Salafi Bahayakan Negara Ancam Persatuan Umat, akankah Dilarang Seperti Malaysia?

Keberadaan salafi di suatu negara kerap bahayakan negara

Antara/Retno Esnir
Ilustrasi. Keberadaan salafi di suatu negara kerap bahayakan negara
Rep: Fuji E Permana, Muhyiddin Red: Nashih Nashrullah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Fenomena kelompok yang mengaku sebagai salafi sedang mencuat kembali. Berbeda dengan Indonesia, Malaysia lebih terlebih dahulu melarang eksistensi kelompok ini. Malaysia bahkan berlaku tegas dengan menangkap para pengusung ‘aliran’ salafi di negeri jiran itu.  

Baca Juga


Menanggapi fenomena tersebut, Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), KH Ahmad Fahrur Rozi yang akrab disapa Gus Fahrur mengingatkan masyarakat agar berhati-hati karena ada kelompok salafi yang sangat berbahaya.

Gus Fahrur mengatakan, kaum salafi diidentikkan kepada sekelompok umat Islam yang kaku dan rigid dalam memahami teks-teks keagamaan. Mereka mengusung slogan kembali ke Alquran dan hadist, kemudian mereka memahaminya secara tekstual, tanpa memandang kearifan budaya masyarakat.

"Mereka (kelompok salafi) menjadi terpecah dalam tiga kelompok yaitu salafi murni, salafi politis dan salafi jihadis, ini yang terakhir (salafi jihadis) paling berbahaya dan harus diwaspadai oleh umat Islam Indonesia," kata Gus Fahrur kepada Republika.co.id, Selasa (14/5/2024).

Gus Fahrur mengatakan, salafi jihadis memiliki lima doktrin dan praktik. Yaitu tauhid, akidah, takfir, al wala wal bara, dan jihad. Mereka ini akan memerangi siapa saja yang tidak sepaham dengan mereka. Bahkan jihadis modern memerangi pemerintah yang tidak menerapkan syariah Islam.

"Keberadaan kelompok salafi di berbagai negara seringkali menjadi sumber perpecahan umat Islam, karena mereka (kelompok salafi) menganggap kelompok mereka sendiri yang paling benar dan meyakini semua pendapat yang berbeda adalah salah," ujar Gus Fahrur.

Kepada masyarakat, Gus Fahrur mengingatkan, hendaknya umat Islam berhati-hati dalam memilih guru agar tidak salah. Sebaiknya umat Islam ikuti madzhab yang dianut oleh mayoritas Muslim Indonesia, yaitu ajaran Islam ahlussunnah wal jama'ah saja, agar tidak terjadi kesalahpahaman dan perpecahan sesama umat Islam Indonesia.

Sebelumnya, Pakar Sosiologi agama dari Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta, Abd Faiz Aziz mengatakan, kelompok NU dan Muhammadiyah adalah kelompok keberagamaan yang mapan di Indonesia. Dua organisasi besar ini telah mempunyai banyak masjid dan lembaga pendidikan umat.

"Namun belakangan muncul kelompok keberagamaan yang sering disebut dengan salafi masuk pada masjid-masjid NU dan Muhammadiyah dengan tujuan mengembalikan praktik keberagamaan yang benar menurut mereka, kaffah, sesuai dengan praktik keislaman zaman Nabi dan Salafus Shalih," kata Faiz. 

Menurut Faiz, kaum salafi tersebut menyasar masjid-masjid NU dan Muhammadiyah, karena dua organisasi keislaman ini menjadi penguasa madzhab keberislaman di Indonesia. 

"Kelompok Salafi ini memiliki semangat dakwah dan mencoba memberikan alternatif penjelasan dari keislaman yang dipraktikkan NU dan Muhammadiyah. Pelan-pelan mereka merebut ruang masjid meski belakangan NU dan Muhammadiyah memiliki ragam reaksi atas munculnya kelompok ini," kata Faiz. 

Dosen Studi Agama-Agama, Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, Ahmad Salehudin mengungkapkan bahaya seseorang memaknai agama secara tekstual atau hitam dan putih saja seperti kaum Salafi dan Wahabi. 

Menurut Salehudin mereka yang menganuh pemahaman tersebut cenderung tidak toleran dan menyalahkan kelompok yang mempunyai cara beragama berbeda.

Di samping itu, kata Salehudin, mereka akan cenderung bermasalah dengan keindonesiaan yang berazaskan Pancasila. Dan dampak lainnya adalah mereka akan membawa Islam kepada kejumudan serta anti kemajuan.

"Bagi Indonesia yang multi agama (dan Multi keberislaman) dan multi budaya, keberislaman yang dibutuhkan adalah Islam yang moderat dan menghargai perbedaan. 

Keberislaman yang tekstualis hitam putih akan cenderung menolak keragaman," ujar Salehudin saat dihubungi Republika.co.id, Selasa (14/5/2024).

Isu Salafi dalam beberapa hari terakhir marak menjadi pembahasan umat Islam Indonesia, khususnya Muhammadiyah. Salah satu Ormas Islam terbesar di Indonesia ini merasa kaum Salafi telah masuk ke Ormas ini bahkan mengambil alih masjid bernafaskan Muhammadiyah.

Salehudin menilai banyaknya masjid-masjid Muhammadiyah yang dikuasai kelompok Salafi menunjukkan adanya penerimaan dari akar rumput Muhammadiyah terhadap keberislaman ala Wahabi-Salafi. Selain itu, ini juga seolah-olah membuktikan kedekatan Muhammadiyah dengan salafi-wahabi. 

"Momentum ini dapat menjadi titik pijak Muhammadiyah untuk meneguhkan jati dirinya," kata Salehudin.

Menurut Salehudin menangani persoalan tersebut tentu organisasi mempunyai cara sendiri entah itu dilakukan secara tegas atau pelan-pelan. Hanya saja, Salehudin mempertanyakan apakah ketika kembali dikuasai mampu mengurus masjid tersebut.

Lebih lanjut, Salehudin menambahkan bahwa masalah ini sejatinya adalah momen intropeksi bagi organisasi. Bahkan tidak hanya Muhammadiyah namun juga Nahdlatul Ulama (NU) sebagai Ormas Islam terbesar di Indonesia.

"Ini menjadi kritik bagi Muhammadiyah (dan juga NU) untuk meningkatkan kepedulian kepada umatnya. Jangan terlalu sibuk untuk ngurus organisasinya, dan lupa kepada umatnya," tuturnya. 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler