TNI dan Polri yang Hingga Kini Masih Berselisih Soal Istilah OPM atau KKB

TNI menegaskan istilah OPM lebih relevan daripada KKB.

Dok. Republika
Personel Operasi Damai Cartenz berlindung dari serangan kelompok separatis bersenjata Organisasi Papua Merdeka (OPM) saat terjadi penyerangan di Mapolsek Homeyo dan di Gedung SDN Pogapa, Intan Jaya, Papua Tengah.
Red: Andri Saubani

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Bambang Noroyono

Baca Juga


Markas Besar Tentara Nasional Indonesia (Mabes TNI) sepertinya tak mau ambil pusing dengan beda istilah dengan Polri terkait label Organisasi Papua Merdeka (OPM) dengan Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB). Kepala Pusat Penerangan (Kapuspen) Mabes TNI Mayor Jenderal (Mayjen) Nugraha Gumilar menegaskan, Panglima TNI sudah menegaskan, pengembalian label kelompok bersenjata prokemerdekaan di Bumi Cenderawasih tersebut sebagai OPM.  

Menurut Mayjen Gumilar, penyebutan OPM lebih relevan ketimbang KKB. Pun sekaligus, kata dia, penyebutan versi TNI itu lebih dapat memberikan kepastian hukum. Sekaligus lebih dapat menjamin perlindungan hukum terhadap para prajurit militer yang bertugas di Papua.

“Alasan penyebutan OPM itu, lebih memberikan kepastian hukum bagi prajurit di lapangan untuk tidak ragu-ragu dalam bertindak tegas. Karena secara hukum, OPM menjadi target yang sah untuk dilumpuhkan,” kata Mayjen Nugraha kepada Republika, Jumat (10/5/2024).

“Juga sekaligus, (penyebutan OPM), lebih dapat memberikan perlindungan hukum terhadap tindakan-tindakan yang dilakukan prajurit di lapangan terhadap kelompok-kelompok (bersenjata) tersebut,” sambung Mayjen Nugraha.

Mabes TNI, kata Mayjen Nugraha, pun tak ingin menjadikan perbedaan istilah OPM versi TNI, dan KKB versi Polri itu membuat sinergisitas kedua institusi pertahanan, dan keamanan itu tak bersatu dalam kerja sama di lapangan menghadapi kelompok-kelompok bersenjata di Papua. Karena dikatakan dia, apapun istilahnya, kelompok-kelompok bersenjata prokemerdekaan Papua saat ini sudah menjadikan anggota-anggota TNI maupun Polri, serta masyarakat biasa sebagai target.

“Perbedaan-perbedaan dalam penyebutan nama itu, tidak mengurangi sinergisitas TNI-Polri,” kata Mayjen Nugraha.

Menurut dia, apalagi saat ini, TNI-Polri juga memiliki komando yang sama dalam pembentukan Koops Habema yang merupakan satuan tugas khusus gabungan TNI-Polri dalam penuntasan separatisme di Bumi Cenderawasih.

“Adanya Koops Habema, saat ini semakin mempertaham sinergisitas TNI dan Polri dengan pendekatan-pendekatan yang smart power,” kata Mayjen Nugraha.

Selain Satgas Habema, di Papua, juga ada Satgas Operasi Damai Cartenz yang merupakan satuan tugas khusus gabungan antara Polri-TNI. Mayjen Nugraha, melanjutkan, TNI dan Polri sama-sama memiliki fungsi, dan tugas yang sama untuk penuntasan masalah-masalah di wilayah Papua. 

Alasan lain yang menurut Mayjen Nugraha mengapa istilah OPM lebih relevan ketimbang KKB, melihat fakta di lapangan, dari kelompok tersebut dalam mengidentifikasi diri sendiri. “Mereka menyatakan diri kan sebagai TPNPB-OPM,” kata Mayen Nugraha.

TPNPB adalah Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat yang merupakan sayap bersenjata OPM. “Mereka terorganisir, memilik simbol, memiliki daerah operasi, punya tujuan memisahkan diri dari NKRI, dan mereka bersejata dalam melakukan penyerangan-penyerangan terhadap TNI-Polri. Bahkan melakukan pembunuhan, pemerkosaan nakes, perampokan, dan aksi-aksi pembakaran lainnya,” sambung Mayjen Nugraha.

