Uang Kuliah di PTN Mahal, Lalu ke Mana 'Larinya' Anggaran Pendidikan Rp 665 Triliun?

Alokasi anggaran pendidikan di RI Rp 665,02 triliun atau 20 persen dari APBN 2024.

ANTARA/HO
Ratusan mahasiswa USU saat melakukan aksi demo ke biro rektor USU mempertanyakan kenaikan UKT.
Red: Andri Saubani

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Eva Rianti, Ronggo Astungkoro

Baca Juga


Biaya uang kuliah tunggal (UKT) di sejumlah perguruan tinggi negeri di Indonesia melambung tinggi dan menuai gelombang protes para mahasiswa. Menanggapi hal itu, Politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang merupakan anggota Komisi X DPR RI Fahmy Alaydroes menyoroti alokasi anggaran 20 persen dan mewanti-wanti agar anggaran itu tidak dialirkan ke hal-hal yang tidak jelas juntrungannya.

“Barangkali perlu kita telusuri dan evaluasi, 20 persen itu tinggi Rp 665 triliun, tetapi kita juga paham bahwa alokasi dana tersebut tersebar ke mana-mana, bahkan alokasi yang diduga dikaitkan dengan pendidikan menjadi sesuatu yang tidak jelas. Ini barangkali yang harus kita perjuangkan,” kata Fahmy dalam keterangannya, dikutip Senin (20/5/2024).

Diketahui, pemerintah mengalokasikan anggaran pendidikan sebesar Rp 665,02 triliun atau 20 persen dari total APBN 2024 sebanyak Rp 3.325,1 triliun. Alokasi anggaran itu sesuai dengan amanat UUD 1945 Pasal 31 ayat (4) dan UU Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.

“Secara teknis kami meminta Kemendikbudristek untuk merevisi terkait UKT, tapi menurut saya, saya mengajak semua mari perjuangkan agar biaya pendidikan minimal 20 persen ini benar-benar efektif untuk semata-mata pendidikan, bukan dicari-cari jalan yang terkait dengan pendidikan,” jelasnya.

Fahmy lalu mengkritisi, dari jumlah Rp 665 triliun, yang dikelola oleh Kemendikbudristek hanya sebanyak Rp 90 triliun. Antara lain untuk Ditjen Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi sekitar Rp 34 triliun atau hanya sekitar 1 persen saja dari jumlah APBN 2024.

“Lalu kalau dikaitkan dengan anggaran pendidikan yang 20 persen (Rp 665 triliun), sekitar 5 persen, padahal kita memerlukan lulusan sarjana yang lebih bermutu dan lebih banyak. Saya mengajak agar lebih strategis kita harus terus-menerus menyoroti kemana alokasi 20 persen dana pendidikan itu, jangan sampai menyebar tidak efektif,” tegasnya.

Fahmy menegaskan, Komisi X DPR RI bakal terus mengawal masalah biaya UKT tinggi yang saat ini tengah dikeluhkan oleh sebagian besar mahasiswa serta para wali mahasiswa ataupun calon mahasiswa. Dia pun memastikan bakal terus mendorong Kemendikbudristek agar segera melakukan revisi peraturan terkait yakni Permendikbudristek Nomor 2 Tahun 2024 tentang Standar Biaya Operasional Pendidikan Tinggi (SBOPT) pada PTN di Lingkungan Kemendikbudristek. 

Sebagai informasi, Mendikbudristek Nadiem Makarim pernah menerbit Permendikbudristek Nomor 2 Tahun 2024 tentang Standar Satuan Biaya Operasional Pendidikan Tinggi (SSBOPT) pada Perguruan Tinggi Negeri (PTN) di Lingkungan Kementerian Pendidikan Kebudayaan, Riset dan Teknologi. Tarif SSBOPT ditentukan oleh Mendikbudristek dengan pertimbangan capaian standar PTN, jenis program studi, dan indeks kemahalan wilayah.

