Kelaparan dan Kolera Bisa Jadi Bencana Baru Bagi Warga Gaza
Lumpuhnya layanan air bersih dan sanitasi akan memicu wabah kolera.
REPUBLIKA.CO.ID, GAZA -- Kondisi warga Gaza yang berada dalam situasi terkepung blokade Israel semakin mengenaskan, setelah hantaman roket Israel menghancurkan fasilitas kini pasokan kebutuhan makanan, air minum, medis dan bahan bakar sudah habis. Sementara bantuan yang berhasil masuk sangat sedikit.
Juru bicara bantuan program pangan dunia PBB, Abeer Etefa mengungkapkan dengan situasi serba kehabisan tersebut, kini warga Gaza yang masih bertahan terancam dengan bencana baru yakni kelaparan dan Kolera.
"Gaza sedang berjuang dengan kurangnya pasokan bahan pokok. Makanan dan air semakin menipis. Orang-orang menghadapi kondisi yang semakin menyedihkan," kata Abeer Etefa, juru bicara Program Pangan Dunia.
"Di luar Gaza, kondisi di Tepi Barat juga alami hal yang sama, semakin memburuk setiap harinya."
Badan-badan PBB telah memperingatkan bahwa lumpuhnya layanan air bersih dan sanitasi akan memicu wabah kolera dan penyakit menular mematikan lainnya. Ini bisa terjadi jika bantuan kemanusiaan yang mendesak tidak segera dikirimkan dan sampai di wilayah Gaza.
Israel telah memutus jalur pipa air bersih ke Gaza - bersama dengan pasokan bahan bakar dan listrik yang digunakan untuk menghidupkan pembangkit listrik dan air limbah. Pemutusan ini dilakukan Israel, setelah mengumumkan blokade total terhadap daerah kantong Palestina tersebut menyusul serangan Hamas tiga pekan lalu.
Seperti kisah empat anak Waseem Mushtaha sudah tidak bersekolah selama hampir dua minggu inu. Alih-alih belajar matematika atau geografi, mereka malah diajari cara menjatah air.
"Setiap hari saya mengisi sebotol air untuk masing-masing anak dan saya katakan kepada mereka: Cobalah untuk mengatur ini," katanya kepada Aljazirah, berbicara dari kota Khan Younis, Gaza selatan. "Pada awalnya, mereka kesulitan, tapi sekarang mereka bisa mengatasinya."
Setelah Israel mengeluarkan perintah evakuasi bagi 1,1 juta warga Palestina di bagian utara Gaza, Mushtaha mengantar istri dan anak-anaknya yang berusia delapan hingga 15 tahun ke rumah bibinya di Khan Younis. Di sana para penghuninya membuka pintu bagi keluarga besar dan saudara Gaza yang alami kehancuran di tengah bombardir udara Israel yang tak kunjung usai.
Sebagai petugas air dan sanitasi untuk organisasi nirlaba global Oxfam, Mushtaha melihat tanda-tanda bencana kesehatan masyarakat yang akan datang di sekelilingnya. "Orang-orang tidur di jalanan, di toko-toko, di masjid, di dalam mobil atau di jalanan," katanya.
Keluarganya tinggal bersama sekitar 100 orang yang berdesakan di sebuah apartemen seluas 200 meter persegi dan menganggap diri mereka sebagai salah satu dari mereka yang beruntung.
Sementara itu, produk-produk kebersihan telah menghilang dari beberapa supermarket yang masih buka. Dan air yang dijual oleh vendor swasta yang menjalankan fasilitas desalinasi bertenaga surya telah naik dua kali lipat. Dulu harganya 30 shekel (7,40 dolar AS), tapi sekarang harganya menjadi 60 shekel (15 dolar AS).
Pada hari Rabu (25/10/2023), Mushtaha memperkirakan keluarganya akan kehabisan air dalam waktu 24 jam. Setelah itu, dia tidak tahu apa yang akan terjadi.
"Kami akan pergi ke pasar dan membeli apa pun yang tersedia," jelasnya. "Kami menatap masa depan dengan mata yang suram.
Runtuhnya layanan air dan sanitasi
Oxfam dan badan-badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah memperingatkan bahwa runtuhnya layanan air dan sanitasi akan memicu wabah kolera dan penyakit menular mematikan lainnya jika bantuan kemanusiaan yang mendesak tidak diberikan.
Israel memutus jalur pipa air ke Gaza, bersama dengan pasokan bahan bakar dan listrik yang menyalurkan air dan instalasi pembuangan limbah, setelah mengumumkan blokade total terhadap daerah kantung Palestina tersebut menyusul serangan Hamas.
Sebagian besar dari 65 stasiun pompa air limbah di Gaza dan kelima fasilitas pengolahan air limbahnya terpaksa berhenti beroperasi. Menurut Oxfam, limbah yang tidak diolah sekarang dibuang ke laut sementara limbah padat juga berakhir di beberapa jalan di samping mayat-mayat yang menunggu untuk dikuburkan.
Pabrik desalinasi telah berhenti bekerja dan pemerintah kota tidak dapat memompa air ke daerah pemukiman karena kekurangan listrik. Beberapa orang di Gaza mengandalkan air keran yang asin dari satu-satunya akuifer di daerah kantong tersebut, yang terkontaminasi limbah dan air laut, atau terpaksa meminum air laut. Yang lainnya terpaksa minum dari sumur-sumur pertanian.