 

Penyebutan istilah untuk kelompok bersenjata Papua merdeka selama ini memang membingungkan. Polri sejak awal menggunakan istilah KKB. Polri, pun memiliki istilah lain bagi kalangan terpelajar dan aktivis Papua yang dituding terafiliasi dengan KKB sebagai Kelompok Kriminal Politik (KKP).

Sedangkan TNI mengambil istilah lain. OPM sebetulnya sematan lama sejak Orde Baru. Akan tetapi TNI sempat mengubah istilah tersebut dengan penyebutan Kelompok Kriminal Separatis Bersenjata (KKSB), dan Kelompok Separatisme-Terorisme Papua (KSTP), atau Kelompok Separatis Teroris (KST) Papua.

Polri hingga kini, masih menetapkan kelompok prokemerdekaan Papua itu sebagai KKB. Melalui Operasi Damai Cartenz Papua 2024, misi keamanan khusus di ujung timur Indonesia, adalah untuk melakukan operasi penindakan hukum sebagai upaya penumpasan kelompok bersenjata prokemerdekaan Papua. 

Operasi Damai Cartenz sendiri, merupakan satuan tugas khusus gabungan personel Polri, dan juga TNI. Polri mengandalkan satuan elite semi-militernya dari Brigade Mobil (Brimob), sedangkan TNI menerjunkan satuan-satuan elitenya dari semua matra untuk misi operasi penumpasan KKB, atau OPM. Akan tetapi, dalam Damai Cartenz, Polri sebagai lini utama ketimbang TNI. Operasi Damai Cartenz, pun meminta agar media-media nasional di Tanah Air tak menggunakan istilah OPM untuk penyebutan KKB dalam pemberitaan. 

“Terkait nomenklatur KKB dan OPM, kami dari Polri sampai saat ini tetap menggunakan nomenklatur KKB. Bukan OPM,” kata Kasatgas Humas Operasi Damai Cartenz AKBP Bayu Suseno dalam siaran pers, Rabu (8/5/2024).

AKBP Bayu menerangkan mengapa Polri yang merupakan pemimpin dalam Operasi Damai Cartenz tetap menggunakan istilah KKB dalam penyebutan OPM versi TNI. Menurut dia, Satgas Operasi Damai Cartenz yang merupakan satuan tugas khusus bentukan Mabes Polri khusus di wilayah Papua itu mengambil pendekatan pencegahan, dan juga penegakan hukum dalam penumpasan kelompok bersenjata Papua Merdeka. 

“Bukan operasi militer sebagaimana yang dilakukan oleh rekan-rekan TNI,” begitu ujar AKBP Bayu.

Pun sampai saat ini, kata AKBP Bayu, otoritas tertinggi di Mabes Polri, yakni Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo, belum juga memutuskan untuk mengikuti langkah Panglima TNI dalam pengubahan istilah KKB menjadi OPM.

“Sampai dengan hari ini, belum ada keputusan dari Kapolri untuk merubah nomenklatur KKB menjadi OPM,” kata AKBP Bayu.

“Oleh karena itu, kami dari Satgas Operasi Damai Cartenz 2024 akan tetap mempublikasikan nomenklatur KKB dalam setiap pemberitaan kami,” begitu sambung AKBP Bayu. 

AKBP Bayu, yang selama ini menjadi perantara informasi dan penyampaian misi Operasi Damai Cartenz kepada wartawan, pun mengaku sempat diomeli oleh Asisten Kapolri, gara-gara perubahan sebutan KKB menjadi OPM di pemberitaan-pemberitaan nasional tentang konflik bersenjata di Papua. “Saya mendapat teguran. Saya membuat narasi tentang keberhasilan dalam pemberantasan KKB. Namun rekan-rekan merubahnya menjadi OPM. “Mohon rekan-rekan media, memahami hal itu, apabila kami mempublikasikan narasi KKB, jangan diubah menjadi OPM,” ujar AKBP Bayu.