Selain itu, peraturan turunan mengenai besaran SSBOPT diatur dalam Keputusan Mendikbudristek Nomor 54/P/2024. Komponen SSBOPT terdiri atas biaya langsung yang merupakan biaya operasional penyelenggaraan program studi dan biaya tidak langsung yang merupakan biaya operasional pengelolaan institusi.

Kemudian itu akan digunakan sebagai dasar kementerian untuk mengalokasikan anggaran dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk PTN dan tarif BKT untuk setiap program studi. 

Menurut anggota Komisi X DPR Andreas Hugo Pareira, Permendikbudristek Nomor 2 Tahun 2024 itulah pangkal masalah biaya pendidikan tinggi belakangan. Hugo meminta Kemendikbudristek untuk meninjau ulang peraturan tersebut karena telah membuat wajah pendidikan tinggi menjadi komersil.

“Menurut saya, (Permendikbud) itu rentan diinterpretasikan oleh perguruan tinggi sesuai dengan kemauan mereka gitu. Nah, satu poin yang berkaitan dalam salah satu pasal, bahwa biaya UKT ditetapkan usai mahasiswa diterima. Saya rasa ini rentan terjadi komersialisasi pendidikan,” ucap Hugo dalam keterangannya, Senin (20/5/2024).

Hugo melihat, regulasi tersebut mengakibatkan nilai Biaya Kuliah Tunggal (BKT), Uang Kuliah Tunggal (UKT), dan Iuran Pengembangan Institusi (IPI) naik fantastis. Hal tersebut berujung pada membebani sekaligus mempersulit mahasiswa untuk melanjutkan kuliah di perguruan tinggi.

Politikus PDI-Perjuangan itu pun setuju ata wacana evaluasi alokasi 20 persen dari APBN untuk sektor pendidikan. Hal itu terkait apakah penyalurannya sudah berkontribusi pada perbaikan kualitas pendidikan atau belum. Menurut dia, upaya ini krusial demi masa depan generasi bangsa.

 

 
Dana pendidikan yang dialokasikan sebesar 20 persen dari APBN selalu naik tiap tahun dari sisi nominal. Tetapi, biaya kuliah justru semakin mahal. - (Republika)

Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia (BEM SI) sebelumnya pun menilai, kenaikan UKT yang terjadi di banyak PTN adalah buntut dari Permendikbudristek Nomor 2 Tahun 2024. Di mana, aturan lain yang juga turut memengaruhi adalah Keputusan Mendikbudristek Nomor 54 Tahun 2024.

"Setelah kita kulik-kulik, dan ini jawaban dari pihak rektorat. Itu (UKT) mengacu pada Permendikbudristek Nomor 2 Tahun 2024 dilanjutkan Kepmendikbudristek Nomor 54 tahun 2024 yang mengatur tentang SSBOPT," ucap Koordinator Isu Perguruan Tinggi BEM SI Maulana Ihsanul Huda sebagaimana dikutip dari siaran Youtube Komisi X DPR RI, Jumat (17/5/2024).

Presiden BEM Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) itu menjelaskan, di Unsoed, pihaknya sudah melakukan berbagai upaya. Mulai dari aksi demonstrasi, audiensi berbicara langsung dengan pihak rektorat, tapi tak kunjung menemukan titik temu. Nilai UKT masih belum mengalami perubahan signifikan.

"Contoh di fakultas saya, hanya turun di golongan terbesar Rp 81 ribu (dari nilai sebelumnya Rp 14 juta). Itu betul-betul jadi keresahan kami. Ini bukan di Unsoed saja. Di Universitas Mataram, Universitas Bengkulu, Universitas Negeri Yogyakarta, UNS, Undip, Unes, UIN Jakarta, Unbraw juga sedang mengalami kenaikan," tutur dia.

Di Unsoed sendiri, kata dia, mahasiswa resah dengan angka kenaikan UKT yang mencapai 300-500 persen. Di Fakultas Peternakan, kampusnya, kenaikan terjadi dari yang sebelumnya Rp 2,7 juta melonjak jauh menjadi Rp 14 juta di tingkat yang paling tinggi. Sebab itu, mahasiswa marah.

"Maka kita hadirkan di tingkat nasional. Karena bukan Unsoed saja, tapi juga di banyak universitas. Maka kami BEM SI ke sini (DPR RI)," kata dia.

Dia menambahkan, di Unsoed, Peraturan Rektor Nomor 9 Tahun 2024 yang mengatur soal UKT masih terus berjalan. Di sisi lain, waktu registrasi online juga terus berjalan. Sebab itu, mahasiswa yang baru masuk kuliah benar-benar dikejar waktu. 

"Khususnya di Unsoed terdata lebih dari 100 orang masih merasa sangat tidak sanggup dengan besaran UKT. Itu salah satu rasa pedih kita sebagai kakak tingkatnya. Maka kami terus berjuang untuk adik-adik kita," jelas dia.

 

 


 

 

Sebelumnya, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) menyebutkan, tidak semua lulusan sekolah lanjut tingkat atas (SLTA) atau sekolah menengah kejuruan (SMK) wajib masuk ke perguruan tinggi. Sebab, perguruan tinggi termasuk ke dalam tertiary education atau edukasi tersier, bukan wajib belajar.

“Pendidikan tinggi ini adalah tersiery education. Jadi bukan wajib belajar. Artinya tidak seluruhnya lulusan SLTA, SMK itu wajib masuk perguruan tinggi. Ini sifatnya adalah pilihan. Siapa yang ingin mengembangkan diri masuk perguruan tinggi, ya itu sifatnya adalah pilihan, bukan wajib,” ucap Sekretaris Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset dan Teknologi Tjitjik Srie Tjahjandarie di Jakarta, Rabu (15/5/2024).

Tjitjik mengatakan, pendidikan tinggi berbeda dengan wajib belajar, yakni pendidikan tingkat sekolah dasar hingga SLTA/SMK. Sebagai konsekuensi dari hal tersebut, pendanaan pemerintah untuk pendidikan diprioritaskan untuk pembiayaan wajib belajar. Sebab, kata dia, hal itu adalah amanat undang-undang.

“Bagaimana untuk pendidikan tinggi? Tentunya pemerintah tetap bertanggung jawab. Tapi dalam bentuk bantuan operasional perguruan tinggi negeri (BOPTN),” terang dia.

Dia menjelaskan, idealnya, jumlah BOPTN yang diberikan itu sama dengan biaya kuliah tunggal (BKT). Jika pemerintah bisa memberikan pendanaan BOPTN sama dengan BKT, maka pendidikan tinggi itu akan gratis. Tetapi, yang jadi persoalan adalah dana pendidikan Indonesia yang tidak mencukupi.

“Karena prioritas utama adalah untuk pendidikan wajib. Nah, selama ini, bantuan BOPTN ke perguruan tinggi itu belum bisa memenuhi seluruh kebutuhan operasional penyelenggaraan pendidik,” kata dia.

Karena itu, kata Tjitjik, mau tidak mau diperlukan peran serta masyarakat atau gotong-royong untuk mendidik bangsa in. Menurut dia, gotong royong diperlukan agar masyarakat bisa mendapatkan akses pendidikan tinggi dengan harapan dapat semakin meningkatkan kualitas sumber daya manusia Indonesia.

“Sehingga begitu BKT ditetapkan, kemudian kita melihat bantuan pemerintah itu tidak akan mencukupi untuk menurut BKT, maka kita memberikan kewenangan kepada perguruan tinggi untuk dapat memungut uang kuliah tunggal (UKT),” jelas dia.

Namun, dia menegaskan, pemerintah tetap melarang adanya komersialisasi perguruan tinggi negeri. Hal tersebut, kata dia, sudah jelas diatur di dalam peraturan perundang-undangan. Di mana, selain melarang adanya komersialisasi, perguruan tinggi negeri juga harus bersifat inklusif.

“Perguruan tinggi itu harus dapat diakses oleh masyarakat yang punya kemampuan akademik tinggi, baik dari yang kurang mampu maupun yang kaya atau yang mampu. Ini sudah kebijakannya,” tutur Tjitjik.

Komik Si Calus : UKT Pinjol - (Republika/Daan Yahya)

 

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Berita Terpopuler