Menguji Kualitas Pendidikan Pesantren Sains
Pesantren sains menghadapi tantangan tidak ringan untuk mengembangkan pendidikan.
Oleh : Deden Mauli Darajat
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Hasil penelitian menunjukkan bahwa integrasi sains-Islam yang diterapkan pesantren sains terbukti mampu meningkatkan kualitas pendidikan dengan menghasilkan lulusan santri saintis yaitu sosok yang memiliki keunggulan di bidang sains sekaligus keunggulan di bidang tafaqquh fi al-din.
Selama 79 tahun sejak Indonesia merdeka, terlihat jelas minat masyarakat terhadap pendidikan pesantren tetap kuat di setiap generasi. Pesantren-pesantren tua terus berkembang, sementara pesantren-pesantren baru terus bermunculan. Kekhasan pesantren mencerminkan identitas keaslian Indonesia di samping mengadopsi pendidikan modern. Pada perkembangannya pesantren kemudian menghasilkan dua wajah yaitu tradisional-salafiyah dan modern-khalafiyah. Termasuk perkembangannya kini, ada sejumlah pesantren mulai mempraktikkan sistem pendidikan yang khusus mengintegrasikan agama dan sains atau Pesantren Sains. Topik itulah yang diusung dosen Universitas Al-Azhar Indonesia (UAI) Tata Septayuda Purnama dalam disertasinya berjudul, “Strategi Integrasi Sains-Islam dalam Peningkatan Kualitas Pendidikan Pesantren: Studi pada Pesantren Sains Salman Assalam Cirebon Jawa Barat dan Pesantren Sains Muhammadiyah Sragen Jawa Tengah”.
Disertasi doktor UIN Sunan Gunung Djati Bandung itu dilatarbelakangi oleh fenomena kemunculan pesantren sains di Indonesia sejak dua dekade terakhir. Dengan memformulasikan integrasi sains-Islam, pesantren sains menghadapi tantangan tidak ringan untuk meningkatkan kualitas pendidikannya. Tantangan itu tercermin dari beragamnya rancang-bangun kurikulum di pesantren sains, tingkat kompetensi pengajar sains di pesantren, prestasi santri dalam bidang sains, serta jumlah peminat yang mendaftar di pesantren sains. “Semakin banyaknya lembaga pesantren yang mencantumkan nomenklatur sains menegaskan bahwa pesantren tersebut berorientasi pada keunggulan sains, meskipun dalam praktiknya sulit menghasilkan tujuan yang diharapkan,” ujarnya.
Wakil Sekretaris Komisi Pengkajian dan Penelitian MUI Pusat ini, menjelaskan bahwa konsep integrasi ilmu di Indonesia muncul karena adanya perbedaan antara pengetahuan agama (Islam) dan pengetahuan umum (sains) yang terkadang dianggap berjalan masing-masing. Disparitas ini juga disebabkan oleh perbedaan antara sistem pendidikan Islam dan sistem pendidikan modern, yang pada akhirnya menimbulkan masalah dikotomis bagi umat Islam. “Dengan demikian, pendidikan Islam, khususnya di pesantren, dapat memberikan perspektif yang lebih luas secara akademis dan sekaligus menanggapi tantangan globalisasi yang semakin berkembang di era kemajuan sains ini,“ imbuhnya.
Model Integrasi Sains-Islam di Pesantren
Secara institusional integrasi sains-Islam dapat diterapkan pada satuan pendidikan di level pondok pesantren --yang sementara ini-- dikesankan hanya menghasilkan ahli agama (tafaqquh fi al-din). Studi ini menjadi sesuatu yang signifikan, mengingat paradigma integrasi sains dan agama, sebelumnya lebih banyak dikembangkan di level perguruan tinggi keislaman (IAIN-UIN). Tata Septayuda menjelaskan bahwa risetnya itu memiliki tujuan untuk mengidentifikasi beberapa aspek terkait integrasi sains-Islam; mulai desain integrasi sains-Islam, implementasi integrasi sains-Islam, evaluasi integrasi sains-Islam, faktor pendukung dan penghambat integrasi sains-Islam serta dampak integrasi sains-Islam untuk meningkatkan kualitas pendidikan pesantren. Hal ini merupakan strategi dari pesantren sains, dengan fokus penelitian yang dilakukan di Pesantren Sains Salman Assalam Cirebon dan Pesantren Sains Muhammadiyah Sragen yang satu sama lain memiliki pendekatan yang berbeda dalam mengintegrasikan sains-Islam.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa integrasi sains-Islam yang diterapkan di kedua pesantren tersebut telah terbukti memberikan kontribusi sangat berarti dalam meningkatkan kualitas pendidikan pesantren, yakni menghasilkan lulusan santri saintis yaitu memiliki keunggulan di bidang sains sekaligus keunggulan di bidang tafaqquh fi al-din. Oleh karena itu, kelebihan penelitian ini adalah model strategi integrasi sains-Islam; melalui tahapan yang komprehensif mulai desain, implementasi, evaluasi, faktor pendukung dan penghambat, serta dampak yang dihasilkan. “Dengan model integrasi sains-Islam ini, pesantren sains mempunyai pedoman yang jelas sejak perencanan (desain) sampai hasil yang diharapkan dari konsep integrasi tersebut,” ujarnya.
