Wakil Ketua Komisi X: Kurikulum Merdeka Belum Layak Jadi Kurikulum Nasional

Wakil Ketua Komisi X DPR sebut Kurikulum Merdeka belum layak jadi Kurikulum Nasional.

Dok. DPR RI
Wakil Ketua Komisi X DPR RI Abdul Fikri Faqih. Wakil Ketua Komisi X DPR sebut Kurikulum Merdeka belum layak jadi Kurikulum Nasional.
Rep: Ronggo Astungkoro Red: Bilal Ramadhan

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Ketua Komisi X DPR RI Abdul Fikri Faqih menyoroti maraknya kegelisahan masyarakat terhadap perubahan sistem pendidikan terkini. Menurut dia, isu tersebut harus jadi fokus utama pemerintah karena sektor ini krusial bagi masa depan bangsa.

Baca Juga


"Momentum peringatan Hari Pendidikan Nasional ke-65 harusnya menjadi bahan evaluasi Kemendikbudristek, khususnya dalam menyikapi kontroversi yang muncul," kata Fikri dikutip dari laman Komisi X DPR RI, Senin (6/5/2024).

Dia menerangkan, salah satu isu yang mencuat adalah soal penerapan Kurikulum Merdeka sebagai kurikulum resmi nasional. Di mana, hal tersebut tertuang dalam Permendikbudristek Nomor 12 Tahun 2024. Kurikulum Merdeka diklaim lebih unggul daripada pendahulunya.

“Beberapa pakar menilai, Kurikulum Merdeka belum layak dijadikan kurikulum nasional, karena belum dilengkapi dengan naskah akademik yang memuat filosofi Pendidikan dan kerangka konseptual yang menjadi dasar pemikiran kurikulum merdeka,” kata politikus Partai Keadilan Sejahtera itu.

Sebab itu, kata dia melanjutkan, Kurikulum Merdeka belum teruji secara akademis menjadi solusi atas hilangnya pembelajaran alias learning loss selama pandemi Covid-19. Di samping itu, perlu juga dilakukan evaluasi kemampuan daerah menerapkan kurikulum itu secara merata.

Kendati demikian, hasil PISA (Programme for International Student Assessment) tahun 2022 diklaim sebagai kesuksesan Kemendikbudristek menerapkan kurikulum darurat selama pandemi Covid-19. Peringkat PISA Indonesia tahun 2022 naik 5 hingga 6 peringkat dibanding hasil PISA 2018 lalu.

“Namun, fakta lain menyebutkan skor PISA Indonesia tahun 2022 di bidang literasi membaca, matematika, dan sains juga menurun dibanding tahun 2018, jadi sudut pandang kesuksesan PISA relatif dilihat dari mana,” kata Fikri.​

Nuansa penerapan kurikulum baru ikut diramaikan narasi di media sosial soal kewajiban seragam baru bagi siswa sekolah dasar hingga menengah. Padahal, kata dia, itu terjadi akibat kurangnya sosialisasi. Sebenarnya, aturan seragam masih seperti yang lama sesuai Permendikbudristek 50 tahun 2022.

Masih terkait Kurikulum Merdeka, munculnya narasi penghapusan Pramuka sebagai ekstrakurikuler wajib di sekolah menimbulkan polemik. Di sisi lain, Kemendikbudristek membantah hal itu, dan menegaskan ekskul Pramuka tetap disediakan sekolah, hanya kepesertaannya menjadi sukarela bagi siswa.

Fikri tetap menyayangkan hal itu. Sebab, pramuka berkontribusi positif untuk mengembangkan Pendidikan karakter bangsa. "Secara historis, pramuka berperan besar dalam perjalanan bangsa sejak era kemerdekaan,” tegas dia.

Selain itu, isu kesejahteraan profesi pendidik, seperti guru, dosen, dan tenaga kependidikan tak luput menjadi komplain di masyarakat. Ada dua isu yang dia jadikan perhatian lembaga legislatif, yakni kejelasan status sebagai ASN-PPPK dan juga kesejahteraan pendidik dan tenaga kependidikan.

“Sebagai pahlawan pendidikan, mereka dihadapkan pada inflasi Pendidikan tinggi yang sangat besar, biaya UKT berlipat ganda seiring waktu,” kata mantan kepala sekolah di salah satu SMK itu

Contoh terbaru adalah soal kenaikan Uang Kuliah Tunggal (UKT) di Universitas Jenderal Soedirman (UnSoed) yang disebut melonjak hingga 100 persen imbas penerapan Permendikbudristek Nomor 25 Tahun 2020 Tentang Standar Satuan Biaya Operasional Pendidikan Tinggi (SSBOPT) pada Perguruan Tinggi Negeri di Lingkungan Kemendikbud.

“Pada akhirnya Unsoed meralat keputusannya, setelah didemo masyarakat,” ujar Fikri.

Masih terkait biaya pendidikan tinggi yang kian tak terjangkau, Fikri menyoroti soal kerjasama penyedia pinjaman online (pinjol) dengan ITB. Menurut dia, meski terlihat sebagai solusi pintas, namun pembayaran UKT melalui pinjol ini cenderung merugikan karena bunganya terlampau besar.

Solusi yang paling tepat adalah mengatasi kesenjangan antara kebutuhan operasional perguruan tinggi negeri dengan pendapatan PTN, khususnya di luar APBN.

“Sumber-sumber pendanaan PTN ini sebisa mungkin via kerja sama sponsor ketimbang membebani biaya pada mahasiswa, dan itu tanggung jawab pemerintah sebagai pengampu PTN di Indonesia sesuai amanat undang-undang,” jelas dia.

Oleh karena itu, ia mendesak pemerintah untuk memberi solusi komprehensif untuk meningkatkan kesejahteraan guru, termasuk memberi keleluasaan kepada kalangan guru untuk dapat mengakses pembiayaan jangka pendek yang legal, ringan, dan mudah.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler