Setelah Pembantaian di Rafah, AS Ngotot Israel 'Belum Melanggar Batas'

Pelabuhan mahal AS di pantai Gaza hancur dihantam ombak.

EPA-EFE/Michael Reynolds
Pengunjuk rasa pro-Palestina melakukan protes di luar Gedung Putih di Washington, DC, 28 Mei 2024. Mereka menilai Presiden Joe Biden Terlibat pembantaian di Rafah.
Red: Fitriyan Zamzami

REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON – Pemerintahan Joe Biden terus memberikan lampu hijau atas pembantaian oleh Israel di Rafah, Jalur Gaza. Bahkan setelah serangan brutal yang menewaskan 45 warga Palestina di tenda pengungsian Tal al-Sultan pada Ahad, AS menyatakan Israel belum “melewati batas”.

Pemerintahan Biden mengatakan operasi dan serangan Israel baru-baru ini di kota Rafah di Gaza selatan bukan merupakan operasi darat besar yang melanggar “garis merah AS”. Meski mereka juga mengatakan memantau dengan cermat penyelidikan atas serangan mematikan pada Ahad yang mereka sebut “ tragis".

Berbicara setelah tank-tank Israel terlihat di dekat masjid al-Awda, sebuah bangunan penting di pusat Rafah, juru bicara dewan keamanan nasional John Kirby mengatakan kepada wartawan bahwa AS tidak menutup mata terhadap penderitaan warga sipil Palestina.

Seorang wanita bereaksi melihat kehancuran akibat operasi brutal tentara Israel di Rafah, Jalur Gaza selatan, 28 Mei 2024. - (EPA-EFE/Haitham Imad)

“Israel mengatakan ini adalah kesalahan yang tragis,” kata Kirby, mengacu pada serangan udara dan kebakaran di daerah yang dipenuhi tenda pengungsi yang menurut otoritas kesehatan Gaza menewaskan sedikitnya 45 orang pada Ahad.

Menurutnya, yang tak ingin dilihat AS adalah serangan darat besar-besaran ke Rafah. “Kami belum melihatnya,” katanya, seraya menyatakan bahwa operasi Israel pada hari Selasa sebagian besar dilakukan di koridor pinggiran Rafah.

Kematian baru-baru ini di Rafah telah menguji janji Presiden Joe Biden untuk menahan senjata dari Israel jika sekutu AS tersebut melakukan invasi besar-besaran ke Rafah yang membahayakan para pengungsi di sana.

Ketika ditanya tentang kehadiran tank Israel di Rafah pada hari Selasa, Kirby mengatakan “kami belum melihat mereka masuk dengan unit besar, pasukan dalam jumlah besar, dalam kolom dan formasi dalam semacam manuver terkoordinasi terhadap berbagai sasaran di lapangan.”

Pentagon sebelumnya mengatakan bahwa mereka menganggap serangan Israel terhadap Rafah “memiliki cakupan terbatas”. Pejabat Pentagon Sabrina Singh juga mengatakan pemerintah sedang menunggu militer Israel menyelesaikan penyelidikannya terhadap serangan pada Ahad sebelum berkomentar lebih lanjut.

Israel menyebut hilangnya nyawa sebagai “kecelakaan tragis” dan tentaranya berdalih pada Selasa bahwa amunisi mereka saja tidak dapat menyebabkan kebakaran mematikan tersebut. Pihak Israel juga beralasan  bahwa mereka menargetkan dan membunuh dua pejuang senior Hamas dalam serangan tersebut. 

Keengganan AS mengecam Israel itu berdampak pada berlanjutnya bombardir Israel ke Rafah. Pada Selasa, pasukan Israel dituduh kembali menyerang daerah Tal al-Sultan. Setidaknya dua puluh satu orang syahid dalam serangan terakhir, lebih dari setengahnya adalah perempuan, kata pihak berwenang di Gaza. Militer Israel membantah melakukan serangan tersebut.

Ketika ditanya apakah tindakan Israel di Rafah dapat menempatkan Biden pada posisi yang sulit, Kirby mengatakan kepada wartawan bahwa ada bahaya nyata bahwa Israel dapat semakin terisolasi dari komunitas internasional dengan cara mereka melakukan operasi.

Bagaimana AS TErlibat Genosida di Gaza? - (Republika)

“Jadi ini jelas memprihatinkan, karena ini bukan kepentingan terbaik Israel,” kata Kirby. “Dan bukanlah kepentingan terbaik kita jika Israel semakin terisolasi di panggung dunia.”

Sejauh ini, negara-negara dunia telah melayangkan kecaman atas tindakan brutal Israel di Rafah. Mereka mendesak Israel mematuhi putusan Mahkamah Internasional (ICJ) agar serangan di Rafah dihentikan.

Pendudukan Israel melanjutkan agresinya terhadap Jalur Gaza, melalui darat, laut dan udara, sejak tanggal 7 Oktober, yang mengakibatkan terbunuhnya 36.050 warga sipil, yang sebagian besar adalah anak-anak dan perempuan, serta melukai 81.026 lainnya, dengan jumlah korban yang belum diketahui, karena ribuan korban masih tertimbun reruntuhan.

Pelabuhan AS di Gaza hancur diterjang ombak... baca halaman selanjutnya

 

Militer AS telah menghentikan pengiriman bantuan ke Jalur Gaza melalui laut, kata Pentagon pada Selasa, setelah dermaga sementaranya rusak akibat cuaca buruk. Gangguan ini terjadi kurang dari dua minggu setelah AS pertama kali mengoperasikan dermaga tersebut, yang membutuhkan biaya 320 juta dolar AS untuk membangunnya.

Times of Israel melansir, diperlukan waktu lebih dari seminggu sebelum dermaga itu dapat beroperasi kembali, kata juru bicara Pentagon Sabrina Singh dalam pengarahan dengan wartawan. Pasukan AS pertama-tama perlu memulihkan sebagian dermaga dan empat kapal tentara yang menyertainya yang terpisah dari sisa dermaga dan terdampar di pantai Gaza dan Israel selama beberapa hari terakhir, jelas Singh, seraya menambahkan bahwa proses ini akan memakan waktu lama, kira-kira 48 jam.

Tunggul dermaga berbentuk T masih tertambat di pantai Gaza namun sekarang harus dibongkar dalam dua hari ke depan sebelum ditarik kembali ke Pelabuhan Ashdod Israel sehingga kerusakan akibat cuaca dapat diperbaiki oleh Komando Pusat AS.

“Pembangunan kembali dan perbaikan dermaga akan memakan waktu setidaknya lebih dari seminggu, dan setelah selesai, dermaga tersebut perlu ditambatkan kembali ke pantai Gaza,” kata juru bicara Pentagon, menolak memberikan batas waktu yang lebih tepat.

Proyek ini mendapat banyak kritik karena biayanya yang tinggi dan tingkat keberhasilan yang terbatas sejauh ini, namun Singh bersikeras bahwa dermaga tersebut telah terbukti “sangat berharga dalam menyalurkan bantuan kepada masyarakat Gaza,” menyalurkan lebih dari 1.000 metrik ton bantuan kemanusiaan untuk warga sipil.

AS sedianya punya cara yang jauh lebih murah, lebih mudah, dan lebih efektif untuk menyalurkan bantuan ke Gaza. Yakni memaksa Israel membuka pintu-pintu masuk ke Gaza dan mengizinkan bantuan yang kini menumpuk di perbatasan dan kerap diganggu pemukim Yahudi. Meski begitu, sejauh ini AS masih terus menolak pilihan tersebut.

sumber : Reuters
Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Berita Terpopuler