Berapa Besar Pahala Memberi Utang? Begini Penjelasannya
Memberi utang merupakan perbuatan mulia.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sedekah adalah amalan yang sangat dianjurkan dalam ajaran Islam. Seseorang yang memberi sedekah harta, manfaat hartanya bisa dirasakan oleh orang yang membutuhkan dan tidak terlalu membutuhkan. Akan tetapi, orang yang memberi utang sudah pasti hartanya dipinjamkan kepada orang yang sangat membutuhkan.
Berikut ini penjelasan Imam Al Ghazali dalam kitab Ihya Ulumuddin terkait keutamaan bagi orang yang memberi utang atau meminjamkan hartanya kepada orang yang membutuhkan bantuan.
Nabi Muhammad SAW menyebutkan tentang seorang laki-laki yang suka melakukan maksiat dan dosa. Ketika laki-laki itu dihadirkan di Hari Penghitungan amal, maka tidak satu kebaikan pun ada pada dirinya.
Lalu laki-laki itu ditanya, "Pernahkah engkau melakukan satu kebaikan?" Jawabnya, "Demi keagungan dan kemuliaan-Mu ya Allah, aku tidak memiliki amal yang bisa aku banggakan di hadapan-Mu. Akan tetapi, aku gemar memberi utang (pinjaman) kepada orang-orang miskin dalam perniagaan yang aku jalani, dan aku katakan kepada para penagih piutangku, 'Beri maaf dan tangguhkanlah utang itu kepada orang-orang miskin yang belum sanggup membayar, dan maafkan serta bebaskanlah utang orang-orang miskin yang sungguh tidak sanggup lagi membayarnya'."
Kemudian Allah SWT berfirman, "Aku lebih berhak dan Maha Mengetahui daripada engkau untuk melakukan semua itu." Lalu Allah memudahkan perhitungannya dan mengampuni seluruh dosanya, serta memasukkannya ke dalam surga-Nya yang dinaungi kenikmatan serta keridhaan dari sisi-Nya." (Diriwayatkan Imam Muslim dari hadits Abu Mas'ud Radhiyallahu anhu)
Dalam kitab Ihya Ulumuddin dijelaskan bahwa semua itu disebabkan sedekah tidak selalu jatuh ke tangan orang-orang miskin yang sangat membutuhkan. Akan tetapi, terkadang malah disalurkan kepada mereka yang kurang membutuhkan. Sedangkan meminjamkan sesuatu jelas sekali arahnya akan selalu kepada mereka yang sangat membutuhkannya.
Termasuk utang-piutang juga adalah jika seseorang menjual suatu barang tanpa ada pembayaran langsung pada saat transaksi dilakukan.
Pernah diriwayatkan bahwa Imam al-Hasan al-Bashri Rahimahullah menjual seekor keledai kepada seseorang seharga 400 Dirham dengan cara kredit.
Pada saat jatuh tempo pembayaran, si pembeli (orang yang berutang) berkata kepada al-Hasan, "Wahai Abu Sa'id (al-Hasan al-Bashri), maafkanlah karena aku belum bisa membayar sepenuhnya dari utangku kepadamu."
Al-Hasan al-Bashri menjawab, "Aku memaafkanmu, dan aku kurangi utangmu 100 Dirham."
Lalu si pembeli berkata, "Engkau telah berbuat baik kepadaku dengan memberiku pinjaman, wahai Abu Sa'id."
Lalu al-Hasan al-Bashri menyambung, "Aku bebaskan lagi utangmu 100 Dirham."
Akhirnya al-Hasan al-Bashri hanya menerima pembayaran utang sebesar 200 Dirham. Karenanya, si pembeli berkata, "Bukankah harga keledai itu jatuh menjadi setengahnya?"
Al-Hasan al-Bashri menjawab, "Beginilah seharusnya kita berbuat baik kepada seseorang dalam urusan perniagaan, terutama kepada orang-orang yang belum mampu membayarkan pinjamannya."
Jadi, sikap ihsan dalam berniaga adalah memaafkan kepada yang belum bisa membayar, dan atau mengurangi sebagian dari utangnya. Dalam sebuah hadits disebutkan, "Ambillah hakmu dengan memaafkan pembayaran utang orang yang berutang, baik itu dengan cara menganggap lunas seluruhnya maupun sebagiannya saja. Sebab, Allah SWT akan memudahkan hisab orang yang berbuat baik dalam berniaga." (Diriwayatkan Imam Ibnu Majah dari hadits Abu Hurairah Radhiyallahu anhu)