Dalam disertasinya dia juga menjelaskan kekurangan dari model integrasi sains-Islam ini terletak pada kebutuhan akan waktu, kompetensi pengajar, dan figur teladan. Proses integrasi model ini membutuhkan waktu karena sangat terkait dengan proses memadukan sains dan Islam agar dapat dipahami menjadi tujuan keberhasilan santri. Kelemahan lain terkait model integrasi sains-Islam adalah ketika pengajar di lingkungan pesantren yang secara terus-menerus berinteraksi dengan santri dinilai kurang kompeten dalam memahami integrasi sains-Islam. Kondisi ini dapat menghambat proses integrasi tersebut. Demikian pula, apabila tidak adanya figur teladan yaitu kiai sebagai sosok sentral dalam mengintegrasikan sains-Islam, dapat menghambat pencapaian integrasi di pesantren yakni menghasilkan santri saintis.
Apresiasi Akademik
Sebuah studi harus memberikan sumbangan yang signifikan dalam bidang ilmiah, yang tercermin dalam aspek-aspek kebaruan dan orisinalitasnya. Kebaruan berkaitan dengan perbedaan antara penelitian yang telah ada dan area yang belum dieksplorasi oleh peneliti lain, menciptakan kesempatan untuk mengisi celah tersebut sebagai wujud kontribusi ilmiah. Sementara orisinalitas ditunjukkan melalui kemampuan peneliti untuk merumuskan studi yang belum pernah dilakukan sebelumnya, menunjukkan keaslian dan keunikan dari riset tersebut. “Pendekatan integrasi sains Islam dalam studi ini adalah upaya mengangkat kembali bahwa hakikatnya ilmu agama (Islam) dan sains merupakan bagian paling mendasar dalam proses pendidikan. Integrasi sains-Islam mencoba memadukan ilmu pengetahuan umum dan ilmu pengetahuan agama berdasarkan metodologi ilmiah,” papar Prof. Dr. Ahmad Sarbini, M.Ag., Direktur Pascasarjana UIN Bandung yang bertindang sebagai ketua sidang terbuka promosi doktor (22/05/2024).
Pendidikan pesantren, sebagai bagian tak terpisahkan dari sistem pendidikan nasional memiliki tanggung jawab besar dalam membentuk generasi penerus yang cerdas secara intelektual, spiritual, terampil, dan bijaksana dalam menghadapi tantangan di masyarakat. Aspek lain yang perlu dipertimbangkan dalam analisis tentang pendidikan Islam adalah relasinya antar-lembaga pendidikan Islam itu sendiri. Hubungan yang ada saat ini, sekolah Islam, madrasah, dan pesantren belum mencapai tingkat hubungan yang berfungsi dengan baik terutama aspek kurikulum dan pembelajarannya. “Oleh karena itu lembaga pesantren perlu ukuran yang jelas terkait kualitas pendidikannya. Terlebih lagi lembaga yang mengatasnamakan pesantren sains diharapkan mampu bersaing secara kompetitif,“ Ungkap Uus Ruswandi, Ketua Tim Promotor Disertasi tersebut.
Sementara itu Duta Besar RI untuk Azerbaijan (2016-2020) Prof Dr Husnan Bey Fananie yang juga hadir dalam sidang promosi doktor tersebut, merespon bahwa kebijakan regulasi terkait pendidikan pesantren sebagai lembaga keagamaan di Indonesia terus mengalami kemajuan yang positif. Sejumlah regulasi yang dikeluarkan oleh pemerintah telah mengatur berbagai aspek keberadaan pesantren, di antaranya Keputusan Menteri Agama Nomor 184 Tahun 2019 tentang Pedoman Implementasi Kurikulum di Madrasah berasrama; dan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2019 tentang Pesantren. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2019 ini, menurut Husnan dianggap sebagai pengakuan resmi dari negara terhadap peran pendidikan pesantren di Indonesia. “Oleh karena itu, penting bagi pemerintah memberikan perhatian yang tepat terhadap keberadaan pesantren di Indonesia karena dampaknya yang signifikan terhadap pembangunan nasional dan peradaban sebuah bangsa. Hal ini terutama sistem pendidikan nasional belum sepenuhnya mempertimbangkan kepentingan pesantren yang jumlahnya mencapai ribuan unit,“ ujar Husnan.
Program Pascasarjana UIN Sunan Gunung Djati Bandung telah mengadakan ujian terbuka promosi doktor Ilmu Pendidikan Islam bagi promovendus Tata Septayuda Purnama, pada Rabu, 22 Mei 2024. Prof. Dr. Ahmad Sarbini, Direktur Pascasarjana, bertindak sebagai Ketua Sidang. Dalam ujian terbuka kali ini, hadir 9 orang penguji yaitu Prof. Dr. H. Badrudin, M.Ag., Prof. Dr. H. Uus Ruswandi, M.Pd., Prof. Dr. H. Ajid Thohir, M.Ag., Dr. H. Bambang Samsul Arifin, M.Si., Prof. Dr. H. Chaerul Rochman, M.Pd., Dr. Dian, M.Ag., Prof. Dr. Hasniah Aliah, M.Si., dan Prof. Dr. H. Mubiar Agustin, M.Pd. Turut hadir keluarga ppromovendus, kerabat kerja, serta tamu undangan di antaranya Prof Dr Utang Ranuwijaya (Ketua MUI Pusat) dan Prof Dr Husnan Bey Fananie (Anggota badan Wakaf Pondok Modern Gontor).