 

Direktur Eksekutif Amnesty Internasional Indonesia, Usman Hamid mengungkapkan, sebelum mengumumkan pengembalian nama OPM, Rabu (10/4/2024), perintah pengubahan nomenklatur itu sudah terbit melalui Surat Telegram (ST) Panglima TNI Jenderal Agus Subiyanto pada 5 April 2024. Dalam ST tersebut, kata Usman, berisikan empat hal yang menjadi pertimbangan penggunaan kembali istilah OPM itu.

“Pertama, merujuk pada perkembangan situasi aksi bersenjata di wilayah Papua yang saat ini meningkat,” kata Usman, menjelaskan ST Panglima TNI tersebut.

Kedua, kata Usman, merujuk pada pertimbangan staf dan pemimpin di TNI. Ketiga, kata Usman, perihal adanya latar belakang rapat koordinasi Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan pada 29 April 2021 lalu.

“Dalam rakor dengan tersebut, membahas tentang penyebutan terhadap organisasi, dan orang-orang Papua yang melakukan tindakan teror dan kekerasan dengan sebutan Kelompok Kriminal Bersenjata, atau Kelompok Separatis Teroris,” kata Usman.

Keempat, dalam ST Panglima TNI tersebut, disebutkan pula dasar pertimbangan pengembalian istilah OPM tersebut. “Panglima TNI dalam ST-nya mengatakan, setelah mempertimbangkan adanya perbedaan penyebutan nomenklatur antara pemerintah, kemudian legislatif, kemudian TNI, dan Polri, maka untuk saat ini, TNI mengembalikan penyebutan yang semula KKB, atau KST, menjadi Organisasi Papua Merdeka (OPM) sampai dengan adanya perubahan,” sambung Usman.

Dalam penutup ST Panglima TNI tersebut, kata Usman, disertakan pula kepada seluruh jajaran, perwira, petinggi, dan pemegang komando tinggi di semua divisi, dan satuan tugas TNI untuk melaksanakan. “Di sini dikatakan, perintah untuk dilaksanakan,” sambung Usman.

Usman mengatakan, isi ST Panglima TNI tersebut masih menyimpan pertanyaan tentang apa latar belakang, dan alasan pengembalian istilah OPM tersebut. “Tentu kita masih membutuhkan penjelasan dari Panglima TNI, apa sebenarnya saran-saran, dan pertimbangan dari staf pimpinan TNI. Kita juga masih membutuhkan penjelasan dari Menko Polhukam (2021) tentang apa sebenarnya rakor Menko Polhukam pada 29 April 2021 yang dijadikan pertimbangan dalam ST Panglima TNI (April 2024) itu,” ujar Usman.

Namun, Usman melacak sendiri tentang dugaan yang melatarbelakangi pengembalian istilah OPM tersebut. Menurut dia, mengacu pada rakor Menko Polhukam pada 29 April 2021, gelaran tersebut membahas sejumlah permasalahan yang ada terkait dengan Papua.

“Bulan April (2021) itu, kalau tidak salah ada penembakan terhadap Kepala Badan Intelijen Daerah di Papua. Dan setelah itu, sudah muncul wacana untuk menyebut kelompok prokemerdekaan Papua, kelompok bersenjata di Papua sebagai kelompok teroris. Karena tindakan itu (penembakan Kabinda Papua) menurut beberapa pejabat pemerintah, dipandang layak untuk disebut sebagai teroris,” ujar Usman.

Salah-satu pejabat pemerintah Indonesia yang menilai kelompok bersenjata Papua Merdeka itu dilabeli teroris, adalah Dubes Indonesia di Jerman. Usman tak menyebutkan nama si dubes. Akan tetapi, kata Usman, dubes menyarankan kepada Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) untuk mendaftarkan kelompok bersenjata OPM ke dalam daftar organisasi terorisme di Uni Eropa (UE), atau di PBB.

“Dubes Indonesia di Jerman menggunakan istilah OPM. Dan dari dubes kepada menlu tersebut, dibahas di rakor Menko Polhukam,” kata Usman.

Dari pembahasan di Kemenko Polhukam tersebut, kata Usman, berujung pada pengumuman oleh Menko Polhukam Mahfud MD pada saat itu.

“Dalam pengumuman Mahfud MD sebagai Menko Polhukam pada saat itu,  bahwa pemerintah Indonesia mendaftarkan KKB sebagai organisasi teroris,” ujar Usman.

Akan tetapi, kata Usman, pengumuman yang disampaikan oleh Mahfud MD, dengan langkah yang diusulkan oleh dubes di Jerman ketika itu berbeda istilah. Mahfud mengumumkan KKB. Sedangkan dubes di Jerman dengan rencana mendaftarkan OPM.

“Ada perbedaan istilah di situ. Dalam surat resmi dubes di Jerman, kepada pemerintah Indonesia menggunakan istilah OPM. Tetapi yang diumumkan oleh Mahfud adalah istilah KKB. Pertanyaannya adalah, apakah ada di Papua organisasi yang bernama KKB? Tidak ada,” ujar Usman.


 

Organisasi perlawanan yang selama ini ada, dan eksis di Papua, adalah TPNPB-OPM, dan ULMWP (United Liberation Movement for West Papua), KNPB (Komite Nasional Papua Barat). Pun ada juga West Papua Army. “Karena itu kebijakan pemerintah Indonesia keliru mendaftarkan KKB sebagai organisasi teroris. Dan itu malah menimbulkan kebingungan di kalangan pejabat pemerintah sendiri, dan juga pelaksana di lapangan,” ujar Usman.

Pada Desember 2021, kata Usman melanjutkan, pemerintah Indonesia, pun mendapatkan surat resmi atas tiga pelaporan khusus PBB. Yaitu terkait  pembunuhan di luar prosedur hukum di Papua, pelaporan khusus mengenai hak-hak masyarakat adat di Papua, dan pelaporan khusus untuk pengungsi internal.

Pada April 2023, Usman mengingat ada peristiwa kontak tembak antara kelompok bersenjata prokemerdekaan Papua dengan satuan TNI dari Kopassus, dan Kostrad. Dalam kejadian tersebut, lebih dari enam prajurit dari korps elite baret merah dan baret hijau diketahui gugur.

Peristiwa yang menurut Usman, tak diduga-duga oleh internal TNI melihat reputasi Kopassus, dan Kostrad. Atas peristiwa tersebut, Panglima TNI Laksamana Yudo Margono saat itu mengeluarkan perintah ‘Siaga Tempur’. Akan tetapi status siaga tempur tersebut, juga menimbulkan kebingungan bagi prajurit-prajurit lapangan yang ditugaskan di Papua.

“Karena istilah Siaga Tempur ini, istilah yang tidak dikenal oleh Angkatan Darat (yang mendominasi situasi keamanan di Papua). Dia (status Siaga Tempur) hanya dikenal dalam latihan-latihan di Angkatan Laut. Dan kebetulan Panglima TNI (ketika itu) dari Angkatan Laut,” sambung Usman.

Menurut Usman, dari rangkaian waktu, upaya TNI untuk mengembalikan istilah OPM dari KKB, atau KST tak lepas dari kebijakan yang didasari tanpa adanya pengkajian dan telaah tentang apa yang semestinya dilakukan dalam pemecahan akar permasalahan di Papua.

“Yang ingin saya katakan adalah, bahwa banyak kebijakan-kebijakan yang muncul itu, lebih bersifat reaktif, reaksioner yang tidak didasari pada akar permasalahan konflik bersenjata di Papua. Termasuk juga dalam hal pengembalian istilah KKB atau KST menjadi OPM ini,” ujar Usman.

Pun Usman menjelaskan, pengembalian istilah OPM dari KKB atau KST oleh Panglima TNI saat ini, masih cacat hukum karena sejatinya Panglima TNI sejatinya tak berwenang mengambil kebijakan sendiri atas persoalan yang menyangkut perihal situasi keamanan, maupun pertahanan. 

“Yang berwenang mengambil kebijakan adalah pemerintah dan DPR. Jadi Panglima, tidak bisa mengambil kebijakan sendiri, dan menjalankan sendiri kebijakannya itu. Karena ia, bukan pembuat kebijakan. Dia pelaksana kebijakan di sektor pertahanan negara,” ujar Usman.

Lalu, menurut Usman, apa yang menjadi dampak negatif, maupun positif dalam penggunaan istilah OPM versi TNI, dan KKB yang masih dipertahankan oleh Polri? Menurut Usman, istilah OPM sudah beranjak sejak 1960-an.

Usman mengatakan, istilah tersebut pertama kali muncul di dalam proses hukum di kejaksaan terhadap kebijakan ABRI yang ketika itu menangkapi orang-orang Papua lantaran dicap sebagai pembangkang. “ABRI ketika itu menyebut kelompok-kelompok yang membangkang di Papua ini dengan sebutan OPM,” ujar Usman.

Ingatan atas trauma masa lalu dengan cap pembangkang dan OPM tersebut, yang membekas bagi kalangan, dan tokoh-tokoh di Papua hingga kini. 

“Ini yang disebut oleh banyak kalangan lokal, tokoh-tokoh adat, tokoh-tokoh gereja yang menimbulkan semacam trauma, menimbulkan semacam ingatan luka, penderitaan yang dulu dituduh sebagai OPM dan pembangkang dalam setiap memprotes ketidakadilan, memprotes perampasan lahan, memprotes penambangan, memprotes perambahan hak ulayat,” kata Usman.

Akan tetapi label OPM oleh ABRI untuk proses hukum terhadap para pembangkang itu, terkonsolidasi oleh para pelaku ‘pembangkangan’ itu sendiri dengan melabeli diri sebagai OPM. Padahal, mulanya, kata Usman, istilah yang banyak mereka gunakan adalah Front Papua National. Beberapa tokohnya, kata dia, berada hidup, dan sampai wafat di Belanda.

“Kalau dilihat dari sisi yang terakhir itu (riwayat) peralihan atau pengembalia istilah OPM dari KKB dan KST Bersenjata itu, justru bisa positif. Karena itu mengembalikan istilah yang sebenarnya juga digunakan sendiri oleh tokoh-tokoh, dan pelakunya di Papua,” ujar Usman.

Pun kata Usman, pengembalian istilah OPM dari KKB, atau KST tersebut, seperti membuang label kriminal, dan teroris terhadap kelompok ataupun orang-orang yang bermaksud memperjuangkan haknya untuk kemerdekaan.

“Kenapa? Karena istilah KKB seperti mencap perjuangan kemerdekaan orang Papua, atau sebagian orang Papua, sebagai perjuangan yang tidak lebih dari tindakan kriminal,” kata Usman.

“Sebaliknya disisi lain, penggunaan istilah separatis, teroris atau kelompok teroris, juga masih menganggap orang Papua sebagai orang-orang yang melakukan kejahatan. Artinya perjuangan kemerdekaan itu tidak diakui. Perjuangan politik itu tidak diakui.  Yang ada adalah, mereka ini kriminal, mereka ini teroris, mereka ini separatis. Dan itu menyulitkan pemerintah Indonesia di dalam komunikasinya di PBB, di mana istilah KKB, kelompok separatis bersenjata, kelompok teroris bersenjata itu tidak digunakan,” sambung Usman.

Namun begitu kata Usman, pengembalian istilah KKB menjadi OPM tersebut tetap harus dipertanyakan kelanjutannya. Karena menurut dia, jika pengembalian istilah OPM oleh Panglima TNI tersebut bertujuan untuk lebih meningkatkan intensitas pengerahan militer di Papua, maka langkah tersebut wajib untuk ditolak.

Sebaliknya, jika pengembalian istilah KKB atau KST menjadi OPM tersebut dilakukan untuk menanggalkan cap separatis, cap teroris, atau cap kriminal terhadap kelompok-kelompok yang memperjuangkan hak dan kemerdekaannya, langkah tersebut diharapkan menjadi pintu dialogis yang baru untuk penuntasan konflik-konflik di Papua.

 

KELAPARAN BERULANG DI PAPUA - (Republika)

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler