Human Trafficking: Krisis Kemanusiaan yang Membudaya

Modus perdagangan manusia kian marak di era saat ini.

retizen /Ahmad Idris Al-Hammad
.
Rep: Ahmad Idris Al-Hammad Red: Retizen
Ilustrasi modus perdagangan manusia di media sosial. (Sumber: Thinkstock/FangXiaNuo)

Akhir-akhir ini, fenomena human trafficking atau umum dikenal sebagai perdagangan manusia menjadi topik hangat yang menyelimuti keseharian masyarakat tanah air. Berbagai modus perdagangan manusia terus bermunculan dan memakan korban dengan jumlah yang tidak sedikit. Pada abad pertengahan fenomena perdagangan manusia mungkin sangat identik dengan perbudakan atau forced labour (kerja paksa), namun seiring berjalannya waktu di era saat ini perdagangan manusia dapat terjadi dalam bentuk apapun. Sindikat yang terlibat tindak kejahatan tersebut juga bervariasi dan tidak memandang usia, profesi, jenis kelamin, ataupun jabatan. Fakta tersebut terungkap melalui peristiwa yang terjadi belakangan ini dimana dua wanita di Cianjur-Jawa Barat berhasil ditetapkan sebagai tersangka atas dugaan perdagangan manusia dengan modus kawin kontrak, hingga guru besar dari perguruan tinggi di Jambi yang juga turut terjerat kasus serupa dengan modus magang ferienjob ke Jerman.


Sejatinya perdagangan manusia merupakan problem yang menjadi persoalan nasional sejak lama dan terus berlangsung hingga saat ini. Jumlah korban tindak kejahatan tersebut menjadi salah satu yang terbesar dan terus mengalami peningkatan di setiap tahun. Dalam laman resmi Badan Reserse Kriminal Polri (Bareskrim Polri), Kepala Unit Satuan Tugas Tindak Pidana Perdagangan Orang (Satgas TPPO), AKBP Aris Wibowo menyatakan, per 31 Desember 2023 diterima sebanyak 1.061 laporan terkait tindak pidana perdagangan orang dengan 1.343 orang ditetapkan sebagai tersangka dan jumlah korban terverifikasi mencapai 3.363 orang.

Modus Operandi dalam Menjalankan Aksi

Motif perilaku yang dilakukan tersangka dalam menjalankan tindak kejahatan ini adalah hal yang tidak mudah untuk diungkap. Umumnya, perdagangan manusia erat ditemukan pada tenaga kerja migran atau Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang sedang atau akan bekerja di luar negeri. Akan tetapi, dari beberapa studi kasus baru-baru ini dapat diketahui bahwa tindak kejahatan tersebut dapat menimpa para korban lewat cara lain yang berbeda dimana tidak pernah terlintas sebelumnya dalam pemikiran manusia.

Pertengahan bulan April yang lalu, Polres Cianjur-Jawa Barat berhasil mengamankan pelaku Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) dengan modus kawin kontrak, modus ini bukan lagi kali pertama diketahui dan berhasil kembali terungkap. Sebagian besar target adalah pelancong dari luar negeri seperti pria yang berasal dari India, Singapura, dan negara-negara di kawasan Timur Tengah. Melalui jaringan tempat-tempat strategis seperti halnya kawasan wisata para pelaku TPPO menawarkan wanita-wanita gadis kepada kumpulan pria belang yang merupakan wisatawan asing tersebut untuk dapat meraup keuntungan sebanyak-banyaknya. Setelah dilakukan kesepakatan, pelaku kemudian menyiapkan penghulu dan saksi palsu untuk melangsungkan pernikahan kontrak dan setelahnya mahar yang diberikan dalam pernikahan tersebut akan dibagi dua antara korban dan pelaku.

Skema berbeda pada perdagangan manusia dengan modus magang ferienjob ke Jerman yang terjadi pada awal bulan Maret silam. Motif ini lebih mengarah ke suatu program magang kreativitas dimana target sasarannya menimpa para mahasiswa. Dalih kegiatan yang mengatasnamakan program Magang Belajar Kampus Merdeka (MBKM), para mahasiswa yang menjadi korban dari modus ini mendaftarkan diri untuk mencoba peruntungan tersebut. Sayangnya alih-alih mendapatkan pengalaman berharga dan kesempatan magang yang sesuai dengan standar kompetensi, justru sesampainya di Jerman mereka ditempatkan sebagai pekerja kasar dan mendapatkan upah yang tidak sepadan.

Pihak Ketiga sebagai Faktor Utama Pemicu

Lolosnya fenomena kejahatan perdagangan manusia yang terus berangsur-angsur, tentu didukung oleh pengaruh hadirnya orang dalam. Dalam kondisi seperti ini, sangat absurd tindak kriminal dengan skala transnasional dapat terjadi jika tidak mendapatkan dukungan dan relasi yang luas dari berbagai pihak yang memiliki kekuasaan atau kewenangan tertentu. Dalam prosesnya, sindikat perdagangan manusia tidak dapat dipastikan selalu merekrut seseorang sebagai pihak perantara yang akan mendukung aktivitas mereka. Namun, tidak menutup kemungkinan pihak ketiga itu sendiri yang datang kepada pihak pertama. Kehadiran inilah yang sekaligus menjadi kunci penyebab utama yang memicu aksi kejahatan tersebut.

