. Setelah menerima pukulan sebanyak lima kali, korban langsung roboh.
“Penindakan yang dilakukan ini menggunakan kekerasan tangan kosong, tidak menggunakan alat apa-apa, jadi pemukulan menggunakan tangan kosong,” Gidion menambahkan.
Kemudian melihat korban tersungkur, tersangka TRS menyuruh keempat rekan korban meninggalkan toilet. Lalu tersangka TRS membawa korban ke ruang kelas sebelah toilet untuk melakukan upaya pertolongan. Berdasarkan pengakuannya, TRS berusaha menolong dengan cara menarik lidah korban keluar. Namun sayangnya, justru hal itu membuat korban tidak bisa bernapas dan meninggal dunia
“Penyelamatan dilakukan dengan memasukkan tangan ke mulut korban untuk menarik lidahnya. Tapi itu justru yang menutup saluran (pernapasan), korban meninggal dunia,” beber Gidion.
Guna mempertanggungjawabkan perbuatannya, tersangka TRS dijerat dengan Pasal 338 juncto subsider Pasal 351 ayat 3 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Adapun hukuman yang bakal diterima tersangka adalah ancaman pidana maksimal 15 tahun. "Ini pelaku tunggal yang melakukan aksi ini," ucap Gidion.