Pendapat dari Akademisi Hingga UAS Atas Polemik Salafi 'Kuasai' Masjid NU dan Muhammadiyah
Isu ini diyakini muncul ke permukaan buntut 'serangan' terhadap Ustadz Adi Hidayat.
REPUBLIKA.CO.ID, oleh Muhyiddin, Fuji Eka Permana
Belakangan isu terkait kaum Salafi 'menguasai' masjid-masjid milik ormas Islam lain seperti Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah menjadi polemik khususnya di media sosial. Isu ini diyakini warganet muncul ke permukaan buntut 'serangan' terhadap Ustadz Adi Hidayat yang pernah membahas kajian musik dalam Islam.
Menanggapi fenomena ini, pakar sosiologi agama dari Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta, Abd Faiz Aziz menjelaskan, fenomena itu merupakan bagian dari dinamika perjumapaan antar kelompok di internal satu agama.
"Rebutan mimbar, rebutan mik, rebutan jamaah di masjid, ingin menguasai masjid, bikin liqo atau kelompok kajian di masjid adalah bagian dari upaya perebutan ruang ekspresi keberagamaan kelompok di internal agama, dan itu terjadi di mana-mana," ujar Faiz saat dihubungi Republika, Ahad (12/5/2024).
Dia menuturkan, kelompok NU dan Muhamadiyah adalah kelompok keberagamaan yang mapan di Indonesia. Menurut dia, dua organisasi besar ini telah mempunyai banyak masjid dan lembaga pendidikan umat.
"Namun belakangan muncul kelompok keberagamaan yang sering disebut dengan Salafi masuk pada masjid-masjid NU dam MD dengan tujuan mengembalikan praktik keberagamaan yang benar menurut mereka, kaffah, sesuai dengan praktik keislaman zaman nabi dan salafusaleh," ucap Faiz.
Menurut Faiz, kaum Salafi tersebut tentu menyasar masjid-masjid NU dan Muhammadiyah, karena dua organisasi keislaman ini menjadi “penguasa” madzab keberislaman di Indonesia.
"Kelompok Salafi ini memiliki semangat dakwah dan mencoba meberikan altefnatif penjelasan dari keislaman yang dipraktikkan NU dan MD. Pelan-pelan mereka merebut ruang masjid meski belakangan NU dan MD memiliki ragam reaksi atas munculnya kelompok ini," kata Faiz.
Namun, menurut Faiz, perebutan masjid NU dan Muhammadiyah oleh kelompok Salafi tersebut justru harus menjadi kritik pada pengelola masjid NU dan Muhammadiyah untuk meningkatkan ruhud dakwah mereka dalam mengelola umat. "Penyakit kelompok yang mapan cenderung tenang dan santai, sementara kelompok kecil model Salafi agak menggebu-gebu dalam beragama, semangat juang hinggga kaderisasi mereka lakukan," jelas Faiz.
"Karena itu kalangan NU dan Muhammadiyah mesti lebih semangat lagi mengelola umat dan masjidnya sesuai dengan tradisi mereka masing-masing yang moderat," ucap Faiz, menambahkan.
Sementara itu, Sekretaris Jenderal DMI, Imam Addaruqutni menjelaskan, paham salafi-wahabi yang suka membid'ahkan, menyesatkan budaya tradisi-tradisi lokal, merupakan salah satu corak perspektif dalam Islam.
"Ya begitulah corak perspektif apresiasi umat Islam terhadap Islam itu sendiri," ujar Imam saat dihubungi Republika, Senin (13/5/2024).
Secara umum, Imam menyebut ada dua blok besar, yaitu Muslim rigid dan Muslim kreatif. Dia menjelaskan, Muslim rigid mengapresiasi Islam dengan mengklaim bahwa Islamnya paling sesuai dengan Alquran dan hadits, orisinil, dan terus mendakwahkan sejalan dengan klaimnya.
"Itu dibarengi juga dengan mudahnya membid'ahkan terhadap amalan yang tidak sejalan dengan apresiasi klaim keislaman mereka," ucap Imam.
Sedangkan Muslim kreatif, kata dia, justru Muslim berbid'ah bahkan perlu banyak bid'ah oleh karena katab bid'ah itu artinya kreatif dan Allah Sendiri adalah justru Maha bid'ah/Al-Badiy' (QS Baqarah ayat 117 dan QS Ali Imran ayat 101). Al-Badiy' atau Allah Maha bid'ah itu merupakan salah satu dari al-Asma' al-Husna, nama-nama utama 99 yang terkenal itu.