Perdagangan manusia dengan modus kawin kontrak adalah fenomena yang bisa kita analisis lebih dalam dari berbagai kacamata sudut pandang. Di satu sisi, mungkin tindakan tersebut bernilai kriminal bagi pihak yang menawarkan jasa. Akan tetapi, dalam sudut pandang lain dapat dinyatakan bahwa korban modus kawin kontrak itu sendiri pada dasarnya adalah pelaku yang asli. Dikatakan demikian, karena tidak akan terjadi kawin kontrak manakala tidak ada sebab yang melatarbelakangi. Adapun jikalau ada, pasti akan diadakan kerja sama antara berbagai pihak yang telah meratifikasi. Dari hubungan mitra kerja tersebut, kecil kemungkinan bila tidak mendatangkan keuntungan bagi kedua belah pihak yang bersangkutan.

Modus kawin kontrak hingga kini menjadi modus tindak perdagangan manusia yang masih bersifat semu. Pasalnya, antara pelaku dan korban sama-sama diuntungkan dengan mendapatkan hasil berupa uang ataupun barang dari pihak yang mendukung aktivitas tersebut. Jika demikian, korban tidak sepenuhnya dapat dikatakan korban dalam situasi seperti ini. Hal tersebut terjadi lantaran yang bersangkutan juga menerima dan menggunakan keuntungan yang diberikan secara sukarela, yang padahal sejak awal korban jelas-jelas telah mengetahui bahwa nantinya ia akan mendapatkan komisi jika melibatkan diri sebagai pihak yang berperan serta dalam kawin kontrak tersebut. Singkatnya, hal yang dialami bukan terjadi di luar kehendak mereka, tetapi murni karena faktor kesengajaan.

Berbeda akan kehadiran pihak ketiga dari studi kasus perdagangan manusia dengan modus magang ferienjob ke Jerman. Dalam situasi ini, pelaku yang juga merupakan seorang guru besar dari salah satu perguruan tinggi atau pihak dari perguruan tinggi yang bersangkutan itu sendiri dapat diindikasikan sebagai pihak ketiga. Hal ini dapat dinyatakan karena pihak-pihak yang bersangkutan memiliki pengaruh dan kewenangan tertentu yang menyangkut pada pengambilan keputusan termasuk dalam hal perizinan. Melihat para korban (mahasiswa) yang dengan mudah mendapatkan akses perizinan untuk melaksanakan program ilegal tersebut, seolah semua itu bagaikan alur yang telah direncanakan jauh-jauh hari secara matang oleh para pelaku. Terlebih menyangkut hal-hal yang berhubungan dengan proses administrasi, yang mana sangatlah rumit dan tentu membutuhkan jangka waktu yang panjang. Dari sini dapat disimpulkan, bahwa pihak ketiga memiliki andil besar secara langsung dalam menyukseskan program magang ferienjob berkedok perdagangan orang ke Jerman tersebut.

Modifikasi Kebijakan dan Pentingnya Self Awareness

Berbagai upaya telah dilakukan demi memerangi praktik human trafficking. Dimulai dari pihak pemerintah, NGO, organisasi internasional, hingga komunitas-komunitas kecil lainnya yang sama-sama memiliki dorongan kuat untuk memperjuangkan hak bagi para korban serta hukuman yang setimpal bagi para pelaku. Meskipun demikian, perdagangan manusia dalam realitanya melahirkan motif baru yang tidak pernah tebersit sebelumnya dalam pemikiran manusia. Hal ini memang tidak boleh disamaratakan dari penafsiran yang serupa, namun tidak sedikit pula bukti memperlihatkan bahwa fenomena yang sebelumnya merupakan krisis kemanusiaan kini telah dinormalisasi sebagai kasus yang memang disengaja untuk berlangsung terjadi dan telah berlaku normal di kehidupan sehari-hari.

Melihat kondisi ini, maka perlu dilakukan langkah penguatan semua komponen elemen di masyarakat demi menciptakan kawasan yang inklusif dan bebas dari tindak pidana perdagangan orang. Berbagai regulasi dan kebijakan juga perlu untuk dilakukan modifikasi, diantaranya dengan mempertimbangkan aspek-aspek lain seperti memberikan peringatan keras (red notice) dan sanksi hukuman seberat-beratnya bagi oknum-oknum tertentu yang terbukti secara sengaja dan sadar terlibat ataupun melibatkan diri dalam melakukan praktik kejahatan tersebut. Selain itu, yang menjadi poin utama disini masyarakat haruslah memiliki kesadaran diri. Karena dengan self awareness yang tertanam sejak dini pada diri masing-masing individu merupakan sebuah langkah konkret yang memiliki peranan besar bagi keberhasilan dalam penanganan kasus perdagangan manusia di masa mendatang.

sumber : https://retizen.id/posts/307405/human-trafficking-krisis-kemanusiaan-yang-membudaya
Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Disclaimer: Retizen bermakna Republika Netizen. Retizen adalah wadah bagi pembaca Republika.co.id untuk berkumpul dan berbagi informasi mengenai beragam hal. Republika melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda baik dalam dalam bentuk video, tulisan, maupun foto. Video, tulisan, dan foto yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim. Silakan kirimkan video, tulisan dan foto ke retizen@rol.republika.co.id.
Berita Terpopuler