Benturan dengan Salafi, Apakah Muhammadiyah Anti Seni dan Kesenian Seperti Salafi?
Muhammadiyah memberikan panduan kesenian yang diperbolehkan
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Pada tulisan sebelumnya telah dijelaskan pembagian kebudayaan menurut Islam dalam penjelasan Muhammadiyah. Melihat kebudayaan yang ada dan berkembang di dalam masyarakat, maka kebudayaan bisa diklasifikasikan menjadi tiga kategori.
Pertama, kebudayaan yang diakui syariat. Kedua, kebudayaan yang pada mulanya bertentangan dengan syariat, lalu diperbaiki sehingga sesuai dengannya. Ketiga, kebudayaan yang bertentangan dengan syariat.
Pada tulisan bagian kedua ini diterangkan mengenai "Karakteristik Kebudayaan Dalam Islam." Sebagaimana dilansir dari buku Tanfidz Keputusan Musyawarah Nasional Tarjih ke-27 di Malang, Jawa Timur pada 1 - 4 April 2010. Diterbitkan oleh Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Dalam syariat ada kaidah yang berbunyi:
"الأَصْلُ فِي الْأَشْيَاءِ الإِبَاحَةُ حَتَّى يَدُلُّ الدَّلِيلُ عَلَى التَّحْرِيمِ
Artinya, "Hukum asal segala sesuatu itu adalah boleh sampai ada dalil yang mengharamkan."
Kaidah ini juga berlaku terhadap kebudayaan. Dalam masalah kebudayaan yang merupakan hasil karya dan ciptaan manusia, Islam memberi banyak kelonggaran dan kesempatan kepada manusia untuk berkreasi.
Sebuah kebudayaan barulah akan dilarang dalam Islam jika nanti ada dalil yang melandasi larangan tersebut. Tapi jika tidak ada dalil yang melarangnya, maka kebudayaan apapun dibenarkan.
Dengan demikian, dari kaidah dan pembagian kebudayaan (pada tulisan sebelumnya) dapat diketengahkan di sini karakteristik kebudayaan yang diakui dan sesuai dengan syariat Islam. Karakteristik tersebut antara lain:
Pertama, sesuai dengan nilai-nilai Islam dan tidak bertentangan dengan Alquran dan Sunnah.
Kedua, dapat meningkatkan keimanan dan tidak mengandung unsur kemusyrikan, bidah, khurafat dan takhayul.
Ketiga, menumbuhkan kebersihan jiwa dan kemaslahatan serta tidak mengandung unsur kezaliman dan kerusakan.
Keempat, menghasilkan kebajikan dan menambahkan ingat kepada Allah SWT serta tidak mengandung unsur maksiat dan melalaikan.
Kelima, membuat pencerahan peradaban dan tidak menyebabkan perpecahan, kemunduran, pemborosan dan hal-hal negatif lainnya.
Kesenian
Pandangan Islam terhadap kesenian tidak berbeda dengan pandangannya terhadap kebudayaan. Ini karena sebagaimana disebutkan di atas kesenian itu adalah bagian dari kebudayaan yang merupakan hasil karya dan daya cipta manusia.
Kesenian merupakan ekspresi jiwa manusia yang mengandung dan mengungkapkan keindahan. Ia lahir dari sisi terdalam manusia yang mendorongnya untuk mengekspresikan segala sesuatu yang indah, apapun jenis keindahan itu. Dorongan tersebut merupakan fitrah yang dianugerahkan Allah kepada hamba- hamba-Nya.
Dengan demikian, merupakan suatu hal yang mustahil, jika Allah SWT yang menganugerahkan kepada manusia potensi untuk menikmati dan mengekspresikan keindahan, kemudian Allah SWT melarangnya. Bukankah Islam adalah agama fitrah?
Bukankah segala yang bertentangan dengan fitrah ditolaknya, dan yang mendukung kesuciannya ditopangnya?
Adapun larangan-larangan Islam terhadap kesenian tertentu seperti seni patung, seni lukis yang porno, seni tari yang menampakkan aurat dan lainnya, larangan-larangan tersebut ada illat atau sebabnya.
Jika sebab tersebut tidak ada, maka tidakْ ada pula larangannya, sebagaimana bunyi kaidah usul fikih yang artinya, "Hukum itu berputar bersama illat/ sebab dalam keadaan ada dan tidak ada."
Maksudnya, jika illat atau sebab itu ada, maka hukumnya juga ada. Sebaliknya, jika sebabnya tidak ada maka demikian pula hukumnya tidak ada.
Sebagai contoh, membuat patung pada zaman dahulu itu hukumnya haram. Ini karena patung atau berhala itu dijadikan sesembahan oleh orang-orang pada waktu itu.
Namun sekarang ini, ada orang membuat patung bukan untuk disembah, tapi untuk dijadikan alat pendidikan, hiasan dan lainnya, maka apakah hukumnya juga haram? Tentu tidak, karena hukum larangan itu berputar pada illat/ sebabnya. Oleh karena illat-nya (yaitu patung untuk disembah) tidak ada, maka hukumnya (larangannya) juga tidak ada.
Sebagai bukti, Alquran Surat Al-Anbiya (21) Ayat 51-58 secara tegas dan dengan bahasa yang sangat jelas berbicara tentang patung.
Dalam ayat-ayat ini diuraikan tentang patung-patung yang disembah ayah Nabi Ibrahim dan kaumnya. Sikap Alquran terhadap patung-patung itu, bukan sekedar menolaknya, tetapi merestui penghancurannya. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
فَجَعَلَهُمْ جُذٰذًا اِلَّا كَبِيْرًا لَّهُمْ لَعَلَّهُمْ اِلَيْهِ يَرْجِعُوْنَ
“Maka Ibrahim menjadikan berhala-berhala itu hancur berpotong-potong, kecuali yang terbesar (induk) dari patung-patung yang lain, agar mereka kembali (untuk bertanya) kepadanya.” (QS Al-Anbiya ayat 58)
Dalam ayat di atas diterangkan bahwa Nabi Ibrahim menghancurkan semua berhala kecuali satu yang terbesar. Beliau membiarkan dan tidak menghancurkannya, karena ketika itu berhala tersebut diharapkan dapat berperan sesuai dengan ajaran tauhid.
Melalui berhala itulah Nabi Ibrahim membuktikan kepada mereka bahwa berhala betapapun besar dan indahnya tidak wajar untuk disembah, karena tidak dapat berbuat apa-apa. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
قَالَ بَلْ فَعَلَهٗ كَبِيْرُهُمْ هٰذَا فَسْـَٔلُوْهُمْ اِنْ كَانُوْا يَنْطِقُوْنَ فَرَجَعُوْٓا اِلٰٓى اَنْفُسِهِمْ فَقَالُوْٓا اِنَّكُمْ اَنْتُمُ الظّٰلِمُوْنَ ۙ
“Sebenarnya patung yang besar inilah yang melakukannya (penghancuran berhala-berhala itu). Maka tanyakanlah kepada mereka jika mereka dapat berbicara. Maka mereka kembali kepada kesadaran diri mereka, lalu mereka berkata, Sesungguhnya kami sekalian adalah orang-orang yang menganiaya (diri sendiri). (QS Al-Anbiya Ayat 63-64)
Jadi dengan demikian, Nabi Ibrahim Alahissalam tidak menghancurkan berhala yang terbesar pada saat berhala itu difungsikan untuk satu tujuan yang benar. Jika demikian, yang dipersoalkan bukan berhalanya, tetapi sikap terhadap berhala serta peranan yang diharapkan darinya.