Kasus Kolera Terus Melonjak Selagi Persediaan Vaksin Masih Terbatas
Kasus kolera telah meningkat di seluruh dunia sejak 2021.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Para ahli memperingatkan mengenai risiko global ketika kasus kolera terus melonjak sementara persediaan vaksin masih terbatas. Kasus kolera telah meningkat di seluruh dunia sejak 2021.
Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), setiap tahun, ada sekitar 1,3 hingga empat juta kasus kolera di seluruh dunia. Dilansir Fox News, Selasa (7/5/2024), sekitar 21 ribu hingga 143 ribu kematian terjadi sebagai akibatnya.
Sekitar 473 ribu kasus dilaporkan ke WHO pada 2022, dua kali lebih banyak kasus dibandingkan tahun sebelumnya. Kasus yang dilaporkan pada 2023 diperkirakan akan melebihi 700 ribu kasus.
"Sangat memprihatinkan melihat peningkatan jumlah kasus-kasus kolera di seluruh dunia, dengan sebagian besar kasus terjadi di Asia, Afrika, dan Amerika Latin," kata dr Renuga Vivekanandan, asisten dekan dan profesor di Fakultas Kedokteran Universitas Creighton di Omaha, Nebraska, Amerika Serikat (AS) kepada Fox News Digital.
Negara-negara yang paling terkena dampaknya ialah Republik Demokratik Kongo, Ethiopia, Haiti, Somalia,Sudan, Suriah, Zambia, dan Zimbabwe, menurut Dana Anak-anak Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNICEF). Berdasarkan Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit AS (CDC), kolera biasanya menyebar ketika seseorang minum air atau makan makanan yang terkontaminasi bakteri Vibrio cholerae.
UNICEF memperingatkan bajwa penyakit ini dapat menyebar dengan cepat di lokasi yang pengolahan air minum dan limbahnya tidak memadai. UNICEF mencatat dalam sebuah pernyataan bahwa peningkatan penyakit kolera didorong oleh kesenjangan yang terus-menerus dalam akses terhadap air bersih dan sanitasi.
Lalu, apa penyebab meningkatnya kasus kolera belakangan ini? Dokter Vivekanandan mengatakan, ada beberapa penyebab kemungkinan meningkatnya kasus kolera ini.
"Saya pikir kasusnya mungkin meningkat karena perubahan iklim, perpindahan rumah akibat bencana, dan tidak adanya kondisi sanitasi yang baik, seperti sumber-sumber air yang buruk," kata dr Vivekanandan.
Selain itu, di AS ada vaksin dosis tunggal untuk kolera, yakni Vaxchora (lyophilized CVD 103-HgR). Mereka yang berusia antara dua hingga 64 tahun dan yang bepergian ke daerah penularan kolera aktif berhak menerimanya. Ada tiga vaksin kolera lainnya, namun tidak tersedia di AS.
Di situsnya, UNICEF mengungkapkan ada kesenjangan parah dalam jumlah dosis vaksin yang tersedia dibandingkan dengan tingkat kebutuhan saat ini. Permintaan dosis vaksin untuk menanggapi wabah makin meningkat dalam periode 2021 hingga 2023 dibandingkan dekade sebelumnya, menurut UNICEF.
Meskipun vaksin kolera biasanya diberikan dalam dua dosis, Kelompok Koordinasi Internasional (ICG) mengubah rekomendasinya menjadi dosis tunggal pada Oktober 2022 karena kekurangan yang terus berlanjut. Dokter Vivekanandan menyebut kekurangan vaksin kolera sangat memprihatinkan mengingat ini adalah infeksi yang serius.
"Kita harus menginvestasikan sumber daya finansial dan lainnya untuk mengurangi beban di seluruh dunia," ujarnya.
Dokter Vivekanandan juga menyebut sumber daya internasional perlu memberikan komitmen. Lalu, kemitraan dengan perusahaan farmasi perlu dilakukan untuk membantu memproduksi lebih banyak vaksin.
Di situs web Food and Drug Administration (FDA), kekurangan pasokan Vaxchora disebut telah teratasi. FDA mencatat bahwa Emergent Travel Health sebagai produsen vaksin telah mengumumkan pada Mei 2021 bahwa pihaknya melakukan penghentian sementara distribusi Vaxchora karena berkurangnya perjalanan internasional secara signifikan akibat pandemi Covid-19. Kekurangan tersebut tercatat telah teratasi pada Mei 2023.