"Saya sendiri nggak bisa membayangkan seperti apa menjalankan Islam tanpa budaya itu jika semuanya secara kategoris dikatakan bahwa di luar yang dikatakan Islam atau hadits dihukumi sesat," kata Imam.
Dalam konsensus ulama, dikatakan bahwa Alquran dan Hadits itu mutanahiya (terbatas), sedangkan kehidupan manusia dan budayanya ghair mutanahìyah (tak terbatas). Artinya, bahwa kedua sumber Islam itu memang ada yang detail berkenaan dengan ketentuan hukum tertentu, misalnya, beberapa masalah krusial hukum waris, dan sebagainya.
"Belum lagi kalau disebut bahwa dari Allah dan Rasulullah itu lahir Syariah lalu bagaimana bisa dilaksanakan maka hal itu perlu pemikiran (bid'ah) oleh para ulama lalu lahirlah fikih (orang-orang menyebutnya sebagai hukum Islam). Dalam praktik bagaimana ketentuan Syariat dilaksanakan, baik Salafi maupun non-Salafi di kalangan umat Islam, secara tak terelakkan merujuk ke pemikiran bid'ah para ulama," jelas Imam.
Jadi, tambah dia, yang perlu ditegaskan bahwa secara teknis istilah atau lafadz bid'ah di kalangan ulama Islam terbagi dua, yaitu lafadz khash (lafadz khusus) dan lafadz 'aam (lafadz umum).
"Penerapan lafadz istilah bidah itu khusus untuk urusan yang ibadah saja, misalnya shalat, dan sebagainya. Tidak bisa diterapkan secara umum karena masalah budaya adalah masalah umum. Kalau secara umum maka bidah itu boleh bahkan dianjurkan sejauh tidak merusak kemanusiaan itu sendiri," kata Imam.
Ustadz Abdul Somad (UAS) juga menilai, kelompok Salafi kerap membid'ahkan orang yang berbeda pendapat dengan mereka. Ustadz Somad menjelaskan, salafi-wahabi tidak meyakini Qunut Shubuh dan basmalah jahr. Mereka juga tidak meyakini zikir dan doa bersama setelah sholat. Nahdlatul Ulama meyakini semua itu ada dalil-dalilnya, sebaliknya salafi-wahabi tidak meyakini dalil-dalil yang diyakini NU.
"Dalam beberapa hal, salafi-wahabi mirip dengan Muhammadiyah, mereka (salafi-wahabi) tidak pakai ushalli, basmalah sirr, tidak Qunut Shubuh, tidak zikir jahr bersama, tidak doa bersama setelah sholat, sehingga mereka (salafi-wahabi) lebih mudah masuk masjid Muhammadiyah daripada NU," kata Ustadz Somad kepada Republika, Selasa (14/5/2024).
Ihwal bagaimana Ustadz Somad melihat kelompok Salafi, menurutnya, kelompok salafi membid'ahkan orang yang berbeda pendapat dengan mereka. Kelompok Salafi juga memusyrikan orang yang bertawasul.
"Sholawat Badar dan Sholawat Nariyah itu tawassul, bagi mereka (kelompok salafi) yang mengamalkan Sholawat Badar dan Nariyah itu musyrik," jelas Ustadz Somad.
Ustadz Somad mengatakan, mereka (kelompok Salafi) mengkafirkan aqidah Asy'ari yang mentakwilkan ayat mutasyabihat.
Bagaimana sebaiknya masyarakat menyikapi fenomena kelompok Salafi, Ustadz Somad berpesan kepada umat agar belajar fiqih empat madzhab (mazhab Hanafi, Maliki, Syafi'i dan Hambali). Ustadz Somad menyampaikan, sudah menulis buku berjudul '99 Tanya Jawab Seputar Sholat' dan buku '37 Masalah Populer', serta buku-buku lainnya.
"Mengajari masyarakat dengan fiqih empat madzhab, masyarakat menjadi cerdas, tau banyak mazhab, tapi dalam pengamalan tetap mazhab Syafi'i," ujar Ustadz Somad.
Ustadz Somad juga berpesan kepada umat agar umat mengusahakan untuk mengaji dan membaca kitab dari Maghrib sampai Isya. Bisa membahas mengenai melafalkan niat, basmalah sirr, Qunut, zikir jahr, doa bersama dan lain sebagainya. Baca kitab-kitab, pengajarnya pakai power point agar bisa disederhanakan supaya mudah dimengerti, untuk mencerdaskan umat.
Hingga artikel ini diturunkan, Republika belum berhasil mendapatkan konfirmasi atau keterangan dari pihak atau kelompok yang selama ini mengakui sebagai kaum Salafi. Artikel akan segera diperbarui begitu konfirmasi didapatkan.